Dialektika Kant & Al-Qur’an: Menyusuri Jalan Pemikiran Filsafat dan Wahyu
Penulis: Gunawan Hatmin (Mahasiswa Pascasarjana IQT UIN Alauddin Makassar)
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang memiliki pengaruh besar terhadap filsafat modern, terkenal dengan teorinya mengenai epistemologi, etika, dan metafisika. Dalam karyanya yang paling menonjol, Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan konsep tentang batas-batas pengetahuan manusia, yang menguraikan perbedaan antara fenomena (apa yang tampak bagi kita) dan noumena (realitas pada dirinya sendiri). Di sisi lain, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menawarkan pandangan dunia yang holistik, termasuk tentang hakikat alam semesta, manusia, dan Tuhan. Dialektika antara filsafat Kant dan Al-Qur’an membuka ruang refleksi yang unik untuk menjembatani pemahaman antara rasio dan wahyu.
Melalui artikel ini, kita akan mengeksplorasi dialog dan pertemuan antara dua sistem pemikiran yang pada awalnya tampak bertentangan namun pada titik-titik tertentu bisa saling melengkapi. Bagaimana rasio manusia, yang ditelaah secara kritis oleh Kant, dapat dihubungkan dengan wahyu yang dianggap sempurna dalam tradisi Islam? Ini adalah pertanyaan yang akan kita telusuri dalam esai ini.
Kant meyakini bahwa pengetahuan kita terbatas pada pengalaman indrawi, yang ia sebut sebagai “fenomena”. Fenomena adalah segala hal yang tampak kepada kita melalui kategori-kategori pemikiran yang diatur oleh waktu dan ruang. Namun, realitas sejati yang disebut “noumena” tetap tidak terjangkau oleh akal manusia. Noumena ini adalah entitas di luar batasan indra dan rasio kita, yang tetap tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh pengalaman atau eksperimen ilmiah. Akal manusia hanya dapat memahami dunia dalam batas-batas fenomena, dan manusia tidak dapat memiliki pengetahuan yang pasti tentang entitas di luar pengalaman tersebut (noumena). Pengetahuan manusia selalu terbatas pada fenomena. Segala sesuatu yang dapat kita ketahui adalah hasil dari pengalaman indrawi yang kemudian diproses oleh akal kita. Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa realitas sejati, atau noumena, tetap tersembunyi dari kita. Namun, meskipun kita tidak dapat mengetahui noumena secara langsung, Kant percaya bahwa kita dapat menebak atau berhipotesis tentangnya berdasarkan refleksi rasional dan etika.
Dalam kaitannya dengan filsafat agama, Kant menolak klaim bahwa pengetahuan metafisik dapat diperoleh melalui spekulasi rasional saja. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya keyakinan etis dan pengalaman moral dalam memahami eksistensi Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa. Baginya, agama adalah masalah iman praktis yang didasarkan pada moralitas, bukan pada rasionalitas murni. Ini memberikan sebuah kerangka pikir yang lebih hati-hati dan skeptis tentang batas pengetahuan kita, dan mengajarkan pentingnya kerendahan hati dalam mengklaim pengetahuan tentang realitas yang lebih tinggi.
Di sisi lain, Al-Qur’an menegaskan bahwa wahyu adalah salah satu sumber pengetahuan paling penting, yang melampaui batasan indrawi dan rasio manusia. Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada realitas metafisis yang dapat dijangkau bukan hanya melalui akal, tetapi juga melalui wahyu. Dalam surat Al-Mulk (67:3-4), yang berbunyi sebagai berikut:
اَلَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ
Terjemahannya:
“(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?”
