INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Membuka Cakrawala Tafsir, Membangun Falsafah Baru

Penulis: Gunawan Hatmin : Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

 

Tafsir Al-Qur’an bukan sekadar aktivitas menyingkap makna teks suci, melainkan juga pergulatan epistemologis yang melibatkan cara kita memahami pengetahuan, kebenaran, dan otoritas penafsiran. Selama berabad-abad, penafsiran Al-Qur’an sering terjebak dalam mitos dan dogma seolah ada satu metode “paling benar” yang harus diikuti, atau klaim kebenaran tunggal yang tak boleh digugat.

 

Padahal, jika ditelisik secara filosofis, setiap penafsiran adalah produk konteks sejarah, budaya, dan kerangka berpikir mufassirnya. Di sinilah falsafah tafsir hadir untuk membongkar belenggu pemikiran itu, dengan mengajak kita melihat tafsir sebagai medan dinamis yang terus berevolusi.

 

Epistemologi tafsir mengajukan pertanyaan kritis: *Bagaimana kita tahu bahwa suatu penafsiran itu valid? Apakah berdasar pada otoritas ulama klasik, metode linguistik yang ketat, atau justru pada relevansi sosial-konteks kekinian? Para mufassir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd menekankan bahwa Al-Qur’an adalah “teks terbuka” (open text) yang maknanya tidak pernah final.

 

Menurutnya, dogma penafsiran literalis yang mengklaim kebenaran mutlak justru mengerdilkan pesan universal Al-Qur’an. Pendekatannya yang hermeneutis-filosofis mengajak pembaca untuk melihat teks sebagai produk budaya (muntaj thaqafi) sekaligus wahyu ilahi, sehingga penafsiran harus selalu kontekstual.

 

Tokoh lain, Mohammed Arkoun, menggugat “mitos kesucian metodologis” dalam tafsir klasik. Melalui kritik epistemologi Islam, Arkoun membongkar bagaimana struktur kekuasaan dan ideologi membentuk penafsiran. Misalnya, tafsir yang lahir di era kekhalifahan Abbasiyah tidak bisa lepas dari kepentingan politik penguasa.

 

Karena itu, ia menawarkan “pembacaan dekonstruktif” terhadap Al-Qur’annbukan untuk meragukan otentisitasnya, tetapi untuk membebaskan tafsir dari belenggu pemikiran yang diklaim sakral.

 

Di sisi lain, Fazlur Rahman memperkenalkan pendekatan “gerakan ganda” (double movement), di mana penafsiran harus bergerak dari konteks masa lalu ke masa kini. Baginya, Al-Qur’an bukan museum teks mati, melainkan panduan hidup yang harus terus berdialog dengan realitas. Misalnya, dalam isu kesetaraan gender, Rahman menolak pembacaan tekstual yang kaku dan mendorong reinterpretasi berdasarkan semangat moral Al-Qur’an (ethical objectivism).

 

Namun, kritik juga datang dari kalangan yang mempertahankan otentisitas tafsir tradisional. Sebagian ulama mengkhawatirkan pendekatan filosofis bisa mengaburkan batasan antara tafsir dan “proyek subjektif manusia”. Tapi, di tengah ketegangan ini, falsafah tafsir justru mengajarkan bahwa keragaman metodologi adalah keniscayaan asal tetap berpegang pada prinsip dasar: keadilan, kemaslahatan, dan konsistensi ilmiah.

 

Walhasil, penulis melihat bahwa, membongkar mitos dan dogma dalam tafsir bukan berarti meruntuhkan otoritas Al-Qur’an, melainkan membuka ruang bagi pembacaan yang lebih kaya, kritis, dan manusiawi. Sebab, seperti kata Abu Zayd, “Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca, bukan untuk dikubur dalam monumen kebekuan penafsiran.”