Basing, Musik Kematian dari Masyarakat Kajang

INDEKSMEDIA.ID – Suku Kajang adalah masyarakat yang mengisolasi diri dari perkembangan dan pengaruh dunia luar.

Pada awalnya masyarakat Kajang adalah penganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme akan tetapi pada abad ke 17 penyebar agama Islam telah sampai ke daerah ini.

Seorang Datuk dari Semananjung Melayu tiba di kampung Pattiro di Pantai Selatan Pulau Sulawesi.

Datuk tersebut kemudian di kenal sebagai Datuk di Tiro, dia kemudian yang mengislamkan orang-orang Kajang.

Akan tetapi dalam pengislaman tersebut tidak dilakukan secara tuntas. Sehingga orang Kajang yang sudah mengakui agama Islam seagai agama mereka tidak menjalankan sepenuhnya syariat agama Islam secara utuh.

Karena merekapun tidak menerimanya secara utuh. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang masih menjalankan ajaran-ajaran kepercayaan mereka (Animisme dan Dinamisme).

Salah satunya adalah dalam hal menghadapi dan mengurusi kematian. Salah satu yang dapat disaksikan dalam mengurusi kematian adalah adanya tradisi lisan yang menuturkan perjalanan kehidupan manusia mulai dari alam rahim hingga kealam setelah kematian.

Tradisi ini disebut dengan Basing. Ketika seseorang dinyatakan telah wafat maka seluruh keluarga akan merasa sedih.

Ekspresi kedukaan tersebut dinyatakan dalam berbagai bentuk antara lain adalah dengan melantungkan syair-syair basing yang menceritakan perjalanan hidup manusia.

Tradisi lisan Basing ini dipertujukkan 4 orang yang terdiri atas, 2 perempuan dewasa sebagai penutur yang menyanyikan lagu-lagu duka dan dua laki-laki dewasa yang meniup alat tiup seruling bamboo yang panjangnya 1 meter yang disebut dengan basing.

Keempat penyanyi Basing ini berada di salah satu sudut ruangan yang tidak jauh dari jazad di mati.

Suara nyanyian Basing mendayu-dayu seperti suara seirama dengan suara seruling, sehingga sulit dipisahkan antara suara seruling dengan suara nyanyian.

Masyarakat Kajang jika berada dalam suasana berduka maka ia tidak boleh memakai baju, mereka hanya boleh menutupi tubuhnya dengan sarung yang berwarna hitam, baik laki-laki maupun perempuan.

Demikian halnya dengan rombongan pemain Basing. Ia pun hanya mengenakan sarung.

Dengan mendengarkan Basing maka keluarga yang berduka akan sedikit terhibur jika membayangkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan si mati selama hidupnya, dan terbayang kehidupan yang akan dijalaninya setalah kematiannya. (*)