Komnas Perempuan Catat Hampir Setengah Juta Kasus Kekerasan Sepanjang 2023, Berikut Kesimpulan dan Rekomendasinya

Jakarta — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (CATAHU) 2023. Pihaknya mencatat ditemukan 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023.

Berikut ini kesimpulan diskusi dan rekomendasi Komnas Perempuan dalam CATAHU 2023:

KESIMPULAN

1. CATAHU 2023 mengkompilasikan laporan kasus-kasus KBG terhadap perempuan yang diterima oleh Komnas Perempuan, berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Secara umum data KBG terhadap perempuan pada 2023 menggambarkan penurunan 15% pada semua sumber data. Penurunan yang paling signifikan terjadi pada sumber data lembaga layanan yang mencapai 35.6%. Penurunan data lembaga layanan ini disebabkan, di antaranya: (i) penurunan jumlah lembaga layanan yang mengembalikan kuesioner dari 137 lembaga pada 2023 menjadi 123 lembaga layanan pada 2023 atau menurun 10,2%; (ii) pelaksanaan pemilu yang cukup menyita waktu lembaga layanan yang bersamaan dengan bulan-bulan pengisian kuesioner; (iii). Terdapat sejumlah pengembalian kuesioner yang belum terisi.

2. CATAHU 2023 mencatat karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya dari pada pelaku. Hal ini meneguhkan akar masalah KBG bersumber dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sumber kuasa pelaku semakin kuat ketika pelaku memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, otoritas keagamaan. Sementara korban akan semakin rentan ketika berusia anak, posisi subordinat, penyandang disabilitas, perempuan dangan HIV.

3. CATAHU 2023 mencatat kekerasan di ranah personal masih menempati pengaduan yang dominan dari keseluruhan sumber data. CATAHU 2023 juga mencatat KBG di ranah publik dan negara mengalami peningkatan, yaitu pada ranah publik meningkat 44% dan di ranah negara terjadi peningkatan 176%. KBG ranah negara meliputi kasus-kasus perempuan berkonflik dengan Hukum, KBG terhadap perempuan oleh Anggota POLRI/TNI, KBG terhadap PPHAM; KBG terhadap Perempuan di Dunia Politik; Pemilihan Pejabat Publik; Penggusuran Paksa; Penyiksaan dan Perlakuan Tak manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Berbasis Gender; Kebijakan Diskriminatif; Kebebasan Beribadah dan Beragama; Pengungsian; KBG terhadap Perempuan dalam Adminduk.

4. Tingginya KTI memberikan sinyal penting bagi pelaksanaan UU PKDRT yang tahun ini akan memasuki 20 tahun. CATAHU 2023 kembali mencatat bahwa perempuan dalam perkawinan tidak tercatat dan perempuan yang memasuki perkawinan di usia anak lebih rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Siklus kekerasan semakin meresikokan perempuan korban KTI menjadi korban femisida atau KDRT berlanjut. Sedangkan dan lembaga layanan tercatat menggunakan mekanisme mediasi untuk menghentikan kasus KTI atas nama harmoni keluarga dan tidak memperhatikan kepentingan korban. Sementara penangganan KTI dalam lingkup kedinasan seperti di institusi TNI/Polri/ASN berhadapan dengan penilaian bahwa KDRT sebagai masalah personal dan bukan pelanggaran etik, penanganan institusi tidak berperspektif korban, dan mekanisme pencatatan perkawinan secara kedinasan dan perceraian TNI/Polri/ASN yang belum memenuhi kebutuhan korban.

5. Angka perceraian tercatat menurun, namun perceraian dengan alasan KTI, poligami dan kawin paksa pada 2023 masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa korban telah berani membuat keputusan untuk lepas dari siklus kekerasan melalui perceraian yang dipilihnya. Namun, perempuan yang bercerai mengalami pemiskinan ketika kehilangan sumber penghasilan dan tidak adanya tunjangan pasca perceraian, kehilangan akses terhadap harta bersama, dan tidak dipenuhinya kewajiban nafkah iddah dan nafkah anak.

