INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Tradisi Toraja: Rambu Solo Sebagai Wadah Penghimpun

Upacara Rambu Solo Tana Toraja (kolase)

INDEKSMEDIA.IDRambu Solo merupakan salah satu tradisi atau budaya di Toraja, Sulawesi Selatan.

Upacara tradisi Rambu Solo Tana Toraja itu hingga saat ini masih bertahan dan prosesinya yang amat dikenal di penjuru dunia.

Namun, tahukah kamu apa itu tradisi Rambu Solo, apa manfaatnya dan dari manakah sumbernya? Sepertinya kamu perlu membaca ulasan di bawah ini.

Disadur dari karya epik Nurdin Baturante, bahwa di kalangan masyarakat Toraja, kedukaan karena kematian adalah kedukaan yang paling menyayat hati; sehingga menyebut kematian diungkapkan dengan kata “indo” artinya ibu.

Iyyatu kamatean Indo’na mintu pa’di’ lan te lino (iyyatu= itu, kamatean= kematian, indo’na=ibunya; mintu= seluruh, pa’di‘=susah-kesusahan, duka-kedukaan; lan te Iino= di dunia ini).

Bahwa puncak kepedihan dalam kehidupan di dunia ini adalah kematian. Suatu suasana atau musibah/ujian dalam kehidupan manusia yang membutuhkan pendampingan yang bermakna penghiburan, butuh suasana kasih sayang manusiawi dalam kebersamaan.

Menjalaninya pun mengharapkan adanya peran hati-nurani dalam bingkai-bingkai keikhlasan yang berbalut kasih sayang dan semangat kekeluargaan.

Dengan demikian hubungan kekeluargaan dalam arti yang luas, sangat mempengaruhi berita suatu kematian, makin dekat hubungan kekeluargaan apalagi kalau orang tua-anak, suami-isteri, saudara, akan makin menyayat hati nurani seseorang.

Berita kematian menjadikan detak jantung dan getaran hati nurani yang mendorong seseorang, untuk dan agar sesegera mungkin berada di tempat kedukaan/kematian untuk melihat dan menyaksikan secara langsung jenazah dari dekat.

Itulah sebabnya penyelenggaraan acara upacara Rambu Solo sebagai rangkaian kegiatan acara-upacara kematian, oleh sebagian orang lantas berkata sebenarnya tidak wajar disebut “pesta kematian” karena kata “pesta” konotasinya terkait dengan suasana kegembiraan.

Dengan demikian ungkapan kata “pesta” adalah sesuatu yang tidak wajar dan sangat tidak etis untuk dikaitkan dengan penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo; kegiatan yang merupakan acara-upacara kedukaan karena kematian.

Berita penyelenggaraan kegiatan acara-upacara Rambu Solo pun sangat menggugah hati nurani orang-orang Toraja; merasa wajib untuk mengetahui kapan dan di mana penyelenggaraannya, agar mereka bisa mengatur waktu dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menghadiri penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo tersebut.

Keberadaan dan tata cara penyelenggaraan kegiatan acara-upacara Rambu Solo pada mulanya dan pada hakekatnya memang bersumber dan berdasarkan ajaran Aluk Todolo tentang Aluk Tau (jaran tentang manusia).

Bentuk dan rangkaian kegiatan penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo menurut Aluk Todolo, pada hakekatnya dapat disimpulkan bahwa berapa lama waktu pelaksanaan dan berapa banyak hewan kerbau, babi dan lainnya yang akan dikorbankan/dipersembakan pada ritual-ritual penyelenggaraan suatu upacara Rambu Solo, tergantung pada status tana‘: kasta atau strata sosial yang bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo, ada beberapa posisi, peran serta fungsi dan tanggung jawab yang perlu dipahami antara lain:

1. Batang raabuk (jenazah) dari orang yang meninggal.

2. Ampu Saara‘; (ampu=yang empunya yang bertanggung jawab, saara‘=kegiatan) yaitu orang atau keluarga yang mengadakan dan bertanggungjawab terhadap sukses tidaknya penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo; sering juga disebut To mapa’di’ (to=orang/keluarga, mapa’di‘=yang berduka), dalam hal ini agama apapun yang mereka anut; istilah lain ialah To masaara‘ (orang yang sibuk= panitia) yang terdiri dari keluarga, pa’tondokan yaitu anggota masyarakat setempat; ampu saara’ dan to masara.

3. To-tongkon (To= orang, tongkon= yang datang duduk/bertamu) dalam hal ini dari rumpun keluarga bersama rombongan atau pengikutnya; sering juga dikatakan to-marintin yaitu orang yang datang untuk turut berduka-cita.

4. Pa’tondokan (masyarakat setempat/pekerja pada rangkaian kegiatan penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo tersebut);

5. Tau bunda (orang banyak-masyarakat pada umumnya).

Begitu spesifiknya kegiatan penyelenggaraan acara-upacara Rambu Solo berdasarkan adat dan budaya Toraja, sehingga busana yang digunakan pun didominasi warna hitam dan merah.

Karena warna hitam dan merah, menurut adat dan budaya orang Toraja adalah warna yang merupakan simbol kedukaan utamanya warna hitam. (*)

Ref: Toraja Tongkonan dan Kerukunan (Nurdin Baturante)