Mengubah UU Pilkada, Kepentingan Parpol dan Pelecehan Kehendak Rakyat
Rencana Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk mengubah Undang-Undang Pilkada usai keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin, adalah sebuah langkah yang mengkhawatirkan dalam konteks demokrasi. Meski dapat dimengerti bahwa partai politik memiliki kepentingan pragmatis dalam menjaga kendali kekuasaan, yang menjadi masalah adalah ketika kepentingan tersebut mulai bertentangan dengan kepentingan publik dan hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin mereka secara bebas dan terbuka.
Putusan MK yang mengakomodasi pencalonan kepala daerah oleh partai politik tanpa harus memiliki kursi di DPRD adalah terobosan penting yang memberikan ruang lebih luas bagi regenerasi kepemimpinan, terutama di tingkat lokal. Putusan tersebut memungkinkan tokoh-tokoh lokal dengan kapasitas dan integritas yang baik, namun tanpa dukungan kuat dari partai besar, untuk ikut dalam kompetisi. Hal ini sesuai dengan semangat demokrasi yang inklusif dan partisipatif.
Sebaliknya, niat Baleg DPR untuk menganulasi putusan itu demi mempertahankan aturan lama yang lebih menguntungkan kartel politik, adalah langkah mundur yang merusak demokrasi. Menurut Giovanni Sartori, ilmuwan politik asal Italia yang memperkenalkan istilah kartelisasi partai dalam “Parties and Party Systems: A Framework for Analysis” (1976), kartelisasi dalam politik terjadi ketika partai-partai besar berkolaborasi untuk mempertahankan status quo dan menghambat munculnya pesaing baru. Fenomena inilah yang tampak dalam langkah Baleg DPR, yang pada dasarnya ingin mempersulit kemunculan alternatif-alternatif baru dalam kepemimpinan daerah.
Berdasarkan pemberitaan media yang berkembang, Baleg DPR secara eksplisit menyebut bahwa revisi ini memang terkait dengan putusan MK. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan bahwa meskipun putusan MK diakomodasi, revisi tetap dilakukan dengan alasan teknis dan harmonisasi. Namun, banyak yang curiga bahwa langkah ini sebenarnya bertujuan untuk menghambat implementasi putusan MK pada Pilkada 2024(bahan–Baleg DPR). Jika ini benar terjadi, maka upaya Baleg ini tidak hanya melanggar semangat reformasi, tetapi juga menentang prinsip dasar demokrasi.
John Locke, dalam konsep kontrak sosialnya, menegaskan bahwa kekuasaan pemerintahan yang sah harus berasal dari persetujuan rakyat. Ketika wakil rakyat bertindak bertentangan dengan kehendak rakyat, maka mereka telah mengkhianati kontrak tersebut. Selain itu, prinsip “Vox populi, vox dei” atau “suara rakyat adalah suara Tuhan” yang pernah diingatkan ulang Jean-Jacques Rousseau, menggambarkan betapa pentingnya suara rakyat dalam menentukan arah kebijakan. Dengan mencoba menganulir putusan MK yang memberi ruang lebih luas bagi demokrasi lokal, Baleg DPR pada dasarnya sedang mengabaikan kehendak rakyat.
Di samping itu, demokrasi juga membutuhkan kompetisi yang sehat dan terbuka. Robert Dahl, dalam teorinya tentang poliariki, menekankan bahwa demokrasi tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga pada keterbukaan akses bagi semua aktor politik untuk ikut serta dalam kompetisi. Putusan MK yang memungkinkan partai tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah justru sejalan dengan prinsip ini, di mana semakin banyak calon yang muncul, semakin kaya pilihan bagi rakyat. Sebaliknya, upaya untuk menghambat putusan ini hanya akan mempersempit ruang bagi kompetisi dan memperkuat dominasi partai-partai besar yang sudah mapan.
Jika Baleg DPR tetap berkukuh pada revisi yang menghambat putusan MK, mereka seolah sedang “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.” Mereka secara terang-terangan menunjukkan bahwa kepentingan politik lebih diutamakan daripada hak rakyat dalam sistem demokrasi. Kekuasaan memang penting bagi partai politik, tetapi mereka tidak boleh melupakan bahwa mandat kekuasaan itu berasal dari rakyat. Mengabaikan suara rakyat sama saja dengan mengabaikan legitimasi demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks Pilkada, memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak untuk berkompetisi adalah esensi dari demokrasi yang sehat. Biarkan proses demokrasi berjalan sesuai dengan aturan yang lebih inklusif, di mana para pemimpin lokal bisa bersaing dalam ruang yang terbuka dan adil. Jika Baleg DPR tetap melanjutkan rencana revisi ini, maka mereka sedang melawan arus reformasi dan memperkokoh sistem kartel politik yang selama ini menjadi musuh utama demokrasi.
Semoga suara rakyat tidak diabaikan, dan reformasi yang diharapkan tetap berjalan sesuai jalurnya. Demokrasi tidak boleh dikorbankan demi kepentingan jangka pendek segelintir elit politik.
Oleh: Darmawan Sepriyossa