Memetik Hikmah dari Cerita Rakyat Tana Luwu: Asu Lakku
INDEKSMEDIA.ID – Tana Luwu punya kekayaan sejarah dan budaya, tidak kecuali cerita rakyat.
Sekalipun cerita rakyat bisa saja benar dan salah, tetapi kita dapat memetik hikmah dari cerita tersebut.
Artikel ini mencoba mempersembahkan satu cerita rakyat yang dapat dijadikan motivasi untuk terus semangat dalam menuntut ilmu, tetap rendah hati atas ilmu yang dimiliki. Berikut kisahnya:
Dahulu kala hiduplah seorang pemuda di sebuah kampung yang tenang dan sejuk.
Kampung tersebut masih berada dalam wilayah kekuasaan Keraton Luwu.
Pemuda tersebut bernama Dukkelleng. Tubuhnya tinggi dan kekar, tatapan matanya tajam.
Dukkeleng termasuk pemuda yang tampan, namun tidak sombong dan selalu menghargai siapa saja.
Ia hidup bersama ibunya, sebab ayahnya telah lama meninggal dunia.
Setiap hari Dukkeleng membantu ibunya bercocok tanam di kebun peninggalan ayahnya. Di kebun yang tidak begitu luas itu Dukkeleng bersama ibunya menanam berbagai macam tanaman untuk keperluan sehari-hari.
Dukkeleng adalah pemuda yang rajin menuntut ilmu, dan ia juga sangat senang mengembara mencari orang yang pandai dan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
Ia berprinsip bahwa semakin banyak ilmu yang dimiliki maka akan semakin banyak pula peluang untuk berbuat baik dan membantu orang yang membutuhkan.
Bukan hanya di luar kampungnya, namun orang-orang tua di kampungnya juga menjadi tempat Dukkeleng berkeliling menuntut ilmu, karena itulah ia sangat disenangi tidak hanya oleh orang tua, orang sebaya bahkan di bawahnya.
Kesenangannya menuntut ilmu membuat wawasannya makin luas ilmu kesaktiannya pun semakin tinggi.
Namun semakin Ia belajar, Dukkeleng merasakan dirinya semakin banyak pengetahuan yang tidak diketahuinya, karenanya ia tak pernah berhenti mencari ilmu.
Bila Dukkeleng mengetahui tentang kemerdekaan seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan atau kesaktian yang tinggi, maka batinnya pun langsung terpanggil untuk menimba pengetahuan pada orang tersebut, entah mengapa ia begitu haus dengan segala macam pengetahuan.
Pada saat ia ingin meninggalkan kampungnya untuk mencari ilmu, Dukkelleng senantiasa meminta izin kepada ibunya.
Jika ibunya telah mengizinkan, barulah Dukelleng berangkat meninggalkan kampungnya. Ia tak berani meninggalkan kampung tanpa mendapat izin dari ibunya.
Sebelum meninggalkan kampungnya, dia juga terlebih dahulu mempersiapkan segala keperluan sehari-hari ibunya, terlebih jika ia harus pergi berbulan-bulan, berbagai bakal pun ia harus sediakan terutama beras dan ikan kering.
Suatu hari, Dukelleng mendengar didalam hutan yang berada di kaki Gunung Latimojong, yang cukup jauh dari kampungnya, hiduplah seorang Pertapa yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi.
Menurut berita yang pernah ia dengar selain memiliki kesaktian yang tinggi, Pertapa itu juga memiliki pengetahuan yang luas.
Dukkelleng lantas berniat berangkat menuju tempat Pertapa itu berada. Ia sangat ingin bertemu dan meminta ilmu sang Pertapa.
Ia kemudian memberitahukan ibunya, “Hai Bu, aku mendengar dalam hutan di kaki Gunung Latimojong, hidup seorang Pertapa yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi dan pengetahuan yang luas. Aku ingin mencari dan memperdalam ilmu yang telah ku miliki.”
Jelasnya ketika ibunya sedang duduk di lego-lego di depan rumahnya. “Jadi, kamu ingin berangkat ke sana?”, Tanya ibunya. “Ia Bu, aku ingin memperoleh ilmu dari orang itu semoga kelak akan bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan,” ucapnya sedikit memelas.
“Kalau keinginanmu begitu kuat untuk pergi menuntut ilmu, aku tak dapat menghalangi. Pergilah nak, aku hanya berharap semoga ilmu yang kamu dapat berguna bagi umat manusia kelak,” ujar ibunya.
