INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Dokter Perkosa Keluarga Pasien, Komnas Perempuan Desak Zona Nol Toleransi di RS

INDEKSMEDIA.ID – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengutuk keras tindakan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen anestesi, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran, terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan seksual di fasilitas layanan kesehatan. Komnas Perempuan menilai, peristiwa ini menegaskan fenomena gunung es, di mana banyak korban enggan melapor karena takut, malu, takut distigma, atau khawatir dikriminalisasi.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 menunjukkan bahwa kekerasan seksual di ranah publik menempati angka tinggi, yakni 1.830 kasus. Tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan—tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi semua orang, terutama pasien dan keluarganya.

Komnas Perempuan memberikan dukungan penuh kepada korban yang telah melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat, dan mendorong korban lain untuk juga berani bersuara.

“Ini masa-masa sulit bagi korban, apalagi mengalami kekerasan seksual di tempat yang seharusnya menjadi ruang penyembuhan dan perawatan. Sungguh di luar nalar dan kemanusiaan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, Sabtu (12/4/2025).

Komnas Perempuan juga mendorong Menteri Kesehatan untuk segera menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.

“Kami memberikan dukungan sepenuhnya kepada korban dan mengapresiasi respon cepat dari RS Hasan Sadikin, Kementerian Kesehatan, dan Universitas Padjadjaran yang telah mengambil tindakan disiplin,” tambahnya.

RSHS diminta untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual, sekecil apa pun bentuknya. Dahlia menegaskan bahwa profesi dokter terikat pada etika dan sumpah profesi yang mulia.

“Profesi dokter adalah profesi yang mulia dan terhormat, terikat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia. Fasilitas kesehatan adalah garda terdepan dalam menangani korban kekerasan, dan tidak seharusnya menjadi tempat terjadinya kekerasan itu sendiri,” katanya.

Komnas Perempuan berpandangan, kasus ini tidak bisa dianggap sebagai tindakan pidana murni semata. Ada unsur penyalahgunaan kekuasaan dan keilmuan dari pelaku sebagai seorang dokter.

“Mekanisme perlindungan dari pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual di fasilitas kesehatan dan organisasi profesi tenaga kesehatan perlu segera dikembangkan,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Yuni Asriyanti organisasi profesi dan lembaga pendidikan kedokteran diminta mengembangkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang komprehensif. Ia menambahkan pentingnya sistem perlindungan di lingkungan medis.

“Layanan korban untuk pemenuhan hak-haknya harus dapat diakses dengan mudah, cepat, dan manusiawi,” tegas Yuni.

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, menyatakan bahwa dalam konteks pemerkosaan, perempuan korban berhak untuk melakukan penghentian kehamilan sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

“Korban perkosaan berhak menggugurkan kandungannya sebelum usia kehamilan 14 minggu, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” jelas Chatarina.

Namun demikian, ia menambahkan bahwa pelaksanaan hak tersebut memiliki batas waktu yang diatur secara ketat.

“Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, aborsi karena alasan perkosaan hanya dapat dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” tandasnya.

Chatarina menekankan pentingnya keterlibatan tenaga medis yang terlatih serta sistem rujukan yang sigap untuk memastikan tidak ada hambatan birokratis atau moralistik yang justru menyalahkan korban.

Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah cepat Polda Jawa Barat dalam menangkap dan menetapkan pelaku sebagai tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).(Arzad)