INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Kebijakan Diskriminatif, Komnas Perempuan Soroti Polemik Lepas Jilbab Paskibraka Nasional

Gie

JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik koreksi atas kebijakan busana putri dalam pelaksanaan tugas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang telah disampaikan oleh pihak Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada Kamis, 15 Agustus 2024. Komnas Perempuan merekomendasikan agar polemik tentang kebijakan busana itu menjadi momentum percepatan penghapusan kebijakan diskriminatif yang ada di tingkat nasional dan daerah, terutama terkait pewajiban maupun pelarangan busana dengan atribut identitas keagamaan tertentu.

Kehadiran kebijakan diskriminatif mencerminkan kerangka pikir penyelenggara negara dan perumus kebijakan yang belum utuh dalam memahami prinsip non diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi manusia yang telah dijamin di dalam Konstitusi. Dalam konteks ini, terutama terkait hak kebebasan beragama, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, dan untuk bebas dari diskriminasi berbasis gender.

“Pengenaan busana sesuai dengan keyakinannya adalah hak yang tidak bisa dipaksakan oleh negara baik dalam bentuk pewajiban maupun pelarangan,” tegas Imam Nahei, komisioner Komnas Perempuan.

Menurutnya, penggunaan busana berdasarkan identitas agama sesuai dengan interpretasi yang diyakini oleh hati nurani merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak beribadat menurut agamanya. Karenanya, pewajiban maupun pelarangan oleh negara mengenai busana akan menghalangi penikmatan dari hak asasi tersebut, yang telah dijamin di dalam Konstitusi, sekaligus melanggar juga hak atas rasa aman dan pelindungan dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

“Negara harus memberikan penghormatan pada keyakinan warga dalam mengamalkan ajaran atau keyakinannya, termasuk keyakinan berbusana sesuai ajaran agama, sepanjang tidak mengingkari penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain,” jelas Nahei.

Ia juga mengingatkan bahwa perihal pembatasan hak harus merujuk pada Konstitusi, yaitu pada Pasal 28J ayat 2 UUD NRI 1945.

Pengaturan busana memiliki dampak yang khas dan diskriminatif bagi perempuan, terutama karena terkait dengan posisi perempuan sebagai pengusung simbol moralitas dalam masyarakat.

Komisioner Dewi Kanti menjelaskan bahwa Komnas Perempuan terus mengingatkan kepada para penyelenggara negara untuk tidak melakukan praktik diskriminasi berupa pembedaan, pembatasan, pengucilan kepada warganya, khususnya perempuan, termasuk mengeluarkan kebijakan pengaturan busana baik yang memberikan kewajiban maupun pelarangan pemakaian busana berdasarkan keyakinan/ajaran agama, khususnya di lingkungan pemerintahan, lingkungan pendidikan ataupun di ruang publik.

Menurut Dewi Kanti, Komnas Perempuan mengidentifikasi masih ada sekurangnya 73 kebijakan dan berbagai praktek diskriminasi di sejumlah daerah secara khusus terkait pengaturan busana atas nama agama, keyakinan, dan moralitas yang menjadi basis penyeragaman yang dialami oleh ASN, Guru, Siswi, Dosen, Mahasiswi dan pegawai swasta.

Dalam rangkaian konsultasi dengan para korban perundungan karena tidak mengikuti aturan busana itu, Komnas Perempuan mencatat dampak berkepanjangan serta bentuk kekerasan lanjutan, trauma, depresi hingga dapat berujung pada keinginan bunuh diri. Situasi tersebut juga terkonfirmasi dari survey yang dilakukan salah satu organisasi pendamping terhadap 1.786 responden (2021-2023), dimana sebagian besar korban mengalami depresi dengan gejala-gejala psikologis berat, gangguan body dismorfik disorder (gangguan kecemasan karena memiliki persepsi tubuh yang disabilitas dan anggapan tidak bermoral) dan juga percobaan bunuh diri.

“Menyikapi kondisi korban, kita perlu mengintensifkan langkah mengatasi persoalan ini agar tidak terus berulang dan menjadi semakin banyak, “ tegas Dewi Kanti.

Ia pun mengingatkan bahwa hak untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun dan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin adalah hak Konstitusional.

Komnas Perempuan telah berupaya menyikapinya sejak tahun 2010 berbagai pihak, seperti Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2010.

Komnas Perempuan juga telah merekomendasikan agar Presiden melakukan a) pembatalan pada kebijakan kepala daerah yang diskriminatif serupa itu, b) menginstruksikan langkah pembinaan yang lebih sistematis untuk memastikan pemahaman tentang prinsip non diskriminasi dalam penyelenggaraan negara, dan c) mengembangkan mekanisme pemulihan di tingkat pemerintah nasional dan daerah bagi para korban kebijakan diskriminatif.

Secara khusus Komnas Perempuan mendorong agar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengembangkan mekanisme monitoring untuk memastikan pemulihan dari dampak polemik kebijakan paskibraka ini maupun atas potensi diskriminasi lainnya. Syarat busana itu dapat berdampak terhadap kesehatan mental dan prestasi peserta. Jika tidak mengikuti syarat itu, maka anak akan kehilangan peluang berprestasi. Jika mematuhi, anak bisa menjadi tidak nyaman pada dirinya karena merasa menyalahi agama atau keyakinannya, juga dampak lain akibat kecaman dan perundungan.

“Karena yang akan menghadapi dilema dan dampak tersebut adalah anak perempuan, maka aturan serupa ini dapat dinilai pula diskriminatif berbasis gender,” jelas komisioner Veryanto Sitohang.

Komnas Perempuan juga menyoroti bunyi ikrar di dalam berbagai peraturan terkait Pakibraka dapat dinilai memiliki preferensi pada kelompok agama tertentu. Sejumlah persyaratan Paskibraka juga dapat membatasi kelompok anak berbasis abilitas.

“Paskibraka adalah salah satu ajang prestasi bergengsi, dan perlu dapat diakses oleh semua kelompok,” pungkasnya.