Sayyidah Nafisah Binti al-Hasan, Guru Imam Syafi’i dan Pembela Kaum Tertindas

INDEKSMEDIA.ID — Sayyidah Nafisah lahir di Makkah, pada pertengahan bulan Rabi’ul Awal, tahun 145 H. Nama lengkapnya ialah Nafisah binti al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Pada usia lima tahun, Sayyidah Nafisah dibawa orang tuanya ke Madinah. Di tempat ini, ia melalui hari-harinya dengan berziarah di makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu, ayahnya adalah amir (gubernur) yang diangkat oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Sayyidah Nasifah sering kali berada di Raudhah. Di sana, ia berdzikir, berdoa, dan menangis hingga berjam-jam.

Di Madinah al-Munawwarah itu, ia berjumpa dan mengaji kepada sejumlah perempuan ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in sampai menguasai berbagai ilmu, seperti al-Qur’an, tafsir, hadits, dan figh, hingga ia dijuluki “Nafisah al-‘Ilm” (Nafisah sang Perempuan Ulama).

Di kemudian hari, julukan itu ditambahkan orang menjadi “Nafisah al-‘Ilm wa Karimah ad-Darain” (Nafisah sang Perempuan Ulama dan Perempuan Mulia di Dunia dan Akhirat).

Sayyidah Nafisah juga sering kali disebut ‘Abidah Zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis).

Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai wali perempuan dengan sejumlah keramat.

Setiap tahun, selama tiga puluh tahun, konon ia berkunjung ke Makkah untuk melaksanakan haji.

Hal itu ditempuhnya dengan berjalan kaki, sambil berpuasa dan shalat malam. Apabila telah tiba di Masjid al-Haram, ia segera menuju Ka’bah, meraih kelambunya, lalu bermunajat:

Wahai Tuhanku, wahai Pemimpinku, wahai Majikanku, anugerahi aku kenikmatan dan kegembiraan Dengan ridha-Mu kepadaku, mohon jangan jadikan aku alasan yang membuatku tak bisa memandang-Mu.”

Sebuah kesaksian tentang ibadah Sayyidah Nafisah disampaikan oleh keponakannya, Zainab:

Aku membantu bibiku, Sayyidah Nafisah selama empat puluh tahun. Aku tidak pernah melihatnya tidur malam. Tidak juga melihatnya makan di siang hari kecuali dua hari raya dan tiga hari tasyrik. Aku katakan kepadanya, ‘Apakah bibi tidak menyayangi badanmu sendiri?’ Ia menjawab, ‘Bagaimana aku menyayangi diriku, sedangkan di depanku ada bahaya yang akan menghalangiku masuk kecuali orang-orang yang beruntung?’ Zainab juga mengatakan, ‘Bibiku hafal al-Qur’an dan menafsirkannya. la sering membaca al-Qur’an sampai menangis.”

Sayyidah Nafisah Menuju Mesir

Nama Sayyidah Nafisah menjadi sangat terkenal, bukan hanya di daerah Hijaz (Makkah, Madinah, dan daerah-daerah lain di Arab Saudi), tetapi juga di wilayah Mesir dan negeri-negeri yang lain di Timur Tengah.

Para jamaah haji dari Mesir yang berjumpa dengannya saat di Makkah dan Madinah begitu terkesan dengan pengetahuannya yang luas dan kepribadiannya yang indah. Mereka sangat berharap bahwa suatu saat Sayyidah Nafisah berziarah ke negerinya.

Mengenai keinginan tersebut, Sayyidah Nafisah berkata:

Aku akan berkunjung ke negeri kalian, insya Allah. Allah sudah memuji-muji Mesir dalam kitab suci al-Qur’an. Kakekku juga pernah mengatakan, ‘Kalian akan membuka kota Mesir. Ia adalah sebuah negeri yang disebut ‘Qirath’. Aku pesan agar kalian bergaul dengan penduduknya secara baik. Mereka akan melindungi dan menyayangi kalian.” (Ini disebutkan dalam kitab Bukhari dan Muslim).

Sayyidah Nafisah bersama suami, ayah, dan anak-anaknya, akhirnya berangkat ke Mesir dan tiba di Kairo, pada hari Sabtu, 26 Ramadhan 193 H. Atau lima tahun sebelum kedatangan Imam asy-Syafi’i.

Kedatangannya disambut penduduk Mesir dengan penuh suka cita. Suara takbir dan tahmid dikumandangkan bersahutan serta ledakan-ledakan tangis yang mengharu-biru. Mereka senang, karena berharap penuh untuk bisa belajar dan mengaji kepadanya.

Tujuan semula Sayyidah Nafisah ke Mesir ialah untuk menziarahi keluarganya, sesudah terlebih dahulu berziarah ke makam Nabi Ibrahim As., di Baitul Maqdis, Palestina.

Di kota tua itu, ia semula tinggal sementara di rumah megah Sayyid Jamaluddin Abdullah al-Jassas, seorang miliuner terkenal. Sesudah itu, ia pindah ke rumah Ummi Hani di Qarafah.

