Mengenal Bakatuang Asal Aceh, Tradisi Mengambil Telur Penyu

INDEKSMEDIA.ID – Kluet merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Aceh Selatan yang tergolong unik.

Wilayah yang terdiri atas 4 kecamatan yang meliputi Kluet Selatan, Kluet Utara, Kluet Timur dan Kluet Tengah didiami 3 suku besar antara lain Aneuk Jamee di Kluet Selatan, Aceh di Kluet Utara dan Kluet di Kluet Timur dan Tengah.

Masing-masing suku memiliki budaya yang saling berpengaruh. Uniknya, mereka dapat saling berinteraksi dengan baik meskipun dengan etnis yang berbeda.

Bakatuang merupakan budaya yang telah ada pada masyarakat Aneuk Jamee di kawasan Kluet Selatan sejak zaman dahulu.

Tidak ada data yang jelas kapan tradisi tersebut dimulai dan oleh siapa. Yang jelas, tradisi tersebut masih dipegang sejak beberapa generasi terdahulu sampai sekarang.

Secara adat dan hukum laut, aturan dalam mencari telur penyu sudah jelas meskipun tidak ada aturan tertulis.

Katuang, oleh masyarakat Aceh disebut Pinyie, dalam bahasa Indonesia disebut penyu. Ini adalah hewan langka yang sekarang dilindungi di Indonesia dan dunia.

Kabarnya habitatnya terancam punah sehingga pemerintah melarang penjarahan telur penyu yang kerap dilakukakn oleh masyarakat terutama atas alasan bisnis.

Tapi jauh sebelum undang-undang No 05/1990 ada, masyarakat Aneuk Jamee di Kluet Selatan sudah terlebih dahulu memiliki aturan yang dijadikan tradisi dalam memperoleh telur penyu.

Bagi mereka, telur penyu merupakan alternative lauk tang sangat istimewa. Kegiatan mencari telur penyu itulah yang disebut Bakatuang. Orang bilang langik manyirah sanjo hari, batando katuang naiak ka darek, demikian mitos yang dipercaya oleh masyarakat yaitu bahwa bila mega begitu terang di ufuk barat itu berarti para penyu menuju darat untuk bertelur.

Menurut mitos cangkang penyu ikut memantulkan sinar matahari sehingga tampak sangat terang. Maka para laki-laki akan bersiap-siap berburu telur penyu. Perburuan baru dimulai selepas Isya.

Jangan mengira bahwa ada alat khusus yang diperlukan untuk Bakatuang; yang diperlukan hanya sebuah kantung tertutup seperti ampang ganepo, yaitu kantung berbentuk tas terbuat dari anyaman daun pandan atau rumput mensiang (ilalang) atau sehelai kain sarung untuk tempat telur penyu nantinya, alat penerangan seadanya seperti senter atau suluh dan bahan makanan.

Pada umumnya pencari telur penyu dibekali makanan berupa pisang rebus yang cukup mengenyangkan dan kopi.

Jika pencari telur penyu telah menemukan sarang, maka ia harus menggali lubang dengan tangannya disamping sarang telur katuang tersebut.

Sarang yang ada tidak boleh diusik karena menurut kepercayaan, bila keadaan sarang berubah maka induk katuang akan marah dan tidak mau bertelur di pantai itu lagi. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa seekor induk penyu tidak pernah kembali untuk memastikan telur-telur menetas atau tidak.

Tapi aturan ini terus dijalankan. Adapun cara pengambilannya yaitu telur katuang diambil dari bawah dengan cara membuat lubang sampai ke sarangnya sehingga telur dapat meluncur ke dalam lubang buatan tadi.

Tapi kemungkinan lain yang, sering terjadi adalah pencari telur penyu melihat langsung katuang merangkak dari laut menuju daratan untuk bertelur.

Pada peristiwa seperti ini pencari telur katuang dibolehkan membantu katuang tersebut dengan cara mengangkatnya menuju darat lalu menjauh dan membiarkan katuang tersebut memilih tempat dan menggali sarangnya sendiri.

Dan menurut aturannya pencari telur penyu boleh saja menampung langsung sebagian telur yang keluar tanpa sepengetahuan si induk penyu. Proses ini terbilang sangat lama karena pencari telur penyu harus menunggu hingga lebih dari setengah jam. Penyu juga harus ditunggui sampai selesai menutup sarang, dan kemudian kembali ke laut.

Pada saat itu pencari telur penyu membantu lagi katuang tersebut mencapai laut sebagai wujud ucapan terima kasih atas telurnya.

Ada aturan yang harus dipenuhi dalam bakatuang yaitu telur hanya boleh diambil sepertiganya saja. Pada umumnya katuang bertelur 60 sampai 150 butir dalam satu sarang, maka telur hanya boleh diambil 20 sampai 50 butir saja berdasarkan lebar diameter sarang menurut penglihatan.

Sarang yang besar berukuran diameter 1,5 meter. Dan biasanya pencari katuang akan cukup puas dengan satu sarang saja, karena menemukan sarang katuang lebih sulit daripada melempar jala ke laut.

Uniknya lagi, setelah mengantungi sepertiga telur katuang, togas pencari katuang belum usai. Satu tahap lagi, si pencari katuang harus berhati-hati, karena aturannya jika ada orang yang ikut melihat telur katuang itu maka telur itu harus dibagi.

Jika antara si penemu pertama dan kedua secara bersamaan melihat katuang naik ke darat untuk bertelur, maka hasilnya harus dibagi due dan jika penemu kedua sekedar melihat telur penyu yang sudah di dapat oleh penemu pertama, walau dalam perjalanan pulang sekalipun maka wajib dibagi sepertiga bagiannya.

Itulah sebabnya mengapa si pencari katuang mesti membawa kantung tertutup karena jika tidak telur hasil temuan bisa habis terbagi sebelum tiba di rumah.

Aturan itu bukan hukuman, tapi demi kebersamaan. Bila rezeki ada dan diketahui pula oleh orang lain, maka akan lebih berkah bila orang lain turut menikmatinya.

Tak ubah sunnah Rasul, jika memasak masakan yang tercium baunya ke rumah-rumah tetangga maka haruslah kita membagikan masakan itu kepada mereka.

Telur yang didapat pun tidak boleh dijual, melainkan untuk dikonsumsi sekeluarga sebagai pengganti ikan ketika si ayah melaut di musim angin Barat. (*)