6. CATAHU 2023 menunjukkan angka dispensasi kawin yang mengalami penurunan. Penurunan ini di satu sisi menunjukkan berjalannya kebijakan kenaikan usia perkawinan sesuai UU Perkawinan, disisi lain terdapat dispensasi kawin dapat diberikan karena “alasan sangat mendesak” yang umumnya merujuk pada kehamilan pada calon mempelai perempuan. Larangan pemaksaan perkawinan dalam bentuk perkawinan anak juga telah diatur dalam UU TPKS.

7. Sementara KTAP masih terjadi di berbagai usia hingga usia 40 tahun, yang menunjukkan rendahnya posisi tawar anak perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Salah satu bentuk KTAP adalah pemaksaan perkawinan yang menunjukkan tekanan orang tua dan masyarakat patriarkat akan konsep ideal dan peran gender perempuan yaitu menikah, melahirkan dan merawat keluarga.

8. CATAHU 2023 mencatat peningkatan 17 kali lipat dari tahun 2022 yang umumnya terjadi dalam relasi pacaran. Pemaksaan hubungan seksual, ingkar janji kawin, kehamilan yang tidak dikehendaki dan pemaksaan aborsi menjadi pola dalam relasi pacaran yang toksik. Kondisi ini menunjukkan besarnya relasi kuasa antara korban dan pelaku sehingga korban terus berada pada situasi yang membahayakan jiwa, tubuh dan kesehatan reproduksinya. Pemaksaan aborsi ini haruslah menjadi perhatian khususnya terkait (1) Potensi kriminalisasi perempuan yang dipaksa melakukan aborsi oleh pasangan atau keluarganya, (2) potensi kematian atau dampak jangka panjang terhadap kesehatan reproduksi perempuan, (3) percepatan sistem layanan aborsi aman bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, dan (4) Sosialisasi dan tafsir yang berpihak pada perempuan terhadap ketentuan dalam KUHP 2023 yang melarang melakukan aborsi baik dengan persetujuan perempuan atau tanpa persetujuan perempuan.

9. Menjelang dua tahun UU TPKS, KSBE tercatat menduduki posisi tertinggi diikuti dengan pelecehan seksual fisik, KS lain dan perkosaan di ranah personal. Kekerasan Seksual yang difasilitasi oleh teknologi paling tinggi dilaporkan terjadi pada anak muda yang dilakukan oleh pacar dan mantan pacar. Tren ini juga menunjukkan kemendesakan infrastruktur penanganan kekerasan siber dalam berbagai bentuknya, memperkuat perlindungan hukum dan perangkatnya yang lebih melindungi korban, juga mengisi kekosongan gap jaminan antara UU TPKS, UU ITE, KUHP dan UU Perlindungan Data Pribadi.

10. Selama 21 tahun CATAHU perkosaan menjadi kasus tertinggi yang dilaporkan. CATAHU 2023 mencatat kasus-kasus pelecehan seksual non-fisik dan fisik semakin banyak dilaporkan dibandingkan perkosaan. Hal ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual semakin dikenali, adanya jaminan hukum pelecehan seksual baik non fisik maupun fisik dan dukungan terhadap korban. Namun, peningkatan pemahaman korban terhadap bentuk dan jenis pelecehan seksual tidak serta merta diikuti dengan pemahaman APH terhadap bentuk dan jenis Kekerasan seksual secara komprehensif.

11. Proses pembentukan RPP dan Perpres pelaksana UU TPKS telah dilakukan sejak UU TPKS disahkan. Namun sampai sekarang, dari 7 peraturan pelaksana hanya satu saja yang telah ditandatangani oleh Presiden. Sejumlah kemajuan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Ketenagakerjaan dan BUMN yang telah mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan, penanganan dan pemulihan kekerasan seksual, sebagai pemenuhan kewajiban menciptakan ruang yang aman dari kekerasan seksual.

