Mengenal Molapi Saronde, Kesenian Asal Gorontalo

INDEKSMEDIA.ID – Molapi Saronde secara harfiah terdiri dari kata molapi artinya menjatuhkan salentangi (selendang) yilonta (wewangian yang terbuat dari aneka kembang dan dedaunan rempah-rempah yang dicampur dengan minyak kelapa), selanjutnya disebut Saronde.

Maksudnya ialah mempersilahkan menari dengan selendang yang harum semerbak kepada calon pengantin laki-laki, dalam acara mopotilantahu (mempertunangkan), sebagai bagian dari tata cara moponika (perkawinan) menurut ketentuan adat Gorontalo.

Rangkaian acara itu (mopotilantahu dan molapi saronde) juga disebut motile huwali (meninjau kamar) dengan maksud memberi kesempatan kepada calon mempelai laki-laki untuk memastikan calon isteri yang akan dinikahi sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.

Selain itu, calon mempelai laki-laki melalui tarian tersebut berkesempatan meninjau dan memastikan penataan kamar tidur yang dipersiapkan sesuai keinginannya.

Tujuannya adalah untuk mewujudkan prosesi perkawinan adat secara ideal sebagai gerbang pencapaian keluarga sejahtera, sakinah mawaddah dan warahmah.

Asal usul sejarah Molapi Saronde menurut asal histori tak bisa lepas dari masuknya Islam ke Gorontalo (sekitar tahun 1525 M).

Bermula dari olongia (raja) Amai yang menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, lalu merumuskan prinsip adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula’a lo adati (adat bersendi syarak, syarak bersendi adat).

Formulasi itu menimbulkan ketegangan kreatif (Niode, 2007) yang melahirkan butiran-butiran tata peradatan. Secara turun-temurun terdapat 185 butir adat yang terdokumentasi dan diwariskan melalui pemangku adat dan jaringan keluarga.

Pada urutan ke-11 tertulis jelas butir adat mopotilantahu (mempertunangkan) dalam adat pernikahan. Molapi saronde adalah bagian dari adat pernikahan yang melekat pada butir mopotilantahu tersebut.

Meskipun demikian, pernyataan tertulis tentang molapi saronde pada era tersebut belum ditemukan. Beberapa kalangan dan pemangku adat berpendapat bahwa molapi saronde adalah konsep yang baru dipraktekkan secara serius di era pemerintahan Eato (1673 M – 1679 M).

Pendapat demikian didasarkan atas argumentasi sejarah dan kebudayaan. Secara kultural, pada masa ini ketatanegaraan Kerajaan Gorontalo tegak berdiri mengikuti kerangka demokrasi yang unik.

Tacco (1935:80-81) menyebutkan dengan “good ingericht bestuur bezaten’l Sistem ketatanegaraan itu dibangun di atas prinsip adati hula-hula’a to sara’a sara’a hula’a to quru’ani (Adat bersendi syarak, syarak bersendi Qur’an).

Detail prinsip tersebut melembaga pada berbagai pranata sosial, termasuk pranata perkawinan, yang didalamnya menginternalisasikan molapi saronde sebagai bagian dari kegiatan mopotilantahu yang diwariskan dari masa pemerintahan Amai.

Tentang kuatnya peran pertautan adat dan Islam pada masa transisi pemerintahan kerajaan ke sistem pemerintahan kolonial. Pada masa itu realitas kehidupan masyarakat Gorontalo begitu terikat dengan agama Islam. (*)