Sejarah Ritual Appanaung Ri Je’ne’, Prosesi Ziarah Leluhur Masyarakat Gowa Sulsel
INDEKSMEDIA.ID – Artikel ini akan mengulas ritual Appanaung Ri Je’ne’ dari masyarakat Gowa Sulsel.
Ritual Appanaung Ri Je’ne’, merupakan prosesi adat dari masyarakat Gowa Sulsel untuk menziarahi leluhur mereka.
Berikut ulasan ritual Appanaung Ri Je’ne’ dari masyarakat Gowa Sulsel :
Pada masa penjajahan (abad 17) banyak pemberani kerajaan Gowa dan Galesong yang pergi berjuang ke laut menghalau penjajah Belanda.
Namun demikian tidak semuanya bisa selamat kembali ke kampong halamannya sebagian harus dikubur di samudera.
Sehingga masyarakat Gowa dan Galesong beranggapan bahwa arwah-arwah leluhur mereka yang menemui ajalnya dan berkubur di laut dapat melindungi dan memberikan keberuntungan di laut, terutama kaum nelayan.
Sehingga pada waktu-waktu tertentu mereka harus diberikan upacara doa selamat dan sejumlah sesajian.
Bahkan masyarakat yang memiliki keberuntungannya di laut memberikan persembahannya berupa hewan kurban kambing atau kerbau/sapi.
Acara Appanaung Ri Jeqne adalah upacara ritual yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di daerah pantai Kecamatan Galesong Utara.
Upacara ini merupakan rangkaian dalam acara Attamu Taung (upacara Tahunan).
Namun demikian ia dapat berdiri sendiri sebagai upacara ritual yang memberikan persembahan kepada leluhur atau dewa yang berada di lautan.
Upacara ini di awali dengan pemotongan hewan kurban. Dalam upacara ini terdapat sejumlah rangkaian yakni pertama; Appalili Tedong dimana acara ini adalah mengajak kerbau keliling kampung dengan iring-iringan orang berpakaian adat dan tabuhan seperangkat musik gendang.
Setelah mengelilingi kampung lalu kemudian kerbau dipersiapkan dan dimantrai (apparuru) oleh pimpinan upacara, setelah itu barulah dibawa ke lokasi penyembelihan.
Setelah kerbau disembelih dan dikuliti maka seluruh bagian kerbau tersebut di mantrai dan dipersembahkan dalam Tarian Salonreng.
Selanjutnya kepala kerbau beserta beberapa bagian lainnya dimasukkan ke dalam wadah segi empat yang terbuat dari anyaman bambu (walasuji) bersama sesajian lainnya.
Memasukkan kepala kerbau dan sesajian dalam wadah segi empat dilaksanakan oleh seorang Sanro dengan penuh kesakralan.
Setelah semua di masukkan ke walasuji baru kemudian diantar ke pantai secara beramai-ramai dengan iringan suara gendang lalu dibawa laut dengan menggunakan perahu dan pada tempat tertentu kepala kerbau atau walasuji tersebut di larutkan ke dalam air laut yang dipandu oleh seorang dukun (sanro) yang memimpin upacara. (*)