12. Sistem Pencegahan dan Penanganan kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi semakin menguat. Hal ini dapat dilihat dari data Kemdikbudristek pada 2023, terdapat 269 kasus yang sedang dalam proses penanganan, dan 354 kasus yang telah dinyatakan selesai. Terdapat 229 sanksi yang telah diputuskan oleh perguruan tinggi, 134 mahasiswa, 58 dosen, 15 tenaga kependidikan, 2 pejabat struktural perguruan tinggi, 12 warga kampus, dan 8 orang masyarakat (luar kampus) terlibat sebagai pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

13. Fenomena femisida terus terjadi dalam relasi personal sebagai puncak kekerasan terhadap perempuan dan belum terdapat upaya sistematis dalam mencegahnya. Disisi lain KDRT berlapis dan berkepanjangan serta minimnya infrastruktur layanan pada konteks kepulauan, di samping ketiadaan support system dari lingkungan terdekat dapat berakibat perempuan korban melakukan bunuh diri. Anak perempuan dengan disabilitas intelektual memiliki kerentanan berlapis terhadap kekerasan seksual yang berujung pada femisida karena hambatan dalam mengenali kejahatan pelaku dan ancaman di lingkungannya.

14. CATAHU 2023 mencatat peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas, khususnya perempuan dengan disabilitas mental yang menjadi kelompok korban tertinggi, diikuti oleh perempuan dengan disabilitas sensorik. Selain menjadi korban kekerasan seksual, perempuan dengan disabilitas mental juga menghadapi bentuk kekerasan terkait penyembuhan dan pengobatan. Perempuan dengan disabilitas mental masih mengalami hambatan stigma dan hambatan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual.

15. Perempuan pembela HAM (PPHAM) rentan untuk menjadi sasaran kekerasan sebagai dampak dari upayanya dalam mempromosikan dan mengadvokasi hak asasi manusia. CATAHU 2023 mencatat bahwa PPHAM yang lebih mendapat kekerasan adalah PPHAM yang bekerja
pada isu-isu ‘keras’ yaitu HIV dan AIDS, keragaman identitas gender dan seksual dan konflik sumber daya alam (SDA). Terbanyak adalah pada isu konflik SDA seiring dengan meningkatnya program-program pembangunan dan infrastruktur di berbagai wilayah.

REKOMENDASI

DPR

1. Segera menetapkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk membahas RUU PPRT tidak kembali ke titik nol tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Untuk menyelesaikan tahap penyusunan dan pemantapan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk selanjutnya ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI.
3. Segera meratifikasi Konvensi Pelindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
4. Membangun partisipasi substantif dalam proses-proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan memenuhi akses informasi, RDP yang bersifat multi
stakeholder dan lintas disiplin keilmuan.
5. Memastikan kepemimpinan perempuan di semua lembaga/jabatan publik yang dipilih oleh DPR RI.
6. Membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan tindak pidana
kekerasan seksual di lingkungan kerja DPR RI.

PRESIDEN

1. Menandatangani dan mensahkan 6 peraturan pelaksana UU TPKS sebelum 9 Mei 2024 sebagaimana batas waktu yang dimandatkan.
2. Memastikan Proyek Strategis Nasional (PSN) dilaksanakan dengan tetap menghormati dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk perlindungan terhadap kelompok rentan.
3. Mendorong setiap K/L untuk menerbitkan kebijakan internal untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagai bagian dari upaya membangun ruang aman dari kekerasan seksual.
4. Memastikan pengarusutamaan gender (akses, partisipasi, kontrol, manfaat) perempuan dilakukan dalam setiap kebijakan dan program/kegiatan Kementerian/Lembaga dari pusat sampai daerah.
5. Meningkatkan alokasi dana APBN untuk layanan dan pemulihan korban seperti operasional lembaga layanan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, tindakan medis lanjutan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia berperspektif korban.

KEMENTERIAN KOORDINATOR

1. Kemenkopolhukam memastikan pengarusutamaan perspektif gender dan disabilitas di lembaga-lembaga penegak hukum dalam pelayanan perempuan korban serta memastikan Pembangunan PSN khusunya penanganan konflik agraria dan SDA tidak menggunakan pendekatan keamanan.
2. Kemenko PMK menyusun RAN Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RAN PKDRT) dan kebijakan nasional terkait Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Korban Kekerasan
terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).

