Sejarah Ulos Batak Toba, Masuk ke Sumatera di Abad ke-14
INDEKSMEDIA.ID – Ulos merupakan pakaian sehari-hari. Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut hande-hande, bagian bawah disebut singkot, sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang atau detar.
Bila dipakai oleh perempuan (wanita) bagian bawah disebut haen, dipakai hingga batas dada. Untuk menutup punggung disebut hoba-hoba dan dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe, untuk tutup kepala disebut saong.
Apabila seorang wanita menggendong anak ulos yang digunakan disebut parompa dan penutup punggung disebut hohop-hohop.
Dalam banyak catatan lama tertulis bahwa train tradisional Indonesia mempunyai nilai budaya tinggi, terutama dari sudut estetis, bermakna simbolis dan memiliki falsafah yang mendasari pembuatannya.
Jika kita menelaah sejarah kain tenun Indonesia, terutama teknik tenun ikat maim kita bisa melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia termasuk menarik karena ternyata teknik ini telah dikenal sejak jaman Prasejarah.
Di daerah pedalaman Sumatera, sejak lama penduduk mengenal corak tenun yang rumit, semua itu dihasilkan dengan membuat alat tenun sendiri, mencari pohon untuk diambil seratnya dan mencelup dengan bahan pewarna alam yang diambil dari hutan disekitar mereka bermukim.
Diperkirakan keahlian ini telah dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.
Keragaman dan keunikan ragam hias kain tenun tercermin dengan jelas pada unsur yang terkait dengan pemujaan pada leluhur dan kebesaran alam.
Setiap daerah memiliki ciri khas pada ragam hiasnya yang terkait dengan fungsi sosial budaya daerah tersebut.
Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama, sepotong kain tenun hampir selalu menjadi bagian yang amat penting.
Menurut sejarah, fase awal perkembangan usaha pertenunan ini merupakan salah satu kegiatan sampingan yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan para anak gadis untuk memenuhi kebutuhan bahan sandang atau sebagai atribut upacara adat.
Dalam cerita-cerita lisan seperti yang terdapat dalam turi-turian, sering digambarkan bahwa kepandaian bertenun merupakan salah satu hal yang sangat dituntut dari seorang gadis.
Sehingga pada masa kerajaan dahulu umumnya di bagian bawah rumah adat sering digunakan untuk tempat bertenun.
Pada waktu dahulu, memang kegiatan bertenun ini belum menjurus kepada persoalan perekonomian, apalagi yang pandai bertenun adalah kalangan anak raja dan bangsawan.
Jadi, bertenun waktu itu menjadi prestise atau status sosial seorang anak gadis, bahwa dia berasal dari keturunan raja dan bangsawan sehingga dia akan mendapatkan perlakuan istimewa dari lingkungan dan masyarakatnya.
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu.
Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India.
Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi).
Beberapa sumber juga mengatakan bahwa wilayah sumatera mengenal tenun sejak ada hubungan dengan India, Cina, dan Arab.
Dari merekalah teknologi menenun mulai diperoleh. Sedangkan perkembangan motif yang dimiliki adalah motif-motif yang merupakan hasil kreatifitas asli sukubangsa batak Toba yang dipengaruhi oleh unsur alam dan kehidupan manusianya. (*)