Memang benar adanya, sejak Sayyidah Nafisah di Kairo, saban hari rumahnya dikunjungi masyarakat. Sering kali rumahnya menjadi sangat padat, berjubel.

Mereka ingin mendengarkan pesan-pesan atau ceramah-ceramahnya. Begitu banyaknya tamu yang datang, sampai ia sering tak sempat “khalwah“, menyendiri untuk intim bersama Tuhan. Suatu hari ia mengatakan:

Sesungguhnya, aku datang ke tempat ini untuk tinggal menghabiskan hari-hariku yang penuh ujian yang berat. Aku seorang perempuan yang lemah, yang selalu rindu kepada kakekku, Muhammad al-Musthafa. Meskipun begitu, banyak orang di sekitarku yang harus aku sambut dan layani sebaik-baiknya, hingga aku sering tak sempat berdzikir dan beribadah sebagai bekalku di akhirat kelak.”

Sesudah dianggap cukup tinggal di Mesir, suami Sayyidah Nafisah bersiap-siap meninggalkan kota itu untuk kembali ke Madinah. Mendengar rencana itu, masyarakat di seantero Mesir merasa keberatan dan meminta agar Sayyidah Nafisah dan keluarganya tetap tinggal bersama mereka.

Sementara, sang ulama-wali perempuan ini bermimpi bertemu kakeknya, Nabi Muhammad Saw. al-Musthafa. Dalam mimpi itu, Nabi Saw. memintanya agar difinyat menetap di Mesir.

Selanjutnya, Gubernur Mesir ketika itu, Abdullah bin as- Sirri bin al-Hakam, menghibahkan rumahnya yang besar di Darba as-Siba’ untuk Sayyidah Nafisah dan keluarganya. Rumah itu sebelumnya milik Abu Ja’far Khalid bin Harun as-Sulami. Sang gubernur mengatakan:

Wahai putri Rasulullah Saw. yang mulia, aku orang yang sangat berharap bisa membantumu menghilangkan gelisah hatimu.”

Abdullah bin as-Sirri juga meminta izin untuk mengunjungi Sayyidah Nafisah dua kali dalam seminggu, Rabu dan Sabtu, di samping untuk melihat kondisi kesehatannya juga agar bisa beribadah bersamanya dan mengaji kepadanya.

Sayyidah Nafisah bukan hanya seorang perempuan ulama yang hari-harinya habis untuk mengaji, mengajar, mendidik umat, dan beribadah kepada Allah, melainkan juga seorang yang gigih membela, melakukan advokasi, dan melindungi rakyat yang teraniaya oleh kekuasaan.

Sejarawan Ahmad bin Yusuf al-Qirmani dalam bukunya menceritakan perempuan ulama yang sufi ini.

Ia berkata, la (Sayyidah Nafisah) memimpin demonstrasi rakyat yang menuntut penghentian penindasan penguasa Ibnu Thulun Mereka meminta perlindungan kepadanya. Lalu, ia menulis surat yang ditujukan kepada sang gubernur (Ibnu Thulun). la membawa surat itu. Manakala melihat rombongan gubernur, ia turun dari kudanya, lalu menemuinya. Surat itu langsung diberikan kepada sang gubernur. Isinya ialah:

“Salam sejahtera untukmu. Anda telah diangkat menjadi penguasa atas rakyat, tetapi Anda sering memenjarakan mereka. Anda dianugerahi kemampuan mengatur dengan baik, tetapi Anda malah membuat mereka menderita. Anda dianugerahi kekayaan yang melimpah, tetapi Anda membuat mereka melarat. Ketahuilah bahwa panah yang dilepaskan saat dini hari (doa pada dini hari/waktu sahur) akan menembus tepat di jantung sasarannya. Apalagi dilepaskan dari hati orang-orang yang kau sakiti, dari jantung mereka yang Anda miskinkan dan dari tubuh- tubuh yang Anda telanjangi. Orang-orang yang ditindas tak akan mati, sementara orang yang menindas tak akan hidup lama. Silakan kalian mau berbuat apa saja, terserah. Kami, orang-orang yang dizhalimi akan mengadukan semuanya kepada Tuhan. Mereka yang zhalim pasti tahu ke mana mereka akan dikembalikan.’ Wassalam, Nafisah.”

Al-Qirmani mengatakan, “Sesudah membaca surat itu, tak lama kemudian, Ibnu Thulun menghentikan tindakan- tindakannya yang menyakiti rakyat.”

Sayyidah Nafisah, Guru Imam asy-Syafi’i

Ada cerita menarik mengenai pertemuan dan pertemanan Imam asy-Syafi’i dengan Sayyidah Nafisah. Imam asy-Syafi’i (767-820 M) sudah lama mendengar nama besar dan ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengarkan pengajian dan ceramah yang diselenggarakannya setiap hari.

