Kemewahan Songket Pandai Sikek, Ditenun Gunakan Benas Emas dan Perak

INDEKSMEDIA.ID – Songket merupakan salah satu jenis kain tenun yang sering disebutkan sebagai “Rataunya Kain Tenun”.

Itu karena songket memiliki keindahan dan kemewahan atas tenunannya yang dibuat melalui benang emas maupun perak yang terkesan gemerlap.

Salah satu nagari di ranah Minang yang merupakan penghasil songket adalah nagari Pandai Sikek. Pandai Sikek merupakan nagari yang sangat terkenal di Sumatera Barat dan nasional sebagai sentra utama kain tenun khas Minangkabau.

Hasil tenunan kain songket Pandai Sikek dijual keluar daerah bahkan luar Provinsi Sumatera Barat. Keterampilan pembuatan songket Pandai Sikek sampai saat ini masih dimiliki oleh masyarakatnya.

Keahlian (keterampilan) menenun songket di Nagari Pandai Sikek pada umumnya diperoleh secara turun temurun dalam keluarga. Dari umur sekitar tujuh sampai delapan tahun khususnya para perempuan sudah mulai belajar menenun songket.

Ciri khas tenunan songket dari Sumatera Barat ialah menggunakan benang emas dan perak dalam menenun kain sutera sehingga menghasilkan kain yang mewah, karena di daerah ini banyak terdapat emas.

Sebenarnya informasi mengenai seni kerajinan menenun songket di Sumatera Barat sebelum pertengahan abad XVII sulit ditemukan, akan tetapi dapat dipastikan bahwa kerajinan menenun adalah jauh sebelumnya, seperti terlihat dalam laporan tahun 1665 yang menyebutkan bahwa kapas ditanam di Inderapura, Bandar Sepuluh (yaitu daerah pesisir antara Painan dan Indrapura), dan sungai Pagu, semuanya di sebelah selatan Kota Padang.

Kerajinan tenun terus berkembang sampai ditindasnya kaum Paderi oleh Belanda dalam tahun 1837. Pada tahun 1827 seorang kolonel Belanda melaporkan bahwa industri tekstil berkembang di dataran tinggi Sumatera Barat.

Kerajinan tenun di Sumatera Barat menurun dengan dratis sesudah tahun 1837. Penindasan Belanda terhadap kaum Paderi memungkinkan mereka melakukan pengawasan politik dan ekonomi terhadap Sumatera Barat secara menyeluruh.

Pemerintah kolonial Belanda seperti VOC -kongsi dagang Belanda-berusaha menjual barang-barang dari kapas, dan bukan kapas mentah kepada orang Minangkabau.

Hal ini dapat dimengerti karena mereka ingin hasil-hasil dari ranah Minangkabau, terutama kopi, sesudah peralihan abad XIX. Hal ini terlihat dari angka-angka berikut, pada tahun 1836-1845 rata-rata impor tahunan barang-barang katun ke Sumatera Barat melalui Padang meningkat sampai 250 persen nilai-nilai tahun 1820-1829, sedangkan impor kapas mentah untuk periode yang sama tenun sepertiganya atau 75 persen.

Keadaan industri tekstil Sumatera Barat agaknya telah memburuk sesudah pertengahan abad XIX.

Ketika sebelum Perang Paderi penduduk dataran tinggi dapat memperoleh kapas dan benang melalui sungai-sungai di sebelah timur yang menuju ke pantai timur Sumatera dan menghubungkan dataran tinggi itu dengan Singapura dan Penang.

Maka selama berlangsungnya perang, Belanda berusaha menutup jalur ini untuk mengalihkan arus barang-barang ke Padang di pantai barat.

Jalur timur ini akhirnya jatuh ke bawah kekuasaan Belanda pada pertengahan abad XIX. Hal ini berakibat menimbulkan kerusakan fatal pada industri tekstil di Sumatera Barat.

Keberlangsungan dari kerajinan tenun songket Pandai Sikek ini terwujud dikarenakan adanya proses pewarisan yang terus berlangsung.

Pewarisan sebut dilakukan hanya dalam satu garis keturunan, seperti pewarisan yang dilakukan seorang seorang nenek kepada cucunya, seorang ibu kepada anak gadisnya demikian seterusnya.

Ruang lingkup pewarisan tidak boleh keluar dari garis keturunan yang lebih dikenal dengan sebutan saparuik.

Tidak hanya itu, dalam falsafah kehidupan perempuan khususnya di nagari Pandai Sikek harus tahu dengan kato nan ampek, yakni tahu jo takok baniah, tahu jo suduik kampia, tahu jo Jiang karok, tahu jo atah takunyah.

Jika seorang perempuan Pandai Sikek tidak mengetahui kato nan ampek di atas, maka mereka belum bisa dikatakan perempuan Pandai Sikek.

Adapun arti dari kato nan ampek di atas, yakni seorang perempuan Pandai sikek diharapkan pandai dalam bertanam padi, pandai menganyam, pandai bertenun, dan pandai memasak.

Adanya kepandaian yang diharapkan dimiliki oleh para perempuan pandai Sikek di atas adalah bertujuan sebagai bekal kelak nanti manakala sudah berumah tangga, karena dengan kepandaian tersebut maka seorang perempuan dapat menjadi seorang istri yang tahu akan kewajibannya dan juga dapat membantu perekonomian keluarga, salah satunya yakni kepandaian menenun yang dapat menghasilkan uang.

Terdapat satu aturan atau sumpah dalam proses pewarisan bertenun songket yang diyakini oleh masyarakat Nagari Pandai Sikek, yakni bahwa kepandaian bertenun hanya boleh diwariskan kepada anak/cucu yang berasal dari rumah gadang.

Seandainya sumpah itu dilanggar maka hidup mereka bak bawah indak baurek, ka ateh indah bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, yang artinya bagi yang melanggar sumpah maka hidupnya akan sengsara seumur hidup. (*)