INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Deep Ecology: Kritik atas Kesalehan Ekologis

Penulis: Gunawan Hatmin

INDEKSMEDIA.ID – Kesalehan ekologis sering dipandang sebagai bentuk keberagamaan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Dalam Islam, konsep ini berakar pada tugas manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Namun, dalam praktiknya, kesalehan ekologis sering kali bersifat seremonial dan kurang menyentuh aspek substansial yang mampu menjaga keseimbangan ekologis secara menyeluruh. Deep ecology, sebuah pemikiran filsafat ekologi mendalam yang dicetuskan oleh Arne Naess, memberikan kritik terhadap kesalehan ekologis yang masih bersifat antroposentris dan tidak melihat lingkungan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik.

Epistemologi deep ecology menolak pendekatan ekologis yang hanya berorientasi pada kepentingan manusia (antroposentrisme). Sebaliknya, ia mengusulkan ekosentrisme, di mana alam dianggap memiliki nilai tersendiri yang tidak bergantung pada manfaatnya bagi manusia. Dalam konteks keislaman, ini selaras dengan QS. Al-An’am: 38, yang menegaskan bahwa setiap makhluk memiliki peran dan komunitasnya sendiri. Dengan demikian, kritik atas kesalehan ekologis terletak pada kecenderungannya yang masih berpusat pada kebutuhan manusia, bukan keseimbangan alam semesta secara holistik.

Banyak praktik keagamaan yang justru bertolak belakang dengan prinsip keseimbangan ekologis. Misalnya, konsumsi sumber daya alam yang berlebihan dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah, di mana penggunaan plastik sekali pakai meningkat drastis. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menganjurkan prinsip keseimbangan dan tidak berlebihan, sebagaimana dalam QS. Al-A’raf: 31. Kesalehan ekologis yang sejati seharusnya tidak hanya berupa retorika moral, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan nyata yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.

Di ranah pendidikan, kurikulum Islam masih cenderung mengajarkan kesalehan ekologis sebagai tanggung jawab moral tanpa mengintegrasikan pemahaman ilmiah mengenai ekologi mendalam. Sekolah-sekolah Islam sering kali mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan tanpa membahas hubungan sistemik antara manusia dan ekosistem secara lebih filosofis. QS. Al-Baqarah: 164 mendorong manusia untuk mentadabburi tanda-tanda kebesaran Allah di alam, yang seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan yang lebih berbasis ekosentrisme.

Kritik lain terhadap kesalehan ekologis juga muncul dalam pola pembangunan lembaga keagamaan. Masjid-masjid besar sering dibangun dengan bahan dan desain yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan marmer impor yang memerlukan eksploitasi tambang besar-besaran. Padahal, Islam sendiri mengajarkan kesederhanaan dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Deep ecology menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga menunjukkan kegagalan manusia dalam memahami hubungan spiritualnya dengan bumi.

Dalam konteks politik, kesalehan ekologis sering dikomodifikasi untuk kepentingan ekonomi. Banyak pemimpin dan organisasi keagamaan yang menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan tetapi mendukung kebijakan yang justru merusak ekosistem, seperti perizinan industri ekstraktif di wilayah-wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Dalam Islam, sikap seperti ini bertentangan dengan QS. Al-Maidah: 8, yang menuntut keadilan, termasuk dalam memperlakukan alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan.

Deep ecology mengajarkan bahwa manusia harus melepaskan egoisme spesiesnya dan mengakui bahwa alam memiliki hak untuk eksis tanpa eksploitasi. Pemikiran ini beririsan dengan konsep tawhid dalam Islam, di mana alam dan manusia adalah bagian dari satu kesatuan ciptaan yang harus hidup dalam harmoni. Konsep ini menuntut umat Islam untuk melampaui kesalehan ekologis yang bersifat dangkal dan lebih fokus pada kebijakan serta tindakan nyata yang menopang keberlanjutan ekosistem.

Salah satu contoh positif dari penerapan kesalehan ekologis yang lebih dalam adalah gerakan eco-mosque, di mana masjid dibangun dengan prinsip ramah lingkungan seperti pemanfaatan energi terbarukan dan pengelolaan limbah yang bijak. Model ini menunjukkan bahwa spiritualitas dan ekologi dapat berjalan seiring tanpa merusak keseimbangan alam. Namun, gerakan ini masih terbatas dan belum menjadi arus utama dalam wacana keagamaan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan transformasi paradigma dalam pendidikan, kebijakan, dan praktik keberagamaan. Kesalehan ekologis tidak cukup hanya diwujudkan dalam ceramah dan kampanye moral, tetapi harus diterapkan dalam sistem ekonomi, tata kelola lingkungan, serta kebijakan sosial yang lebih ramah ekologi. Konsep deep ecology dapat memberikan landasan filosofis yang lebih kuat dalam memahami pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah.

Beberapa sarjana Islam kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menyoroti bahwa krisis ekologi adalah akibat dari pemisahan manusia dari nilai-nilai spiritual. Dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, Nasr menekankan bahwa manusia modern telah kehilangan kesadaran akan sakralitas alam, yang seharusnya menjadi bagian integral dari iman. Perspektif ini memperkuat kritik terhadap kesalehan ekologis yang hanya berorientasi pada tindakan luar tanpa menyentuh dimensi spiritual yang mendalam.

Mohammed Abdul Matin, dalam bukunya Islam and Sustainable Development, mengkritik bagaimana konsep kesalehan ekologis sering kali hanya menjadi narasi formal tanpa diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan. Ia menekankan bahwa keberlanjutan harus menjadi bagian dari perencanaan sosial dan ekonomi, bukan sekadar wacana dalam khutbah-khutbah keagamaan. Kesalehan ekologis sejati, menurutnya, menuntut perubahan struktural dalam cara umat Islam mengelola sumber daya alam.

Selain itu, Ibrahim Ozdemir, seorang akademisi ekologi Islam, menyoroti bahwa salah satu tantangan dalam penerapan kesalehan ekologis adalah kurangnya keterlibatan ulama dalam advokasi kebijakan lingkungan. Ia menekankan bahwa para pemimpin agama perlu memainkan peran lebih aktif dalam mengedukasi umat tentang implikasi ekologis dari ajaran Islam. Dengan demikian, kritik deep ecology atas kesalehan ekologis dapat menjadi jembatan bagi pembaruan pemikiran Islam dalam menanggapi krisis lingkungan secara lebih konkret.

Dengan demikian, kritik terhadap kesalehan ekologis bukanlah untuk meniadakan keberagamaan dalam isu lingkungan, tetapi untuk membawanya pada tataran yang lebih mendalam. Islam telah memberikan petunjuk untuk menjaga keseimbangan alam, tetapi implementasinya masih harus dikembangkan lebih jauh dengan pendekatan filosofis seperti deep ecology. Hanya dengan cara ini, kesalehan ekologis dapat menjadi gerakan nyata yang berdampak bagi kelangsungan bumi dan seluruh makhluk di dalamnya.