Urgensi Pengesahan RUU PPRT untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
INDEKSMEDIA.ID – Pengakuan, pemenuhan hak asasi, dan pelindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) semakin mendesak. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2019 – 2023, terdapat setidaknya 25 kasus terkait PRT yang diadukan. Tahun 2020, pengawasan KPAI menemukan bahwa 30% Anak Dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) adalah PRT anak, dan dua kasus terakhir tahun 2023-2024 menunjukkan PRT anak mengalami eksploitasi ekonomi, seksual, serta penyiksaan yang berakhir tanpa proses hukum karena pencabutan laporan dari orang tua/walinya. Data JALA PRT mencatatkan bahwa pada 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT.
Kasus penyiksaan juga kerap terjadi, termasuk PRT asal NTT yang dikurung dan tidak diberi makan oleh pemberi kerja di Jawa Barat, serta lima PRT yang berusaha kabur karena diduga disekap dan dianiaya. Juni lalu, seorang PRT di Tangerang bunuh diri setelah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan bahwa kasus-kasus ini merupakan fenomena gunung es. Banyak kasus yang tidak dilaporkan dan tidak terdokumentasikan karena berbagai hambatan. “Pemberi kerja juga memerlukan payung hukum yang memberikan jaminan hubungan yang setara dan mengakomodir hak-hak serta kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga,” lanjut Veryanto.
Situasi ini seharusnya menjadi pertimbangan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). DPR RI telah menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR pada Maret 2023, dan Presiden telah mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR serta menunjuk kementerian terkait untuk melakukan pembahasan. Ironisnya, lebih dari 20 tahun, RUU PPRT belum ada tanda-tanda untuk disahkan.
Jika tidak ada satu nomor DIM yang disepakati pada sisa waktu periode legislatif saat ini, maka RUU PPRT dikategorikan sebagai RUU non-carry over dan harus dimulai kembali pada periode DPR RI 2024-2029. Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia, seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas Disabilitas, mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan, menyebutkan bahwa mayoritas PRT dan pemberi kerja adalah perempuan. Komnas Perempuan mendukung pelindungan perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, dan meminta agar DPR periode 2019-2024 segera mengesahkan RUU PPRT menjadi Undang-Undang.
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, menegaskan bahwa Komnas HAM memberi perhatian terhadap kelompok rentan dan marginal seperti PRT, yang kerap mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Komnas HAM pada tahun 2021 telah mengkaji urgensi pengesahan RUU PPRT sebagai undang-undang untuk melindungi hak-hak PRT, mencegah diskriminasi dan eksploitasi, serta mengatur hubungan kerja yang harmonis.
Ai Maryati, Ketua KPAI, menekankan pentingnya implementasi Konvensi ILO 138 dan Konvensi ILO 182 untuk memastikan penghapusan pekerja anak. RUU PPRT diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak yang terlibat sebagai PRT.
Komisioner KND, Fatimah Asri Mutmainnah, mengungkapkan bahwa RUU PPRT akan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi PRT, termasuk penyandang disabilitas yang bekerja sebagai PRT. Kehadiran RUU PPRT diharapkan dapat menciptakan pelindungan yang optimal dan komprehensif bagi semua PRT.
Sesuai dengan Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945, pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Oleh karena itu, Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, dan KND meminta agar DPR pada masa sidang terakhir periode 2019-2024 segera mengesahkan RUU PPRT sebagai Undang-Undang dan memberikan ruang bagi lembaga HAM, masyarakat sipil, dan pemerintah untuk terlibat aktif dalam memberikan masukan agar RUU PPRT berpihak kepada rakyat, khususnya pekerja rumah tangga dan pemberi kerja. (*)