Mengenal Batik Indonesia, Sejarah dan Coraknya

INDEKSMEDIA.ID – Pada dasarnya, Batik merupakan seni lukis yang menggunakan canting sebagai alat untuk melukisnya.

Canting sendiri merupakan sebuah alat berbentuk mangkok kecil yang terbuat dari tembaga dan memiliki carat atau monong, dengan tangkai dari bambu atau kayu yang dapat diisi malam (lilin) sebagai bahan untuk melukis.

Canting ini dapat membuat kumpulan garis, titik atau cecek yang pada akhirnya membentuk pola-pola.

Pola-pola inilah yang kemudian menjadi ragam hias dalam kesenian batik. seperti yang disimbolkan.

Batik yang tersebar hampir di seluruh Indonesia memiliki bentuk ragam hias yang berbeda-beda diantara satu dan lainnya.

Menurut Djoemena (1986:10) perbedaan ragam hias yang terdapat pada batik sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor:

– Letak geografis pembuat batik

– Sifat dan tata penghidupan daerah

– Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah

– Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna

– Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembantikan.

Mulanya batik adalah salah satu kebudayaan “adihulung” keluarga raja-raja Nusantara.

Di masa awal, batik dikerjakan hanya terbatas dalam lingkungan keraton dan hasilnya semata-mata untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya.

Hal ini dibuktikan dengan tulisan yang dibuat oieh Rijclof van Goens, salah seorang yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, yang menuturkan dalam laporannya bahwa pada tahun 1656, di lingkungan Keraton Mataram diketahui terdapat empat ribu wanita yang melakukan pekerjaan dapur, memintal, menenum, menyulam, menjahit, dan melukis.

Tentu saja yang disebut “melukis” disini adalah membatik. Hanya saja waktu itu belum dikenal dengan istilah batik atau membatik (pada waktu itu di Jawa belum dikenal bahan cat yang dibubuhkan secara langsung dengan kuas).

Hal ini menunjukkan bahwa budaya membatik sudah menjadi salah satu budaya tertua di negeri ini. Selain itu, Chastelein, salah seorang anggota Read van Indic (Dewan India), adalah orang pertama yang menyebut “batex” (=batik) dalam Iaporannya tentang daerah-daerah jajahan pada saat akhir karirnya di Hindia (Indoensia) pada tahun 1705.

Di masa itu, kegiatan membatik dilakukan oleh putri yang berada di dalam keraton, sedangkan dalam proses-proses pencelupannya dikerjakan oleh para abdi claim keraton.

Tidak jarang pula pola-pola batik tersebut diciptakan sendiri oleh para putri keraton, bahkan raja-raja pun ada yang ikut terlibat dalam penciptaan pola-pola batik tertentu.

Dalam menciptakan pola-pola batik, mereka tidak sekedar mencipta begitu saja tetapi disertai dengan kegiatan ritual seperti puasa, mengurangi tidur dan semedi.

Selanjutnya, mereka akan menuangkan harapan-harapan dan pesan melalui berbagai ragam hias yang penuh makna, disusun sedemikian menjadi pola-pola batik yang indah.

Salah satu contoh pola batik yang proses penciptaannya melibatkan keluarga keraton adalah pola batik Truntum.

Pola ini merupakan ciptaan Permaisuri Sri Susuhunan Paku Buwono III yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kencana atau lebih dikenal dengan nama Kanjeng Ratu Beruk.

Pola batik Truntum mempunyai makna mendalam yang menyangkut kisah cinta Gusti Kanjeng Ratu Kencana yaitu berseminya kembali cinta Sri Susuhuan Paku Buwono III dan bersatunya kembali Gusti Kanjeng Ratu Kencana dengan sang raja di keraton setelah beberapa waktu diasingkan.

Pengharapan yang menyertai pemakaian batik dengan pola Truntum adalah cinta kasih yang kekal abadi antara dua insan manusia.

Oleh sebab itu, kain batik dengan pola Truntum tersebut sampai saat ini selalu digunakan dalam upacara adat perkawinan Jawa.

Dalam perkembangannya, kegiatan membatik ini ditiru oleh rakyat kebanyakan dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan umum bagi kaum wanita.

Selanjutnya, batik yang semula hanya untuk pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik oleh wanita maupun pria (Yayasan Batik Indonesia, tt).

Pada masa lalu, pembuatan batik dengan warna cokelat (soga), biru tua pada warna wedelan (indigo) dan putih atau krem pada warna dasarnya, dalam lingkungan keraton Jawa, dilakukan dengan memakai bahan pewarna alam karena bahan pewarna sintesis baru masuk ke Pulau Jawa kurang lebih tahun 1900-an.

Untuk warna cokelat atau soga diperoleh dari kulit kayu tinggi, kulit kayu jambal, dan kayu tegeran.

Untuk warna biru digunakan bahan pewarna alam dari daun indigo atau torn.

Proses membatik yang dilakukan masa lalu tersebut hingga saat ini masih tetap diterapkan karena selain merupakan karya cipta nenek moyang yang senantiasa harus dilestarikan, juga merupakan proses batik yang memberikan kekhasan dan ciri tersendiri dari batik di Indonesia. (*)

Baca Juga