WALHI Beberkan Penyebab Bencana Berulang di Sulsel
MAKASSAR – Hujan deras disertai angin kencang kembali menyebabkan banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan, seperti Maros, Makassar, dan Gowa.
Ribuan warga terdampak akibat bencana yang terus berulang setiap tahunnya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maros mencatat sekitar 4.000 kepala keluarga (KK) terdampak banjir di 14 kecamatan.
Sementara di Makassar, 2.164 jiwa terdampak dari empat kecamatan. Di Gowa, bencana serupa melanda enam kecamatan akibat cuaca ekstrem.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, meningkatnya intensitas bencana di wilayah ini bukan sekadar faktor cuaca, tetapi juga akibat kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet menjelaskan Provinsi ini mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
“Dalam 10 tahun terakhir, angka kejadian bencana meningkat enam kali lipat, dari 54 kejadian pada 2014 menjadi 362 pada 2024,” ujar Slamet, dalam keterangannya, Kamis (13/2/2025).
Selain jumlah kejadian yang meningkat drastis, kerugian ekonomi akibat bencana di Sulawesi Selatan tahun lalu juga mencapai Rp1,95 triliun.
Slamet mengungkapkan bahwa penyebab utama semakin rentannya ekologi Sulawesi Selatan adalah masifnya alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam.
Saat ini, luas tutupan hutan di Sulawesi Selatan tersisa hanya 1.359.039 hektare (Ha) atau 29,70% dari total luas provinsi, yang menempatkan Sulsel dalam kategori daerah kritis.
“Tingginya angka kehilangan tutupan hutan dipengaruhi oleh izin pertambangan di kawasan hulu, penebangan liar, dan pembangunan masif. Akibatnya, dari 139 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada, hanya 38 yang masuk kategori sehat. Sisanya, 101 DAS atau 72,6% berada dalam kondisi kritis,” jelasnya.
DAS yang semakin rusak ini berkontribusi pada meningkatnya bencana banjir dan longsor, termasuk yang terjadi baru-baru ini di Maros dan Makassar.
“Selain faktor hidrologi seperti curah hujan tinggi dan air pasang yang menghambat aliran sungai, masalah utama adalah semakin terbatasnya wilayah resapan air, buruknya sistem drainase, serta berkurangnya tutupan hutan di DAS Maros dan Tallo,” tambahnya.
Salah satu contoh nyata adalah DAS Maros, yang dalam 30 tahun terakhir kehilangan 1.057,90 hektare luas hutannya, sehingga semakin rentan terhadap bencana.
WALHI Sulsel menegaskan bahwa pendekatan dalam menangani bencana tidak lagi bisa berbasis administratif, tetapi harus mempertimbangkan bentang alam secara menyeluruh.
“Pemerintah harus mulai berpikir ulang dalam merumuskan strategi pencegahan bencana. Tidak cukup hanya mengandalkan daerah masing-masing, tetapi perlu kolaborasi lintas wilayah yang lebih luas,” tegas Slamet.
Selain itu, WALHI Sulsel juga mendesak pemerintah untuk lebih tegas dalam mengawasi dan menindak pelaku usaha yang merusak lingkungan, terutama sektor pertambangan dan pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
“Jika aktivitas ekstraktif seperti pertambangan terus dibiarkan tanpa pengawasan ketat, maka angka bencana akan terus meningkat, dan yang menjadi korban adalah masyarakat Sulawesi Selatan,” pungkasnya. (*)