Keterwakilan Perempuan 30 Persen di Parlemen, Hanya Buah Bibir?
INDEKSMEDIA.ID — Tidak ada keraguan lagi, bahwa sejarah diisi oleh kegiatan manusia, dan jelas bahwa manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Karena itulah keduanya mesti dipertimbangkan untuk menatap dan menyambut masa depan.
Namun kesimpulan ini kerap kali ada pertentangannya dengan perlakuan laki-laki yang dapat dikatakan “menindas” perempuan, yang barangkali tindakan semacam ini lahir dari kegiatan akal yang murni konstruktif, baik akal laki-laki maupun perempuan itu sendiri terhadap diri sendiri.
Pada umumnya, keluhan yang di cuatkan oleh aktivis perempuan adalah keresahan-keresahan general. Misalnya, perempuan di domestikasi, setara dengan perabotan rumah tangga, timba, sendok, mangkok, dan pemanas, ditambah kulkas.
Mereka seperti barang, objek laki-laki, dan karena itu gampang diperlakukan semau-maunya oleh laki-laki. Akan tetapi, saat kita ingin melihat klasifikasi sepesifik berkenaan dengan hal ini, kita akan menemukan teriakan bahwa perempuan mesti bebas dari patriarki, dominasi, opresi, penindasan dan lain kata serupa itu.
Teriakan ini adalah akibat yang tidak kosong dari sebab. Adakalanya disebabkan oleh konstruksi pemahanan atas agama itu sendiri. Juga tidak bebas dari masalah psikologis, misalnya perempuan itu “emosional”, terlalu peka tanpa rasionalitas. Kadangkala juga dari sudut pandang fisis (tubuh) perempuan yang anatominya menunjukkan kelemahan dan inferioritas.
Fakta-fakta yang sebagiannya dikonstruksi ini, atau bahkan didekonstruski, melahirkan suatu kebijakan atas perempuan bahwa mereka tidak pantas dan tidak layak berkeliaran di ruang-ruang publik. Mereka hanya cocok di ruang privat, kelambu, kasur, kamar mandi, sedikit-sedikit di teras rumah. Singkatnya, domestikasi.
Melalui sudut pandang ini, mengingat bahwa anggapan semacam ini, sebagiannya, bahkan kebanyakan itu salah. Maka dari itu, akhir-akhir ini kebijakan politik, usaha-usaha perundangan benar-benar mendahulukan perempuan. Sidang pembaca yang mulia akan menyatakan ini jelas. Fakta hukum ini dapat dilihat dalam penentuan 30 persen (minimal) keterwakilan perempuan di dunia publik, dalam hal ini adalah parlemen.
Barangkali tidak ada negara satupun yang di dalam urusan politik, khususnya ke-tatanegara-an, yang didominasi oleh perempuan, kecuali bila itu di alam imajinasi dan dunia bioskop dan per-film-an. Karena itulah, barangkali juga akan menarik bagi kita untuk berhayal tentang; bagaimana misalnya jika setiap negara, atau sebut saja Indonesia, baik dalam sisi pembuatan UU dan segala aspek manajemen politiknya itu diselenggarakan oleh perempuan?
Jawaban dari pertanyaan imaginatif ini hanya satu kata: MENARIK. Dan Jawaban dari imaginasi keinginan agar hal ini menjadi fakta hanya dua kata: HAMPIR MUSTAHIL.
Namun, otak saya tidak cukup kuat untuk berimaginasi apabila, katakanlah, 90 persen dari pejabat publik diisi oleh perempuan, barangkali rahim akan berganti ke laki-laki, dan tiap-tiap institusi akan dipenuhi dengan pembalut dan gosip. Ini adalah hasil karangan pikiran saya yang bisa saja bias gender. Karena itu saya minta maaf. (Ini bukan urusan saya).
Di sini, saya hanya akan mengajukan pertanyaan dan sedikit memberikan komentar; Apakah perempuan sudah memenuhi kuota minimal tersebut? Jawabannya negatif.
Di tingkat nasional sendiri, DPR RI, hanya mampu memenuhi 20,08 persen. Hal ini menunjukkan kuota minimal masih jauh dari kata cukup. Di berbagai daerah tentu saja beragam. Untuk kota Palopo khususnya sudah mencapai 29,5 persen Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 7 DPRD perempuan dari 25 Anggota DPRD.
Di sini saya tidak berpretensi untuk membahas domain nasional, itu bukan kapasitas saya, namun ini bisa saja dirampatkan di berbagai daerah dan akan membantu perempuan dalam pemenuhan kuota perempuan bahkan melebihi 30 persen.
