Mengenal Tradisi Bakar Batu Asal Papua
INDEKSMEDIA.ID – Bakar batu merupakan sebuah kegiatan masak-memasak dengan yang menggunakan media batu yaitu, batu-batu yang dibakar hingga panas memijar.
Masyarakat pegunungan Papua dan beberapa daerah pesisir menggunakan metode bakar batu untuk mengolah makanan mereka.
Masyarakat Paniai menyebutnya dengan `gapir atau ‘mogo masyarakat Wamena menyebutnya ‘kit oba isago’, sementara masyarakat Biak menyebutnya dengan`barapen.
Kata ‘barapen’ sepertinya sudah menjadi kata yang umum di Papua (mungkin karena mudah diingat dan diucapkan).
Barapen berasal dari kata “Apen” yang artinya “alat yang biasa digunakan untuk memasak atau cara memasak menggunakan batu panas.
“Selain itu, Apen dapat juga diartikan sebagai “Tungku Batu”. Istilah Apen sendiri berasal dari kata “Apyam” atau “Apr yang memiliki arti sambungan/penyambung kehidupan, sedangkan Api sendiri dalam bahasa Biak disebut “For”.
Umumnya kegiatan bakar batu ini dilakukan untuk menyiapkan hidangan dalam sebuah upacara besar, balk yang dimaknai sebagai simbol perdamaian jika terjadi perang suku sampai acara peresmian.
Hal yang menarik dari kegiatan bakar batu adalah melibatkan banyak orang. Disinilah akan terlihat betapa tingginya solidaritas masyarakat Papua.
Proses persiapan hingga matangnya makanan pun terbilang cukup lama, sehingga umumnya pada saat menunggu proses matangnya makanan biasanya dipakai oleh kaum muda untuk menari-nari (tergantung upacara yang sedang berlangsung).
Sejarah Barapen berawal ketika dua pemuda penduduk Kabau di Pulau Bromsi Kepulauan Padaidori pergi menangkap ikan.
Sebelum berangkat kedua pemuda itu melakukan persiapan sesuai dengan rencana. Kemudian mereka pergi menangkap ikan dan mendapat hasil yang cukup banyak. Dengan gembira mereka menuju ke kebun untuk memasak ikan.
Dua pemuda ini seperti kebanyakan masyarakat Padaidori yang suka memasak dengan menggunakan bantuan panas matahari.
Ketika makanan belum matang, salah seorang memotong tebu untuk melepaskan dahaga. Tanpa diduga saat itu terjadilah peristiwa yang sangat mengejutkan.
Dihadapan mereka berdiri seorang wanita cantik yang belum mereka lihat. Wanita itu kemudian memperkenalkan diri mengaku bernama “Insrennanggi’: Wanita itu lalu menolong mereka karena menganggap cara masak mereka tidak benar.
Insrennanggi kemudian menunjukan kepada mereka marpyam yang digunakan sebagai bahan pembuat api. Marpyam dipotong dengan ukuran 20-30 cm, kemudian di salah satu sisinya dilubangi.
Lubang tidak boleh menembus papan dasar yang juga terbuat dari kayu. Sebuah pasak dimasukkan ke dalam lubang tadi sementara di bagian lubang yang lain lagi dilapisi dengan kapiroi yang berfungsi sebagai pengantar api.
Kemudian Insrennanggi membuat api, mula-mula munculnya asap dan kemudian keluar api. Da lam keadaan takut, Insrennanggi mengajak kedua pemuda untuk mengumpulkan kayu dan batu.
Ketika nyala api telah padam, batu-batu yang sudah panas digunakan untuk memasak.
Tempat dimana batu disibakkan diberi alas dedaunan dan makanan yang sudah siap untuk dimasak diletakkan di atas dedaunan tersebut, selanjutnya ditutup dengan dedaunan lalu diletakkan batu panas di atasnya.
Setelah beberapa menit makanan tersebut telah matang dan siap untuk di santap. Untuk menyakinkan kedua pemuda itu maka Insrennanggi mencicipinya terlebih dahulu, setelah itu la memberi makan seekor anjing. Akhirnya kedua pemuda itu ikut menyantapnya.
Peristiwa inilah awal mulanya pengetahuan memasak secara tradisional masyarakat Biak Numfor yang lebih dikenal dengan sebutan Barapen.
Proses persiapannya diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan sebagai bahan bakar. Batu-batu kali yang digunakan ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang berukuran 1- 5 kepalan tangan pria dewasa.
Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata dengan batuan-batuan yang ukurannya lebih besar, diatasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian dengan batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu.
Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga seluruh kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.
Sementara kaum pria mempersiapkan kayu dan batu, kaum wanita menyiapkan bahan makanannya. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang.
lsi perut dan bagian lainnya yang tidak dikonsumsi dikeluarkan, sementara bagian lainnya dibersihkan. Demikian pula dengan sayur-mayur dan umbi-umbian.
Dan kaum pria lainnya mempersiapkan sebuah lubang di tanah dengan diameter kurang Iebih 1 m (tergantung dari banyaknya bahan makanan yang akan di masak), dan kedalaman 50 – 80 cm.
Setelah batu-batuan itu siap, maka dengan menggunakan penjepit yang terbuat dari kayu mereka mulai mamasukkan sebagian batu-batuan tersebut ke dalam dasar lubang.
Setelah itu ditutupi dengan daun pisang. La lu bahan makanan seperti daging ditempatkan di atasnya.
Daging pun ditutupi dengan menggunakan daun pisang daun yang lebar lalu batuan panas Iainnya diletakkan di atasnya, kemudian daun pisang lagi.
Bahan makanan berikutnya yang dimasukkan adalah umbi-umbian, lalu daun pisang, batu, daun pisang dan sayur-mayur, daun pisang dan diakhiri dengan berbagai macam dedaunan bahkan rumput.
Lapisan akhir ini dipergunakan untuk mencegah keluarnya uap panas dari dalam lubang.
Proses matangnya masakan tersebut membutuhkan waktu kurang Iebih 1 jam.
Sementara menunggu masaknya makan-makan tersebut, biasanya kaum muda bersenda gurau sambil meneriakkan pekik-pekik kebahagiaan.
Dalam upacara adat yang melibatkan banyak masyarakat, liang-liang tempat memasukkan makanan ini dibuat cukup banyak.
Hal menarik lainnya adalah mereka akan duduk dalam kelompok-kelompok kecil dan sambil mempersiapkan masakannya.
Jika sudah matang makanan-makanan itu akan dibagikan kepada semua orang yang ada dilokasi pesta, tanpa terkecuali.
Semua mendapatkan porsi yang sama baik tua maupun muda hingga anak-anak.
Bagi sebagian orang yang tidak terbiasa mungkin akan merasa agak risih karena makanan itu diolah di dalam lubang dalam tanah. (*)