Karena telah mendapat restu dari ibunya, Dukkelleng lantas mempersiapkan segalanya. Tak lupa Dekkelleng mempersiapkan bekal untuk ibunya yang hendak ditinggalkan beberapa bulan.
Ia tak ingin setelah kepergiannya, ibunya mengalami kesulitan untuk menghidupi dirinya. Keesokan harinya Dukkelleng telah bersiap-siap berangkat, dengan takzim ia menjabat tangan dan mencium kaki ibunya.
“Bu, doakan anakmu semoga aku bisa sampai ditujuan dengan selamat,” ucap Dukkelleng memohon. “Ia nak, doa ibu akan selalu menyertai perjalanan mu. Jaga dirimu baik-baik,” kata sang ibu.
Matanya mulai mengeluarkan genangan bening mulai mengalir membasahi pipinya. Tak tahan melihat ibunya menangis, Dukkelleng memeluk erat-erat perempuan yang telah melahirkannya.
“Bu aku pergi, doakan aku.” Usai menarik napas panjang, Dukkelleng mulai melangkahkan kakinya menuju pintu. Ibunya hanya menatap kepergian Dukkelleng dengan perasan tersayat namun penuh doa.
Setelah kepergian Dukkelleng, suasana kampung masih seperti biasa. Suasana yang tenang dengan masyarakat yang bersahaja membuat siapa saja akan merasa betah untuk tinggal di kampung itu.
Namun suasana kampung yang tenang itu suatu hari dikejutkan oleh adanya pembunuhan yang terjadi terhadap salah seorang warganya.
Wa’kare terbunuh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik oleh binatang buas, dan wajahnya kehitaman.
Menurut keterangan istrinya, kepada Ambe Kaso’ yang menjabat sebagai kepala kampung, malam itu ia dan suaminya bermaksud memasukkan ayamnya yang tak sempat dimasukkan ke dalam kandang pada sore hari.
Pada saat keluar rumah itulah tiba-tiba mereka melihat seekor anjing melolong. Wa’kare lantas mengusir anjing itu.
Tetapi tanpa mereka sadari, anjing tersebut malah bertambah banyak. “Kami benar-benar kaget. Kami tak menyangka anjing tersebut tiba-tiba bertambah banyak.” Ujar Indo Poro’.
“Lalu?” Tanya Ambe Kaso’ penasaran. Wajah orang-orang disekitarnya pun seketika nampak tegang. “Saat itu, Wa’kare tiba-tiba saja diterjang oleh anjing-anjing itu.
Wa’kare berusaha melawan tetapi tak mampu. Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa bahkan untuk berteriak pun aku tak bisa,” terangnya sembari menahan tangisnya yang hampir pecah.
“Apakah Wa’kare langsung mati oleh terjangan anjing-anjing itu?” Tanya Ambe Kaso’ kembali. “Tidak! ketika itu entah darimana datangnya tiba-tiba muncul seekor anjing yang bertubuh tinggi besar jauh lebih tinggi dan lebih besar dari anjing-anjing yang lain.” Istri wa’kare yang benar-benar terpukul kesedihan masih menggurat diwajahnya.
Ia seperti trauma dengan peristiwa yang menimpa suaminya. “Lantas?” Tanya mereka hampir bersamaan. “Kulihat hanya anjing yang besar itu mengeluarkan lidahnya yang panjang seakan ingin menjilati tubuh Wa’Kare. Saat itulah Wa’Kare tak Bergerak lagi.”
“Hah! Anjing apa itu?”, tanya Ambe Kaso’ kepada Wa’Lato, salah seorang ketua adat dan yang paling tua diantara mereka.
“Sepengetahuan ku dulu pernah ada binatang seperti, itu tapi sudah lama sekali. Binatang itu berasal dari alam jin. Ia biasa digunakan oleh jin untuk berburu roh tapi binatang itu telah lama tidak pernah muncul dan hanya tinggal cerita,” jelas tokoh adat itu sedikit ragu.
“Jadi, binatang itu ngambil roh manusia dan membawanya ke alam jin?”, Tanya kepala kampung. “Begitulah mungkin.”
“Apa nama binatang itu? Dan mengapa ia muncul di desa kita?” Tanya Ambe Kaso’ tak lagi kuat menahan rasa penasarannya.