Imam asy-Syafi’i datang ke Mesir lima tahun sesudah Sayidah Nafisah tinggal di negeri itu.

Beberapa waktu kemudian, Imam asy-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayyidah Nafisah juga telah mendengar kebesaran Imam asy- Syafi’i. la senang mendengar keinginan itu dan menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan.

Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Apabila Imam asy-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumah Sayyidah Nafisah.

Demikian juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Dikabarkan bahwa Imam asy-Syafi’i adalah orang yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah. Dikatakan:

Ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, justru dalam statusnya sebagai tokoh besar dalam fiqh.”

Dua orang ulama besar itu konon sering terlibat dalam diskusi-diskusi yang hangat, ilmiah, dan bersahabat. Mereka saling menghargai.

Bahkan, pada bulan Ramadhan, Imam asy- Syafi’i juga sering kali shalat Tarawih bersama Sayyidah Nafisah di masjid perempuan ulama ini.

Manakala Imam asy-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayyidah Nafisah mendoakan kesembuhannya.

Begitu ia kembali, Imam asy-Syafi’i tampak sudah sembuh. Dan, ketika dalam beberapa waktu kemudian ia sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama. Mohon didoakan. Kali ini, Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi an-nazhr Ila wajhih al-karim.” (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya).

Mendengar ucapan sekaligus gurunya itu, Imam asy-Syafi’i segera paham bahwa sahabat waktunya sudah akan tiba. Ia kemudian berwasiat kepada murid utamanya, Al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah menshalati jenazahnya jika kelak dirinya wafat.

Ketika Imam asy-Syafi’i wafat, jenazahnya dibawa ke rumah perempuan ulama tersebut untuk dishalatkan.

Selain Imam asy-Syafi’i, sesungguhnya banyak sekali ulama besar dari berbagai mazhab berkunjung ke rumah Sayyidah Nafisah.

Beberapa di antara mereka yang bisa disebut ialah Abu al-Faidh Zhunnun al-Mashri, Imam Abu al-Hasan ad-Dinawari, Abu Ali ar-Rauzbari, Abu Bakar ad-Daqqaq, Imam Ismail al- Muzani asy-Syafi’i, Imam Abu Ya’qub al-Buwaithi, Abdullah bin Wahb al-Qurasyi al-Maliki, Imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi, Abu Nasr Sirajuddin al-Mughafiri, Imam Yusuf bin Ya’qub al-Harawi, Imam Abu Zakaria as-Sakhawi, Al-Faqih al- Imam Ahmad bin Zarruq al-Maliki as-Sufi (seorang muqri [ahli qiraat] besar), Imam Warasy, Al-Imam al-Muhaddits asy-Syirazi, Abu al-Hasan al-Mushali (dari Mosul, Irak), dan masih banyak ulama besar lainnya.

Wafatnya Sayyidah Nafisah

Sayyidah Nafisah menghabiskan hari-harinya untuk melayani masyarakat, mengadvokasi mereka, dan mengajar al- Qur’an serta tafsirnya kepada masyarakat Mesir, termasuk para ulama.

Ia melalui malam-malamnya dengan membaca al-Qur’an, shalat Tahajjud, dan munajat. Usianya semakin bertambah dan tenaganya berkurang. Ia sering sakit. Ia menjalani semua itu dengan sabar dan tidak pernah mengeluh kepada siapa pun, kecuali memohon pertolongan kepada Allah saja.

Ketika merasa ajal akan tiba, Sayyidah Nafisah menggali kubur dengan tangannya sendiri. Kubur itu berada di dalam rumahnya. Al-Allamah al-Ajhuri mengatakan, Sayyidah Nafisah mengkhatamkan al-Qur’an di dalam kubur yang telah digalinya berkali-kali. Lalu, ia menghadiahkan pahalanya untuk kaum muslimin yang telah wafat.

Ia juga menulis surat kepada suaminya, Ishaq al-Mu’tamin, yang masih berada di Madinah dan memintanya pulang bersama kedua anaknya: Al-Qasim dan Ummu Kultsum.

Pada hari Jum’at, 15 Ramadhan 208 H, sakitnya semakin bertambah. Para sahabat dekatnya mengatakan bahwa saat itu mereka melihat Sayyidah Nafisah membaca surah al-An’aam. Manakala telah sampai pada ayat: “Lahum dar as-salam ‘inda rabbihim“, ruhnya lepas dari tubuhnya. Ia pulang ke pangkuan Tuhannya.

Seluruh penduduk Mesir berduka amat dalam. Mereka menangis tersedu-sedu. Sebagian tersedak-sedak dan histeris. Jenazahnya diantarkan ribuan rakyat Mesir. Ia dikebumikan di suatu tempat yang kini berada di dalam masjid besar yang disebut dengan namanya: Jami’ Sayyidah Nafisah. Tiap hari, masjid ini tak pernah sepi peziarah hingga hari ini. (*)

Referensi: Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah (K.H. Husein Muhammad)