Komnas Perempuan Rekomendasi Tunda Pembahasan RUU Penyiaran ke DPR

INDEKS MEDIA – Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR menunda pembahasan RUU Penyiaran. Komnas Perempuan menilai ada sejumlah pasal yang akan merugikan maupun mengancam kebebasan pers dan berpotensi menambah kebijakan diskriminatif berbasis gender, disabilitas, dan kelompok minoritas.

Komnas Perempuan menilai RUU Penyiaran berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya dan masyarakat yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Menurut Komnas Perempuan, RUU Penyiaran juga menghalangi kebebasan berekspresi, mengandung makna yang ambigu, serta rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi perempuan dan Perempuan Pembela HAM.

Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan isi dan konten siaran yang mengandung kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan sebagaimana tertera dalam RUU Penyiaran bisa memunculkan standar ganda dan akan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat terutama perempuan yang dalam masyarakat patriarki dikonstruksikan sebagai ‘penjaga moral’.

Menurut Veryanto, ketentuan ini memperkecil ruang demokrasi dan diskriminatif terhadap kelompok rentan yang kontradiktif dengan semangat untuk melindungi kelompok rentan.

“Soal sejauh mana aturan ini menjangkau platform digital ini juga bisa berpeluang mengkriminalisasi perempuan pembela HAM atau akun-akun lembaga layanan/pendamping atau influencer kritis atau content creator yang mengekspresikan pendapatnya terkait isu HAM dan hak asasi perempuan di platform YouTube atau media sosial lainnya?” ujar Veryanto.

Ada sejumlah pasal yang disorot oleh Komnas Perempuan dalam RUU Penyiaran, misalnya terkait ketentuan Pasal 50 Ayat (2) yang mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Menurut Komnas Perempuan peraturan itu bertentangan dengan prinsip jurnalistik universal dan berpotensi mengancam penegakan hukum.

“Terkait dengan masalah larangan jurnalistik investigasi, Pasal 50 ayat 2 mengatur pelarangan penayangan, ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip universal jurnalistik itu sendiri, antara lain berbasis data, akurasi, itu membutuhkan investigasi tertentu di sana,” kata Komisioner Komnas Perempuan Rainy M Hutabarat dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, menurutnya, sejumlah investigasi yang dilakukan oleh media kerap kali juga berperan terhadap pengungkapan kasus-kasus yang merugikan negara, kasus kekerasan seksual atau yang menyasar kelompok rentan, penyiksaan berbasis gender maupun berbasis lainnya, serta mengkritik kebijakan negara. Oleh karena itu, Komnas Perempuan menilai rancangan aturan ini dapat menghambat akses para korban atas keadilan.

“Ini juga berpotensi mengancam penegakan hukum, karena bagaimana pun penegakan hukum memerlukan investigasi, basis data, akurasi,” katanya.

Komnas Perempuan juga menyoroti RUU Penyiaran tidak mengandung asas inklusif berbasis gender maupun disabilitas. Misalnya pasal-pasal terkait alih bahasa yang belum mengatur bahasa isyarat dan Pasal 10 (d) menyangkut syarat kondisi “sehat jasmani dan rohani” yang berpotensi mendiskriminasikan penyandang disabilitas serta ketiadaan unsur penyandang disabilitas dalam susunan tim pendukung dalam Pasal 11 (I) dan lainnya.

“Pasal 10-nya mengatur tentang alih bahasa dan bahasa isyarat. Syarat kondisi ‘sehat jasmani dan rohani’, ini bisa dipersempit artinya, menghambat disabilitas fisik misalnya kursi roda, nah itu, atau yang tidak mendengar misalnya, itu juga menghambat di sana,” katanya.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan menyoroti proses legislasi RUU Penyiaran. Awalnya RUU Penyiaran tersebut diusulkan pada tahun 2020, dan kembali muncul pada 2024. Saat ini proses penyusunan RUU penyiaran masih dalam tahap penyusunan di Baleg dan belum menjadi usul inisiatif DPR dan belum dibahas dalam tingkat I. Oleh karenanya, Komnas Perempuan mendorong agar proses pembentukan RUU Penyiaran harus sesuai tahapan dan tidak boleh melanggar prosedur.

Sementara itu terkait informasi bahwa Revisi UU Penyiaran akan disahkan pada September 2024, Komnas Perempuan meminta agar DPR menunda pembahasan revisi UU Penyiaran. Selain itu Komnas Perempuan juga mendorong partisipasi publik dan partisipasi perempuan yang luas dalam penyusunan RUU tersebut serta mengikuti tahapan pembentukan undang-undang.

“Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI menunda pembentukan RUU Penyiaran ini dan memastikan isi RUU Penyiaran tidak mengandung muatan diskriminatif,” kata Komisioner Siti Aminah Tardi, dalam kesempatan yang sama.

“Dan tentu agar tidak mengandung muatan diskriminatif, proses pembentukannya baik penyusunan hingga pembahasannya harus membuka ruang partisipatif yang bermakna, dan juga mempertimbangkan berbagai masukan dari kementerian/lembaga, termasuk lembaga nasional hak asasi manusia, media massa, dan masyarakat sipil lainnya,” ujar Siti.