“Seingatku orang-orang biasa menyebutnya Asu Lakku, tapi entah kenapa binatang itu kembali muncul dan berkeliaran di desa kita,” sahut Wa’lato lagi.
Mereka yang hadir terdiam, mereka dilingkupi rasa takut yang dalam apalagi menurut keterangan Wa’lato, binatang itu selalu datang tiba-tiba dan mengambil roh manusia, yang lebih mengerikan lagi, sebab anjing itu diikuti oleh anjing-anjing yang sangat kejam.
Sejak terjadinya peristiwa itu, Ambe Kaso’ yang menjabat sebagai kepala kampung, selalu diliputi keresahan.
Ia tak ingin kejadian tersebut kembali terjadi dan menghantui penduduk kampung. Sesuai dengan kesepakatan bersama, maka setiap malam akan dilakukan ronda keliling. Setiap malam ditugaskan lima orang untuk berkeliling Kampung.
Mereka yang di tugaskan selain membawa senjata tajam juga harus membawa benda-benda yang dapat mengusir makhluk halus.
Setiap malam, suasana kampung makin mencekam. Hanya suara para peronda yang terdengar lenguh dikejauhan.
Penduduk kampung sangat enggan untuk keluar jika tak ada urusan yang benar-benar penting. Mereka lebih senang tinggal dirumah menghabiskan malam, tidak seperti hari-hari sebelumnya.
Sampai suatu malam kejadian itu terulang kembali, seorang penduduk kampung ditemukan terkapar oleh petugas ronda. Tubuhnya masih mengeluarkan darah. Sementara di kejauhan, masih terdengar lolongan anjing yang menyayat.
Penduduk kampung kembali gempar. Tubuh yang kemudian diketahui bernama Lande itu adalah pemuda yang baru saja pulang dari kebunnya.
Menurut teman yang sebelumnya berjalan bersama Lande, mereka kemalaman di kebun sebab masih banyak yang harus mereka selesaikan.
“Sebenarnya kami memang berencana untuk segera pulang, namun karena tanggung maka kami pun sepakat menyelesaikan pekerjaan. Supaya besok kami tinggal membawanya ke pasar,” jelas karmin.
Jadi karmin ini orang yang bersama dengan Lande, katanya sebelum berpisah mereka mendengar lolongan anjing yang sangat panjang.
Lolongan itu begitu menyayat, olehnya itu keduanya bergegas berjalan menuju rumah masing-masing.
“Mendengar lolongan anjing, aku dan Lande melangkah dengan cepat sebab kami takut jika harus bertemu dengan binatang yang mengerikan itu,” jawab Karmin gugup. Ia sungguh tak menyangka jika Lande yang harus bertemu dengan binatang itu. Suasana kampung semakin mencekam.
Kepala kampung dan beberapa tokoh masyarakat bertambah bingung. “Apalagi yang harus kita lakukan? Binatang itu benar-benar telah mengganggu ketentraman kita. Seandainya Dukkelleng ada di sini, mungkin ia bisa membantu,” ujar Ambe Kaso’ dengan wajah kebingungan.
“Iya betul!” Jawab beberapa orang hampir bersamaan. “Bagaimana kalau kita pergi mencari Dukkelleng?” Usul kepala kampung. “Tapi kemana kita harus mencarinya?” Sela yang lain.
“Aku yakin ibunya tahu kemana perginya Dukkeleng,” ujar Karmin. “Setuju! kalau begitu kita ke rumah Dukkeleng sekarang.” Ajak kepala kampung yang diiyakan orang-orang yang berkerumun. Para penduduk kemudian membagi dua kelompok.
Kelompok pertama dipimpin kepala kampung menuju rumah Ibu Dukkelleng. Sedangkan kelompok lainnya bertugas mengurus jenazah Lande, di rumah Dukkelleng mereka menemui ibu Dukkelleng dan menyampaikan maksud mereka untuk mencarinya.
Mendengar keinginan penduduk tersebut, ibunya menjelaskan kemana anaknya pergi. setelah mendapat keterangan tentang keberadaan Dukkelleng, kepala kampung lantas menugaskan tiga pemuda untuk berangkat mencarinya.
“Besok pagi-pagi sekali kalian harus pergi mencari dan membawa Dukkelleng kemari. Katakan padanya keselamatan semua penduduk kampung terancam, termasuk ibunya,” tegas Ambe Kaso’. “Baiklah!” Ucap mereka hampir bersamaan.
