Mengenal Arsitektur Tradisional Lampung
INDEKSMEDIA.ID – Jika ingin mengenal arsitektur tradisional Lampung, simaklah artikel ini.
Rumah-rumah tradisional dulu berbentuk panggung dengan menggunakan atap alang-alang.
Sekarang ada yang digunakan lagi, dan mereka menggunakan atap dengan sirap, seng, atau genting.
Rumah tradisional masyarakat Lampung berbentuk panggung, atau disebut Nuwo Ghacak (rumah panggung), terbuat dari kayu-kayu yang berkualitas, dengan atap terbuat dari sirap atau seng.
Makna rumah atau nuwo bagi orang Lampung adalah sebagai tempat tinggal, tempat berlindung anak dan keluarga, serta tempat peraduan bagi mereka.
Kayu-kayunya untuk pembuatan rumah digunakan kayu yang berkualitas prima tersebut diambil langsung dari hutan, seperti kayu berjenis Merbau, Nangi, Bungur, yang sekarang sudah jarang, bahkan barangkali sudah tak ada lagi di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka.
Kayu Merbau biasa digunakan untuk papan-papan rumah, sedangkan kayu Bungur untuk tiang, dan kayu Nangi untuk tiang atau atap/bagian atas rumah.
Bagi orang Lampung, kayu Jati digunakan untuk bahan bangunan rumah dianggap tidak bagus. Serat kayu Merbau persis bambu tua, tahan kena hujan dan panas.
Kayu-kayu jenis Meranti, Mentru, disebutkan kayu cepat rusak, paling tahan hanya sampai 100 tahun saja.
Akan halnya kayu Merbau, Nangi, dan Bungur bisa bertahan hingga ratusan tahun lebih.
Terbukti banyak rumah tradisional yang menggunakan kayu-kayu jenis tersebut, hingga kini masih tegak berdiri walau usianya telah mencapai ratusan tahun.
Dulu tukang yang membuat rumah sebagian adalah penduduk asli dan sebagian lagi adalah orang Meranjat yang didatangkan dari Palembang. Satu buah rumah dibuat paling cepat selama 2 tahun, dan paling lama selama 5 tahun.
Hal itu memungkinkan sekali, karena membuat rumahnya tidak seperti sekarang, bahan-bahan bangunan tinggal memesan di toko bangunan.
Dulu, orang yang akan membuat rumah harus mengambil sendiri kayu-kayunya dari hutan. Dalam arti, ia harus mencari bahan-bahan bangunannya yang seluruhnya terbuat dari kayu dari hutan dengan cara menebang pohonnya sendiri.
Yang mengambil adalah kepala keluarga. Cara mengambilnya pun harus dengan perhitungan, memilih hari yang baik. Jika mengambil pada hari yang dianggap tidak baik, biasanya kualitas kayu tidak baik pula, ada penyakitnya.
Cara menebangnya hanya menggunakan golok. Jadi, menebang satu batang pohon dapat dibayangkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemudian setelah pohon tumbang pun, dibawanya dengan cara ditarik menggunakan tali.
Dengan kondisi hutan yang masih perawan, sedikit demi sedikit batang pohon ditarik menuju lokasi tempat rumah akan dibangun. Batang pohon tidak dipotong-potong, seutuhnya ditarik.
Hal itu terbukti dari kayu-kayu penopang nuwo ghacak tak ditemukan sambungan, seperti akhey (tiang), kayu athung (kayu atap tingkat). Bagian-bagian lain, seperti panggakh (plavon), khangek (pintu), jendelah (jendela), tikkap (daun jendela), kisi-kisey (teralis dari kayu), lettay (lantai terbuat dari papan), lessey (pelupuh) disambung tidak menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu.
Usia nuwo-nuwo ghacak yang masih berdiri usianya ada yang sampai dua ratus tahunan. Membuat rumah itu ada upacara ritualnya, mulai dari mengambil kayu yang tidak boleh sembarang waktu hingga ketika rumah telah selesai dibangun.
Setiap desa memiliki pawang atau pemandu sendiri-sendiri.
Ialah yang mengadakan pertemuan-pertemuan seluruh anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang akan membuat rumah harus membuka hutan dan mengambil kayunya sendiri.
Waktu yang baik ditentukan oleh pawang dengan cara diperhitungkan terlebih dahulu hari baik buruknya. Seperti hari Jumat dikatakan tak bagus untuk bekerja mengambil kayu, maka kemudian diundur minggu depannya.
Sebelum pembangunan rumah dilaksanakan, dilakukan sedekahan. Macam sedekahan adalah bubur merah, putih, kuning, nasi, ayam panggang. Konon warna kuning adalah kesenangan roh.
Yang menyiapkan sedekahan adalah mereka yang mempunyai hajat membangun rumah. Sedekahan diletakkan dalam tampah, kemudian dimakan ramai-ramai bersama para tetangga.
Sebelumnya sedekahan didoai oleh salah seorang dari kelompok atau rombongan yang akan membuka hutan. Akan halnya yang terlibat dalam pembuatan rumah hanya keluarga terdekat saja, atau orang lain dengan perhitungan upah tersendiri.
Tampaknya tak ada istilah gotong royong pada masyarakat dalam membuat rumah. Jadi membangun rumah pribadi betul-betul pemilik rumah harus mandiri.
Kalau mampu, ia pun bisa membuat mushola atau langgar di rumahnya. Selanjutnya ketika akan mendirikan rumah dilakukan ngeriung atau ngejunge (selamatan).
Pemilik rumah memanggil penghulu/khotib untuk memimpin doa dan mengundang para tetangga. Mereka berkumpul bersama di atas fondasi rumah.
Menu makanan biasanya ayam panggang nasi putih, merah, dan kuning. Selanjutnya setelah bangunan berdiri diadakan lagi selamatan dengan menyediakan pisang, tebu, bubur merah, putih, dan sebagainya.
Terdapat kebiasaan orang dulu, mereka memasang rajahan/isim yang ditanam atau diselipkan di bolongan, di bawah tiang rumah. Gunanya selain untuk keamanan/ketentraman, juga dipercaya dapat mengusir nyamuk.
Bentuk rumah, bahan, dan luas bangunan rumah tradisional bergantung pada kemampuan pemiliknya. Begitu pula dengan masalah motif, ragam hias sama saja.
Perbedaannya hanya pada letaknya saja. Biasanya golongan bangsawan, rumahnya tidak mau sejajar dengan rumah bawahannya.
Sehingga rumah-rumah mereka terletak di depan, di pinggir jalan dan rumah bawahannya ada di belakang mereka. Rumah panggung (nuwo ghacak) biasanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua, dalam artian ialah yang menjadi kepala keluarga nanti jika kepala keluarga inti meninggal.
Ia harus memelihara sekaligus menempati rumah tersebut, dengan pertimbangan, kalau anak perempuan nantinya diambil orang.
Namun jika kemudian rumah tersebut dijual, hasilnya tetap dibagi-bagikan sesuai dengan pembagian harta waris dalam agama Islam. (*)