INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Agama Modern dalam Sudut Pandang Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid, pemikir Islam yang futuristik

INDEKSMEDIA.ID — Adalah Nurcholish Madjid, sosok pemikir bangsa yang amat terkenal.

Nurcholish Madjid seringkali dipredikasi sebagai pemikir profilik dan pemikir futuristik.

Ada banyak karya Nurcholish Madjid yang sudah terbesar di berbagai kalangan, termasuk pandangannya menyangkut  agama, negara dan dunia modern.

Bagi Nurcholish Madjid, salah satu yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (rech staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat).

Dalam pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut: raja-raja dan para penguasa agama.

Dan yang menarik adalah, seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan, dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktik tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang dunia Islam.

Akhir-akhir ini memang bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat yang kemudian berhasil menerobos zaman memasuki sejarah modern

Tentang perkembangan modern tersebut, beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara “modernisme” dan “modernitas.”

Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai “kebijaksanaan final” umat manusia, yaitu perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia.

Jadi modernisme, sebagai “isme,” mirip dengan sebuah ideolog tertutup, juga sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lain.

Sedangkan “modernitas ” adalah sebuah ungkapan kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik.

Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar.

Tetapi, tentang rasa moral dan kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Perasaan moral dan kesucian dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial.

Dan dalam beberapa hal zaman modern sekarang, menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tetapi dalam beberapa hal lain lebih buruk.

Penampilan kemanusian yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusian orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini).

Termasuk perburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigin untuk kesenangan dan cenderamata orang-orang kaya Eropa, dan pengisi museum antropologi mereka, pembersihan etnis, dan genosida oleh bangsa-bangsa (“modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya.

Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme amat jauh mengatasi bangsa-bangsa “modern” tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.

Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas tidaklah terlampau sulit.

Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat, yang dihadapi Umat Islam tidak lain ialah tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (yang murni, dan menerjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada.

Sebab seperti diamati dan telah menjadi pengakuan sejarah mutakhir, dari semua sistem ajaran khususnya agama yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah agama yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern.

Ernest Gellner misalnya, mengatakan bahwa hanya Islam lah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya sangat relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali saja ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasi sendiri.

“Hanya Islam bertahan hidup sebagai satu keyakinan serius yang meliputi baik Tradisi Besar maupun tradisi rakyat,” begitu kata Ernest Gellner di dalam bukunya Muslim Society.

“Tradisi yang besar dapat dibuat modern; dan pelaksanaannya dapat diterapkan bukan sebagai sebuah inovasi atau konsesi kepada pihak luar, tapi lebih sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama di dalam Islam….Maka di Islam, dan hanya di dalam Islam, pemurnian/modernisasi di satu segi, dan penegasan ulang identitas lokal lama di sisi lain, dapat dilakukan dengan bahasa yang sama lewat serangkaian simbol.”

Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi, yang dalam sudut pandang dewasa ini, dapat dinilai sebagai sangat modern.

Ref: Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Nurcholish Madjid)