Hasil wawancara saya kepada penegak demokrasi serta penyelenggara politik di Kota Palopo sendiri, yaitu pak Abbas Djohan (Ketua KPU Kota Palopo), Irfan Madjid (Wakil Ketua II DPRD Kota Palopo), dan Darmawati (Ketua Komisi III DPRD Kota Palopo), melahirkan tulisan ini. Sekaligus sebagai tanggapan dan masukan kepada mereka.
Pada dasarnya, apa yang diinginkan oleh mereka adalah jelas, pemenuhan kuota minimal itu, bahkan lebih. Namun, yang menjadi persoalan adalah, apakah “pemaksaan” semacam ini justru akan “merusak” kualitas demokrasi kita? Istilah saya adalah “asal pasang”.
Jadi, “asal pasang” ini justru, demi amanat aturan yang ada, mencederai asas demokratis yang terbuka, adil, inklusif dan berbagai keinginan ideal lainnya dalam demokrasi.
Kenapa begitu, alasannya jelas, bahwa saat partai dibiarkan, atau sebut saja dipaksakan untuk memasukkan minimal 30 persen perempuan, akan menemui masalah: di samping para pelaku ini sendiri sulit untuk menelurkan program melek politik kepada perempuan, juga kesulitan generasi baru untuk memilih partai tertentu. Apalagi mengerti ideologi partai politik tersebut.
Salah satu komentar saya kepada ketua komisi III saat berdiskusi di ruangannya, dia bilang bahwa sudah ada “tim kaderisasi”, atau sebut saja “wadah kader”, untuk melek politik di dalam partai. Tapi saya bilang, bagaimana jika banyak generasi baru perempuan yang hendak melek politik namun tidak ingin, terlebih dahulu, masuk ke dalam partai?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah bagaimana kita bersama-sama membangun sekolah melek politik untuk perempuan. Irfan Madjid sendiri, sebagai DPRD yang terbilang masih muda, masih bergantung kepada DPRD perempuan untuk menelurkan program besar soal perempuan yang melek politik.
Namun dia tetap saja optimis untuk membantu perempuan dalam melahirkan strategi pemenuhan kuota minimal tersebut. Jadi menurut saya, ada program ideal yang masih mentah. Itupun barangkali pembahasan signifikannya belum terlaksana, itu baru pembahasan, belum tindakan.
Jadi, menurut saya, DPRD, KPU, dan siapapun sebagai pemegang jabatan yang penuh dengan perangkat yang signifikan, sudah sepantasnya melakukan aksi melek politik dalam tingkat program yang lebih elegan.
Barangkali akan tepat jika saya mengatakan program yang elegan ini adalah “sekolah politik perempuan”, khususnya di kota Palopo, dalam bentuk institusi, atau kegiatan mingguan terbuka untuk seluruh perempuan yang ingin terlibat di percaturan politik, dalam tingkat minimal mengetahui dinamika politik, apa yang mesti dipelajari, dan apa yang mesti dilakukan, tanpa menghadirkan suatu lembaga kepartaian yang pada gilirannya melahirkan sekat-sekat dan pilihan merdeka bagi perempuan sendiri.
Jadi, perempuan sebagai generasi baru kedepan untuk melek politik tidak mesti masuk dulu ke partai politik untuk belajar politik. Cukup para pemegang jabatan, membuka sekolah gratis untuk perempuan dalam bidang politik, tanpa embel-embel kepartaian.
Di sana perempuan akan mengetahui bahwa ideologi partai tertentu demikian dan demikian. Cara berpolitik yang sehat adalah begitu dan begini. Kalau sudah begini, akan ada referensi jelas bagi perempuan untuk memilih partai sendiri, di mana mereka ingin lebih banyak berkontribusi terhadap masyarakat, khusus bagi mereka yang memang sangat suka dengan dunia kepartaian.
Maka dari itu, saran saya kepada Pemerintah, KPU, anggota DPRD kota Palopo, dan seluruh daerah yang ada di Indonesia, jika hal semacam ini belum dilakukan, maka kuota minimal 30 persen hanya akan menjadi buah bibir.
Saya tidak mengharap generasi perempuan yang melel politik itu lahir hanya karena bagi-bagi sembako dan foto-foto, atau reses dengan waktu singkat tanpa edukasi teroritis untuk masyarakat.
Sampai kapan demokrasi kita ditimbun oleh “politik foto-foto”, “program nonsubstansial”, dan apalagi “gimmik-gimmik politis”. Di Palopo sendiri, kami belum melihat suatu lembaga melek politik sebagai pendukung perempuan dalam percaturan politik. Karena itu, kami tantang para pemegang jabatan, khususnya DPRD perempuan kota Palopo untuk melaksanakan kegiatan melek politik ini.
(Dengan segala hormat), saya meminta maaf yang sebesar-besarnya bila ada kata yang tidak mendidik.
Tinggalkan Balasan