MAHKAMAH AGUNG

1. Memberikan fatwa hukum tentang perempuan dalam perkawinan belum tercatat tercakup dalam perlindungan UU PKDRT. §Melakukan pelatihan untuk kompetensi hakim dalam memeriksa dan mengadili kasus tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimandatkan UU TPKS.
2. Menyusun materi tentang kesehatan reproduksi komprehensif di dalam kurikulum, pendidikan calon hakim dan pendidikan lanjutan hakim di lingkungan peradilan agama dan umum.
3. Mengembangkan data terpilah gender dan disabilitas untuk pada seluruh badan peradilan di Indonesia.
4. Memastikan pengimplementasian PERMA 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

KEMENTERIAN LAINNYA

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)

a. Mempercepat peraturan peraturan Menteri yang berkontribusi terhadap pelaksanaan UU TPKS, mekanisme pencegahan femisida dalam kasus KBG.
b. Meningkatkan kapasitas dan koordinasi lembaga layanan.

Kementerian Kesehatan

Mendorong untuk mempercepat proses peningkatan kapasitas SDM, pemenuhan perlengkapan dan peralatan serta penyediaan Obat-obatan di Tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit Umum
Daerah lainnya dalam Upaya pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan terhadap Perempuan.

Kementerian Hukum dan HAM

Memastikan adanya keterwakilan perempuan dalam setiap tim penyusun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan perempuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan:

Menguatkan pelaksanaan implementasi Permendikbuddikti 30/2021.

Kementerian Agama

a. Membangun peningkatan kapasitas dari Tim Satgas PPKS di lingkungan Pendidikan yang berada dibawah koordinasi Kementerian Agama
b. Menyusun program dan materi pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan untuk penyuluh agama.

Kementerian Komunikasi dan Informatika

Terus membangun literacy digital khususnya untuk pencegahan, pelindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan siber berbasis gender.

KEPOLISIAN RI

1. Menerbitkan peraturan/pedoman di internal Kepolisian tentang penanganan perempuan berhadapan dengan hukum di tingkat penyelidikan/penyidikan.
2. Membangun mekanisme kerja antar unit cyber crime dan perlindungan perempuan dan anak dalam penanganan kasus-kasus kekerasan siber berbasis gender.
3. Memastikan kepemimpinan dan kompetensi yang tepat dalam struktur Direktorat PPA dan PPO.
4. Memastikan tidak terjadinya penundaan berlarut untuk penyelidikan/penyidikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
5. Melakukan pendataan terpilah gender dan disabilitas untuk kasus-kasus kekerasan, termasuk femisida untuk menentukan langkah-langkah pencegahan femisida dan pemenuhan hak-hak korban.
6. Memastikan mekanisme ijin perkawinan dan perceraian dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Panglima TNI

1. Menyusun materi tentang kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam berbagai pendidikan prajurit.
2. Memastikan mekanisme ijin perkawinan dan perceraian anggota TNI dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Penanganan KBG memperhatikan perlindungan dan pemulihan korban

Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia:

Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Disabilitas menguatkan kerjasama untuk memantau pencegahan dan penanganan korban TPKS.

Lembaga Non Struktural lainnya

1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengembangkan terobosan kebijakan untuk memudahkan korban kekerasan seksual mengakses layanan perlindungan dan pemulihan oleh LPSK.
2. Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial menguatkan pelaksanaan fungsinya guna turut memastikan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan.

Lembaga Donor dan Kelompok Bisnis:

1. Memberikan dukungan pendanaan kepada lembaga layanan mendampingi perempuan korban kekerasan.
2. Lembaga donor mendorong upaya dukungan bagi perlindungan Perempuan Pembela HAM terutama di wilayah-wilayah yang rentan konflik.
3. Kelompok bisnis melaksanakan ketentuan bisnis dan hak asasi manusia dalam usahanya.

Media dan masyarakat

1. Dalam pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, memberikan perlindungan terhadap identitas korban dan keluarganya dan memperhatikan hak-hak privasi korban serta menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan menyalahkan perempuan.
2. Masyarakat untuk turut mencegah, mendukung, membantu pelindungan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan dalam mengakses keadilan dan pemulihan.

Demikian kesimpulan dan rekomendasi Komnas Perempuan. (*)