Epistemologi Pendidikan: Anekdot Peramal dan Sang Raja

INDEKSMEDIA.ID — Ada sebuah dongeng yang sangat terkenal, di mana seorang peramal raja mengajarkan kepada anaknya ilmu tentang meramal, dengan harapan kelak si anak dapat menggantikan kedudukannya sebagai peramal raja di istana.

Dengan begitu, akan banyak harta dari istana yang diperolehnya. Lalu dia didik anaknya dengan mengajarkan ilmu ramalan-ramalan dan tindakan-tindakan ghaib.

Kemudian, diapun memperkenalkan anaknya kepada sang raja dan memberitahukan bahwa dia telah mempersiapkan anaknya agar menggantikannya sebagai peramal kerajaan.

Mendengar itu, raja ingin menguji kemampuan ilmu ramal yang dimiliki anak itu, seraya sang raja memanggilnya.

Raja menggenggam sebutir telur di tangannya dan berkata kepada anak itu, “Coba kamu terka apa yang ada di dalam genggaman tangan saya ini?”. Anak itu berpikir sejenak lalu menjawab, “Saya tidak tahu”.

Kemudian raja memberikan sedikit penjelasan, “Benda ini di tengah-tengahnya berwarna kuning sedangkan di pinggir-pinggirnya berwarna putih, maka benda apakah ini?”

Anak itupun diam sejenak kemudian menjawab, “Itu adalah sebuah adonan roti yang masih basah yang di dalamnya terdapat mentega kuning”.

Mendengar jawaban anak itu, Raja sangat kecewa, lantas memanggil Ayahnya sang peramal. Raja bertanya kepada peramal, “Sebenarnya ilmu apakah yang telah engkau ajarkan kepada anakmu?”

Sang peramal lalu menjawab, “Sesungguhnya saya telah ajarkan secara baik kepadanya ilmu meramal. Tetapi sayangnya dia tidak menggunakan nalarnya. Sesungguhnya sewaktu dia pertama kali menjawab pertanyaan Anda, bahwa dia tidak tahu, berarti disaat itu dia menggunakan nalarnya. Tetapi jawaban kedua kalinya menunjukkan kebodohannya karena tidak menggunakan nalarnya. Sangat mustahil adonan roti yang masih cair dan basah dapat digenggam.”

Demikian pula persoalan pengembangan potensi berpikir rasional dan berkreasi secara profesional dengan keahlian (skill) yang dimiliki, merupakan persoalan yang sangat penting untuk dilakukan.

Institusi-institusi maupun lembaga- lembaga yang bergerak di sektor pendidikan dan pengajaran harus benar-benar melaksanakan peran dan fungsinya.

Peran seorang pendidik tentunya tidak hanya terbatas kepada pemberian informasi dan mengajarkan kepada pelajar agar mampu menguasai ilmu. Karena hal ini hanya akan menjadikan otak para pelajar membeku sehingga tidak termotivasi agar menggunakan nalar dan kreasi mereka.

Kita melihat banyak para ulama yang telah menghabiskan waktunya guna menimba ilmu dari banyak guru.

Namun, saya pribadi belum begitu yakin akan kemampuan mereka. Kebanyakan dari mereka terkesan mengalami kemandekan (stagnancy) dalam kemampuan mengembangkan pemikirannya. Atau katakanlah bahwa mereka berpikiran jumud, tidak berkembang serta tidak kreatif.

Bahkan ada yang telah menghabiskan waktu selama 30 tahun demi menimba ilmu kepada beberapa guru (masyaikh) yang sangat alim. Adapula yang berguru kepada para ahli selama 25 tahun secara terus menerus.

Namun, sayang mereka tidak memiliki kreasi apapun. Boleh jadi karena terlalu lama dalam proses belajar secara formal sehingga menyita waktunya untuk berkreasi dan mengembangkan potensi-potensi berpikirnya.

Sisa umurnya hanya dihabiskan untuk menerima ilmu secara formal sehingga tidak ada lagi ruang dan waktu baginya untuk berkiprah dan berkreasi dengan ilmu dan potensi berpikir yang dimilikinya.

Referensi: Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam (Murtadha Muthahhari)