Sejak kejadian yang menimpa Wa’ Kare dan Lande, penduduk Kampung makin didera ketakutan.
embari menunggu kedatangan Dukkelleng, mereka masih tetap melakukan ronda. Hingga suatu malam, keributan kembali terjadi.
“Siapakah gerangan engkau yang telah berani mengacau di kampungku?” Suara menghardik terdengar menggema di malam yang senyap.
Binatang itu mendesis selalu melolong panjang mengerikan. “Hahaha.” Binatang itu tertawa. “Siapa kau yang berani menghadapku? Aku Asu Lakku,” kata binatang itu sembari menyeringai.
Taringnya yang tajam dan menakutkan terlihat jelas. Lidahnya menjulur keluar dengan liur yang terus menetes.
“Aku Dukkelleng, tak akan kubiarkan engkau mengacau di kampung ini! Mulai saat ini jangan lagi sekali-kali engkau datang kesini!” Hardik Dukkelleng.
Suara yang disertai dengan tenaga dalam menggetarkan tubuh orang-orang yang mendengarnya. Demikian pula dengan Asu Lakku dan anjing-anjing di sekitarnya nampak gelisah.
Dukkelleng memang memiliki kesaktian yang tinggi akibat kegemarannya menuntut ilmu. Oleh karena itu ia sangat disegani oleh penduduk di kampungnya.
Tetapi kesaktian yang ia miliki tidaklah membuatnya sombong. Justru dengan kesaktiannya itu ia banyak menolong orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Mengetahui kekuatan yang dimiliki Dukkelleng, Asu Lakku mundur beberapa langkah, demikian pula dengan anjing-anjing yang mengiringinya.
Sementara itu penduduk yang mengetahui bahwa suara yang menggema itu adalah suara Dukkelleng segera berkumpul.
Malam itu juga, Dukkelleng dan Asu Lakku bertarung habis-habisan. Keduanya berusaha saling mengalahkan.
Ilmu kesaktian yang mereka miliki tak pelak lagi dikeluarkan semuanya. Seluruh penduduk kampung yang berada di dalam rumah ketakutan mendengar suara gemuruh dari perkelahian Dukelleng dengan Asu Lakku.
Demikian pula mereka yang berkerumun di sekitar tempat pertarungan, mereka tetap berjaga-jaga kalau saja anjing-anjing pengikut asuh lakku juga menyerang mereka.
Melihat pertarungan keduanya, kekaguman sekaligus kengerian menyelimuti penduduk kampung. Mereka terus berdoa agar kiranya Dukkelleng memenangkan pertarungan.
Setelah berjalan sekian lama, pertarungan yang berjalan seru tersebut belum juga menampakkan tanda-tanda ada yang kalah.
Keduanya masih memiliki kekuatan yang seimbang. Penduduk yang menyaksikan pertarungan juga itu semakin tegang.
Mereka tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Dukklleng. Pertarungan terus berlangsung dengan seimbang.
Keduanya tak henti-hentinya melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga tibalah serangan Dukkelleng itu benar-benar mematikan, yang membuat Asu Lakku tak mampu berbuat apa-apa.
Berusaha menghindar, Asu Lakku makin terpental jauh. Ia menyeringai dan melolong panjang. Dalam sekejap saja, binatang itu tiba-tiba lenyap. Demikian pula dengan anjing-anjing pengiringnya.
Orang-orang yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu juga gelagapan. Mereka tidak menyangka Asu Lakku akan melarikan diri bersama pengiringnya.
Konon, sejak itulah Asu Lakku tidak pernah lagi menampakkan diri dihadapan manusia. Jika hendak mengganggu manusia, Asu Lakku selalu datang secara diam-diam. Para warga pun akhirnya bisa hidup dengan tenang lagi.
Hikmah Cerita
Cerita ini mengajarkan kita untuk terus menuntut ilmu dan jangan pernah merasa tinggi atas ilmu yang kita miliki.
Teruslah memiliki sifat yang rendah hati dan membantu orang yang sedang kesulitan.
Seperti yang dijelaskan di Q.S Lukman ayat 18 yang artinya:
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Allah SWT juga berfirman di Q.S Al-Maidah ayat 2 yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.”
Penulis: Indan Dwi Anggia
Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”
Disclaimer: Indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)