Harus Gunakan UU TPKS di Kasus Kekerasan Seksual, Jampidum Kejagung : Tak Ada Restorative Justice, Kecuali …
JAKARTA, INDEKSMEDIA.ID – Kasus kekerasan seksual pada anak terkadang mengalami hasil yang kurang maksimal dalam penyelesaian kasusnya.
Untuk mengatasi hal itu, Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Robert Parlindungan Sitinjak mempunyai solusi dalam penyelesaiannya.
Dia meminta agar proses penanganan kasus kekerasan seksual pada anak bisa menggunakan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurutnya, penggunaan UU TPKS memudahkan penyelesaian pidana kekerasan seksual dan memberikan layanan bagi korban dan pemulihan bagi pelaku.
“Inilah tujuan penyidik agar perkara-perkara kekerasan seksual itu kami dorong kepada penyidik agar selalu menggunakan undang-undang TPKS. Karena memudahkan tuntutannya, memudahkan pembuktiannya, memudahkan pemberkasannya, mengurangi bolak-balik perkara, memberikan layanan kepada korban, memberikan pemulihan kepada pelaku rehabilitasi apabila dibutuhkan,” kata dia dalam Diskusi International Centre for Missing & Exploited Children (ICMEC) bertajuk Memerangi Eksploitasi dan Pelecehan Seksual Anak Secara Daring di Indonesia secara daring, Kamis (11/1/2024).
Pertama menurutnya, dalam prosesnya nanti tidak perlu lagi ada banyak saksi. Cukup satu saksi dan alat bukti lainnya untuk suatu kasus kekerasan seksual diproses. Dalam hal ini, hasil visum bisa masuk jadi alat bukti.
Kemudian yang kedua adalah setiap orang punya kedudukan yang sama kuatnya di mata hukum. Hal ini berkaitan dengan korban dengan disabilitas.
“Dan yang kedua, keterangan saksi dan korban dan orang disabilitas atau cacat itu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan orang non disabilitas, yang selama ini kan masyarakat masih menganggap dia tidak punya kemampuan,” kata Robert.
Dalam UU TPKS juga tidak ada penyelesaian di luar pengadilan. restorative Justice. Artinya tindak pidana kekerasan pada siapapun tidak boleh damai dan harus dilanjutkan proses hukumnya.
“Kecuali jika pelakunya anak-anak ini bisa di restorasi Justice atau penyandang disabilitas,” katanya.
Hal kelima yang dijelaskan Robert kenapa proses hukum kekerasan seksual anak harus gunakan UU TPKS adalah karena saksi dan korban dapat didampingi pendamping pada semua tingkatan dalam pengadilan pidana
“Kemudian yang keenam perlindungan sementara korban dapat dilakukan oleh kepolisian dan juga menjauhkan pelaku korban dengan meminta bantuan LPSK,” ujarnya.
Serta selain itu ada upaya menghindari reviktimisasi atau menjadikan korban kembali atau berulang karena proses hukum yang ada. Korban itu tidak perlu ikut sidang atau bisa ikut secara online agar tak lagi terima pertanyaan itu berulang-ulang soal kejadian yang dialaminya.
Terakhir adalah soal restitusi dan dana bantuan bagi korban. Restitusi atau biaya ganti kerugian pada korban yang dibayarkan oleh pelaku wajib diinformasikan pada korban usai dihitung LPSK.
Jika terpidana tidak bisa memenuhi restitusi dan maka harta benda bisa disita dan dilelang untuk membayar restitusi.
Dalam UU TPKS juga dijelaskan soal dana bantuan korban yang diatur dalam pasal 35 ayat 1. Dana bantuan dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (*)