Ayat Al-Qur’an di atas mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Tuhan di langit dan bumi sebagai bukti kebesaran dan keteraturan Tuhan. Wahyu membantu manusia untuk melihat melampaui fenomena, memasuki wilayah kebenaran hakiki yang tidak mungkin dicapai hanya dengan pancaindra atau logika manusia. Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa meskipun alam semesta ini adalah ayat (tanda-tanda) Tuhan yang bisa diakses melalui pengalaman dan observasi, terdapat kebenaran lebih dalam yang hanya dapat diketahui melalui bimbingan ilahi. Ini menandakan adanya keterkaitan antara fenomena yang terlihat dengan noumena, yang di dalam Islam bisa diterjemahkan sebagai manifestasi kehadiran dan kehendak Allah yang maha gaib dan transenden.
Dialektika antara Kant dan Al-Qur’an
Menyatukan pemikiran Kant dan Al-Qur’an dapat dilihat sebagai upaya untuk menyelaraskan peran rasio dan wahyu dalam memahami realitas. Kant menegaskan batas-batas pengetahuan rasional dan pengalaman empiris, sementara Al-Qur’an mengakui pentingnya rasio tetapi melampaui batas-batas itu dengan wahyu. Pada titik ini, dialektika antara keduanya memberikan pelajaran penting bahwa ada dua jalan untuk memahami kebenaran: melalui observasi dan pengalaman di satu sisi, serta melalui keimanan dan wahyu di sisi lain. Kant dan Al-Qur’an seolah sepakat dalam satu hal: manusia terbatas dalam memahami realitas. Kant menyatakan bahwa manusia tidak dapat memahami realitas di balik fenomena, dan Al-Qur’an menyebut bahwa realitas yang lebih tinggi (ghaib) memerlukan bimbingan ilahi untuk bisa dipahami. Namun, ada perbedaan penting: Kant berpendapat bahwa noumena tidak dapat diakses oleh manusia secara pasti, sedangkan Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebenaran ghaib dapat diketahui melalui wahyu.
Penciptaan Alam Semesta: Kant dan Al-Qur’an
Ketika berbicara tentang penciptaan alam semesta, Kant melalui teori nebula atau “hipotesis Kant-Laplace” menyebutkan bahwa tata surya terbentuk dari massa gas panas yang perlahan mendingin dan membentuk planet-planet. Pandangan ini lahir dari usaha Kant untuk memahami dunia melalui hukum-hukum fisika dan sains. Sementara itu, Al-Qur’an dalam berbagai ayat berbicara tentang penciptaan alam semesta dengan cara yang mendukung refleksi filosofis. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS Al-Anbiya’ (21:30) yang berbunyi sebagai berikut:
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ
Terjemahannya:
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?”
Ayat di atas menyebutkan bahwa langit dan bumi awalnya menyatu, lalu dipisahkan—suatu gambaran yang seringkali dianggap sejalan dengan teori modern seperti Big Bang. Meski demikian, Al-Qur’an selalu menegaskan bahwa penciptaan ini terjadi atas kehendak Tuhan, bukan murni sebagai hasil dari hukum-hukum alam yang kebetulan bekerja. Di sini terlihat bahwa Kant berusaha menjelaskan alam semesta melalui rasio dan sains, sementara Al-Qur’an menjelaskan penciptaan sebagai tindakan ilahi. Namun, keduanya memberi peluang untuk refleksi mendalam bahwa alam semesta adalah ruang bagi manusia untuk bertanya dan merenung tentang asal-usul dan tujuan keberadaan.
Walhasil, penulis melihat bahwa dialektika antara pemikiran Kant dan ajaran Al-Qur’an menunjukkan bahwa ada dua jalan berbeda dalam memahami realitas: satu melalui filsafat dan rasio, dan yang lain melalui wahyu dan iman. Keduanya tidak harus bertentangan, melainkan bisa saling melengkapi. Dalam ruang lingkup filsafat menawarkan alat untuk memahami dunia fenomenal, sementara wahyu membuka jalan menuju kebenaran yang lebih dalam, di luar batas-batas pemikiran manusia. Melalui refleksi kritis dan kontemplasi, kita dapat menjembatani keduanya, mencari harmoni antara pemikiran rasional dan pandangan transendental.