Sejarah Tari Bedaya Semang, Konflik Pikiran dan Jiwa Manusia
INDEKSMEDIA.ID – Berdasarkan informasi yang disampaikan seorang utusan Kompeni, Rijklof van Goens tatkala mengunjungi Kerajaan Mataran Islam antara tahun 1648 – 1654, muncul dugaan bahwa tari Bedaya Semang sudah ada sejak zaman Mataram Islam.
Dalam laporannya van Goens menyebutkan bahwa dalam kesempatan mengunjungi Mataram, dia menyaksikan tarian yang ditarikan oleh sebelas orang penari putri (Sudarsono, R.M., 1984: 15).
Tarian yang disaksikan van Goens kemungkinan adalah tari Bedaya, karena di Kraton tarian kelompok yang ditarikan penari putri yang jumlahnya mendekati sebelas orang adalah tari Bedhaya.
Pertama jumlah penari Bedhaya semestinya adalah sembilan orang penari, sedangkan selebihnya yakni dua orang lagi adalah abdi dalem yang mendampingi para penari Bedhaya yang bertugas sebagai kode (merapikan tata busana penari selama dia menari).
Kedua abdi dalem tersebut juga berhias mirip dengan para penari Bedhaya, sehingga wajar apabila van Goens menganggap bahwa kedua abdi dalem itu juga penari (Wicaksana: 27).
Sementara itu ada pendapat bahwa ada tarian semacam Bedhaya yang diciptakan oleh Dewa Syiwa, hal ini berdasarkan dari keterangan dalam Nataysastra bahwa ada tarian yang disebut Lasya atau Sakumara dalam Natyasastra (Sedyawati, 1981: 161 -201).
Tari-tarian ciptaan Syiwa diperkirakan semacam Bedhaya yang dipercaya ciptaan Raja, maka dari itu tari Bedhaya diperkirakan telah ada waktu zaman Hindhu, dan itu ada dalam relief yang tertera di dinding candi Prambanan.
Pada saat itu tari Bedhaya berfungsi sebagai salah satu usaha legitimasi kekuasaan raja. Dengan demikian kemungkinan tari Bedhaya sudah ada masa zaman kekuasaan Erlangga.
Gusti Bandara Pangeran Harya Soeryodiningrat dalam bukunya yang berjudul Babad lan Mekaring Djoged Jawi mengatakan bahwa pada masa Kerajaan Pajang sekitar abad ke-16 sudah ada tari Bedhaya.
Hal itu didasarkan dari adanya Manggung, Bedhaya dan Srimpi (Soeryodingrat, 1934: 10-11) yang mengiringi Sultan Pajang tatkala di kerajaan ada perayaan pisowanan.
Akan tetapi di dalam tulisan itu tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang gambaran secara detail tentang tari Bedhaya.
Tari Bedhaya pada umumnya memerlukan laku-laku khusus, misalnya berpuasa terlebih dahulu, bersih diri untuk memusatkan batin menghadapi tugas suci, berbagai selamatan dan ziarah.
Tari Bedhaya memiliki fungsi sebagai sarana untuk legitimasi raja, alat regalia, dan sarana upacara ritual yang penting di dalam Keraton, seperti penobatan raja baru, tumbuk ageng raja, ulang tahun penobatan (wiyosan jumenengan), perkawinan putra putri raja, dan menyambut tamu kerajaan.
Terkait dengan salah satu fungsinya yakni sebagai alat kemegahan dan kebesaran raja, maka tari Bedhaya biasanya diciptakan saat raja pemegang kekuasaan bertahta.
Setiap raja yang bertahta umumnya mencipta tari Bedhaya. Artinya seorang raja di samping menerima warisan tradisi tari Bedhaya dari para pendahulunya, mereka juga menggubah tari Bedhaya yang baru.
Hal itu sesuai dengan keberadaan tari Bedhaya yang dianggap sebagai pusaka dan untuk simbolisasi kekuasaan.
Maka keberadaan tari Bedhaya merupakan sesuatu yang harus ada, dengan fungsinya sebagai pusaka raja yang dapat menambah kewibawaan, kekuatan dan kebesaran Raja.
Di dalam pertunjukan tari Bedhaya pemegang peran utama adalah batak dan endhel yang melambangkan peperangan antara akal pikiran dan jiwa manusia dengan nafsu manusia.
Konflik antara kedua peran itu adalah melambangkan suatu hal yang selalu ada dalam kehidupan manusia.
Yakni dalam diri manusia memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yakni sisi baik dan buruk, dan diantara keduanya selalu berebut untuk menang.
Kesembilan penari tersebut menempati urutan atau tata rakit dan peran masing-masing. Apabila telah tampil dalam pergelaran tari, maka peran itu tidak bisa diubah.
Seorang penari dari awal hingga akhir pertunjukan akan memerankan satu peran saja misalnya sebagai batak, endhel ataupun apit.
Tata rakit dan peran itu sudah ada pakemnya. Adapun peran yang dibawakan oleh penari Bedhaya adalah batak, endhel, ajeg, jonggo, apit mburi, dhadha, endhel weton, meneng, dan buntil.
Kesembilan penari walaupun memiliki peran yang berbeda namun mereka memakai riasan dan busana yang sama.
Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap orang terlahir dalam wujud dan keadaan yang sama.
Secara keseluruhan perwujudan tari Bedhaya baik dalam tata rakit, jumlah penari, maupun peran masing-masing penari, semua memiliki lambang yang divisualisasikan dalam Bedhaya Jumlah penari sembilan juga memiliki makna arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang dalam alam semesta, juga lambang sembilan lubang hawa pada manusia.
Selain itu juga melambangkan perujudan manusia yang ditandai dengan anggota badan yang dimilikinya.
Anggota badan itu divisualisasikan melalui peran yang dimainkan oleh para penari, yaitu: 1. batak, merupakan simbol dari akal pikiran dalam setiap jiwa manusia. 2. ajeg, merupakan perwujudan nafsu pada diri sendiri. 3. dhadha, merupakan dada manusia, melambangkan tempat untuk mengendalikan diri.
4. jonggo, atau leher, menggambarkan jalannya makanan yang sangat diperlukan oleh manusia. 5. apit, merupakan lambang dari kedua lengan atau tangan manusia.
6. endhel, merupakan lambang dari kedua kaki manusia. 7. bunthil, merupakan lambang dari organ seks dan organ pembuangan. (*)