INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Apa Masalahnya Demokrasi itu Ribut, Bila Ketenangan adalah Kemandekan?

Para pemuda Luwu Raya saat berdiskusi soal perkembangan Demokrasi dan peradaban manusia (JAKFI Palopo)

INDEKSMEDIA.ID — Bahwa negara kita merupakan negara demokrasi, sebagai cita-cita kita semua, tentu saja tak lagi perlu untuk dipersoalkan.

Alasannya, cita-cita itu sudah menjadi pandangan pendiri Republik ini, dan merupakan salah satu unsur dorongan batin mereka yang amat kuat untuk berjuang merebut, mempertahankan, dan kemudian mengisi kemerdekaan.

Begitu juga, barangkali tak lagi perlu untuk ditegaskan bahwa dari satu sudut pandang, demokrasi merupakan suatu kategori yang sangat dinamis. Ia senantiasa bergerak, adakalanya, bahkan barangkali amat sering mengarah ke aspek negatif (mundur), kadang-kadang juga mengarahkan sejarah pada domain positif (maju).

Karena itulah, seperti apa yang dikatakan Willy Eichler, seorang politikus Jerman, bahwa demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratisasi.

Karena demikian, suatu negara dapat disebut demokratis bila di dalamnya ditemukan aneka proses perkembangan menuju ke arah yang lebih baik, tentu saja dalam hal pelaksanaan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi.

Tak hanya itu, akan ditemukan juga sebentuk tindakan pemberian hak kepada masyarakat, baik dalam cakupan individu maupun aspek sosial.

Dari sini, beberapa hal yang dapat dijadikan ukuran maju atau mundurnya demokrasi dalam suatu bangsa ialah seberapa jauh bertambah dan berkurangnya kebebasan asasi di dalamnya.

Kebebasan itu seperti menyatakan pendapat, berserikat, dan melakukan perkumpulan yang produktif untuk kehidupan bermasyarakat, tidak kecuali tentu saja untuk individu.

Masing-masing dari ketiga prinsip itu bisa diperinci dalam kaitannya dengan pelbagai bidang kehidupan perorangan serta kemasyarakatan, seperti aspek ilmiah (akademik), ekonomi, politik, kebudayaan, hukum dan lainnya.

Artinya, sudut pandang demokrasi sebagai kategori dinamis, kata Nurcholish Madjid, memungkinkan terjadinya hal yang dapat disebut ‘ironis’, seperti huru-hara dan hujatan yang berujung perpecahan yang tak produktif.

Seperti juga bila sebuah negara yang kini disebut paling demokratis, katakanlah Amerika Serikat, justru tak lagi demokratis bila menunjukkan gejala “kemandekan”, apalagi memasung kebebasan warganya.

Sebenarnya, tak lagi bisa dikatakan “jika” bahwa negara-negara Barat itu menghambat demokrasi, dengan alasan bahwa mereka memang cenderung memasukkan isu-isu perpecahan yang, dapat dikatakan kontras hitam putih, agama non agama, Asia atau Uni Eropa, tak kecuali yang kulitnya putih dan hitam, alias rasisme.

Artinya, di negara-negara yang menyimbolkan kebebasan berekspresi, justru mendeklarasikan isu rasialis yang, dapat dikatakan, kembali di zaman penindasan “primitif”. Tentu saja ini memilukan dan terlihat kontradiksi. Saya pun tidak mengatakan gejala itu tak terjadi di wilayah tertentu di sudut-sudut bangsa Indonesia.

Mengapa rasisme dianggap tidak relevan bahkan mencederai demokrasi karena, dapat dikatakan, isu rasial memberi asumsi bahwa kelas tertentu lebih tinggi dari pada kelas yang lain. Sederhananya, ada superioritas yang timbul atas yang lain, baik dalam lingkup pemerintah maupun non-pemerintah. Tentu saja ini menentang amanat demokrasi. Alasannya, superioritas bertujuan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Hal demikian itu punya banyak sekali contoh.

Aspek konkrit lain yang dapat dicermati adalah klaim serampangan atas nama bangsa besar seperti yang dilakukan oleh Eropa atas penemuan benua Amerika oleh Colombus. Padahal, jauh sebelum kakek buyut Colombus hadir di muka bumi, orang-orang Amerika sudah hidup berdampingan di keseluruhan benua Amerika. Ini satu contoh betapa domain ide rasial hidup dan menimbun pikiran banyak orang, tak kecuali, barangkali kita.

Aspek lain adalah negara di dunia ketiga kerap kali dikonstruksi sedemikian rupa agar dalam banyak hal menjadi terbelakang dan tidak rasional, padahal apa yang disebut kemajuan suatu negara adalah bukan untuk negara, tapi untuk masyarakat. Dengan alasan bahwa pendirian negara bukan untuk siapa-siapa selain meraih kebahagiaan warganya.

Bagi saya, apa yang amat perlu dan mendesak untuk diperhatikan serta dijalankan dalam demokrasi adalah pentingnya proses perkembangan, dan melakukan aksi-aksi agar bagaimana kemandekan tidak dibiarkan terjadi karena memang sangat berbahaya untuk tubuh demokrasi. Dan ini dapat terlaksana dengan baik bila di antara kita tidak menanamkan rasa superior atas yang lain.

Dengan begitu, sekalipun masyarakat demokratis yang memiliki konsekuensi penuh akan keributan, tetapi akan lebih baik bila diperhadapkan dengan ketenangan dan diam lantaran kemandekan. Karena itu, ketenangan akan lebih menyebabkan masalah dalam pengertian tidak ada perkembangan yang terjadi, daripada keributan yang melahirkan perbaikan-perbaikan.

Jika hal demikian itu dialirkan dalam denyut nadi kita sebagai individu, dan ke dalam aliran kehidupan masyarakat, tidak kecuali secara umum dalam cakupan negara kita yang luas ini, maka prosesi perkembangan akan lebih signifikan.

Pesan-pesan dalam tulisan ini tentu saja akan lebih menarik lagi bila didengarkan oleh mereka yang, dengan segala hormat, telah menggenggam kebijakan, yang pada gilirannya melahirkan suatu sikap tenggang rasa terhadap sejumlah kritikan yang dilayangkan kepada mereka sebagai bentuk bahwa semua kita mencintai negara dan mereka yang ada di dalamnya.

Sebagai pemuda yang tertarik bergerak ke dalam arus dunia pemikiran, dan karena sebagai konsekuensi dari demokrasi, oleh karena amat sulit menyampaikan pendapat tanpa lebih dahulu diawali dengan konsep yang matang, maka tentu saja benar-benar berharap akan hadirnya suatu kampanye demokrasi melalui politik yang adem, berbahagia, dan bergembira.

Politik semacam itu tentu saja tidak hanya untuk sekelompok elit ataupun mereka yang “bermesraan” dengan pemangku jabatan, tetapi juga bagaimana dengan cara apa pun lahir suatu pancaran kebahagiaan oleh pemerintah untuk rakyat yang hingga kini berpredikat atau dengan sengaja dipredikasi “jelata”. (*)

Penulis: Agung Ardaus (Aktivis JAKFI Nusantara)

Disclaimer: indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber.