INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Air, Burung, dan Nenek Moyang, Salah Satu Syair di Pentas Sastra Kampung Kapurung

Kamal Khatib, salah satu sastrawan muda Luwu Raya tampil dengan syair menggelora di pergelaran sastra komunitas Kampung Kapurung (indeksmedia.id/agung ardaus)

INDEKSMEDIA.ID — “Syair Air, Burung, dan Nenek Moyang sebagai salah satu pengembaraan saya di media maya yang tidak hanya melatih vokal dan mimik dalam setiap pembacaannya.” Demikianlah ucap Kamal Khatib, salah satu sastrawan muda Luwu Raya.

Syair yang dipopulerkan Iman Saleh ini, kata dia, “tak sekadar tumpukan kata-kata yang hanya mengajak pendengar melalui permainan intonasi, lebih kepada mengajak kita senantiasa mawas diri dalam melihat keadaan negeri.”

Syair ini dipentaskan oleh Kamal Khayib dalam kegiatan yang digelar oleh komunitas Kampung Kapurung bertajuk, “Sastra sebagai Alternatif“.

“Saya bersyukur adanya mediasi seperti komunitas Kampung Kapurung yang tidak hanya menyampaikan protes di panggungnya, tetapi juga sebagai ruang proses,” tandas pemuda Luwu itu.

Syair yang ia sebutkan dapat Anda simak di bawah ini:

Alkisah
seorang anak berjalan kaki
dia sudah berjalan siang dan malam untuk mencari air

Sedemikian hausnya dia hanya bisa berjalan dan terus saja berjalan melewati lembah tandus, hutan yang kering kerontang
tanpa daun, tanpa akar, tanpa kulit pohon
dibawah sinar terik matahari dan rembulan yang dingin membisu

lidahnya lengket di mulut, kerongkongan kering, nafaspun sesak…
tubuh dengan pakaian compang camping
seperti tanah tandus yang dia injak
anak itu hanya bisa berjalan untuk mencari air

“yambare ranaa,.
Aga kareba, sampurasun, pie kabare.
air ya air,. hujan ya hujan..
sampai hitungan tahun menuju kesepuluh
musim tak lagi menjadi penting

Tahun pertama dia menemukan
jika kau pergi ke sudut-sudut negeri dan kau bertemu dengan rindu
maka kau telah menjadi manusia
tahun kedua dia menemukan
jika kau meniadakan dirimu dari sekedar tujuan keduniaanmu
maka kau telah menjadi manusia
tahun ketiga dia menemukan
jika kau menempatkan alam sebagai sahabat baikmu
maka kau telah menjadi manusia
waktu tidak pernah berkurang
sedetik yang lalu masa lalu
sedetik yang akan datang
tidak pernah ada yang tahu
anak itu terus berjalan
sepanjang perjalanan dia punguti kata-kata
yang bertebaran diantara bisikan angin
tetesan air
bentangan cahaya
juga retakan tanah

yambare ranaa…
”jika kau mampu memberi cinta kepada siapapun
maka kau telah menjadi manusia
jika kau senantiasa menjadi murid dari berbagai ilmu
jika kau menempatkan perbedaan sebagai kekayaan
jika kau mampu menunjukkan pintu bagi kehidupan apapun
jika kau menempatkan bangsa manapun sebagai manusia
maka kaulah manusia”
rupanya anak itu telah mampu mendengar gemuruh gunung
suara merdu lautan
dan seperti yang menjadi mimpi terkabullah do’anya
di tahun ketiga puluh
jika jalanmu menanjak tenagamu haruslah keikhlasan
di tahun keempat puluh jika jalanmu berbatu
keringatmu haruslah ketawakalan
di tahun kelima puluh
jika jalanmu buntu nafasmu haruslah ketulusan
jika kau harus kembali dari pengembaraanmu
maka yang kau bawa haruslah kesabaran

Yambare rannaa
hingga di suatu tempat
tiba tiba dia melihat danau di kejauhan
danau yang dikelilingi pepohonan hijau
dengan langkah gontai dia mempercepat langkahnya
dahaga telah membakar seluruh raganya

Namun baginya tubuh hanyalah rumah
peradaban adalah jiwanya
ditepi danau
anak haus itu menundukkan kepalanya
barangkali dapat meminum seluruh danau
sungai
bahkan samudra
namun air bukan haknya!!
Sementara dahaga terus menggerogotinya
Dia hanya bisa berbaring
Melihat pantulan wajahnya
Pantulan harapan-harapannya

Yambare ranaa
Sementara di sudut danau terlihat seekor burung raksasa
Bertengger di pohon mati, lalu berkata ” :
Air ini milikku, warisanku, aku akan mengijinkan kau meminumnya
Jika kau mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku”

Anak itu diam
Dia hanya bisa berdoa untuk rasa takutnya”
Kau selalu berdoa untuk melawan kejahatan
Adakah doa untuk melawan kebodohan?”
Kegundahan pun mencekam pikirannya
Namun hidup tidak sekedar untuk dipikirkan
Hidup harus pula dihayati
Darah telah mengering
Dalam hausnya dia berkata
Baiklah jika air ini milikmu……. memang demikian harusnya

Inilah pertanyaan-pertanyaanku,
Burung di angkasa yang susah ditaklukan, apakah itu?
Perjalanan pikiran,. Pikiran,  ya pikiran !

Apa yang harus digali seperti harta karun anakku?
Ilmu,. Ilmu,. Itulah yang harus digali

Apa yang mengalir lancar dapat menghilangkan dahaga selamanya,
Menghidupkan sekaligus mematikan?
Kata-kata  ya  kata-kata..

Apa yang membuat manusia menjadi tuli
Tak dapat mendengar getaran bumi, gemuruh gunung
maupun suara merdu pepohonan?
Ketidaktahuan… ketidaktahuan

Dewa apa yang mengintai lembah tandus?
Dewa air yang siap menghijaukan kembali

Apa rambut leluhur dan dewa-dewa?
Pepohonan  ya pepohonan… kita harus menjaganya

Apakah otot bumi anakku?
Sungai..   ya sungai,  kita harus arif padanya

Apa keuntungan buah yg ranum?
secercah keheningan,. Secercah keheningan

Apa yang dapat mencairkan kegelapan malam?
Setetes air.. ya setetes air

Apa yg dapat menimbulkan dahaga seumur hidup?
Kebahagiaan  ya kebahagiaan

Sumber air yang berbisik menuju samudra, apakah itu?
Kasih sayang,.  ya kasih sayang

Apa yang paling berat membawa sekaligus melaksanakannya?
Amanah,.  ya amanah

Yambare ranaa…!
Tiba-tiba burung itu berubah menjadi sumber cahaya
Dan menjadi nenek moyangnya
Lalu dia berkata :
tubuhmu sudah penuh luka
Jangan berikan luka itu pada yang lain
Karena senjatamu adalah cinta
Berikan air itu pada siapapun
Peliharalah
Karena dari sanalah kita memulai hidup
diseberang lautan sana
ada jiwa kita yang lain
mereka semua adalah saudara kita…..

Syair ini ditulis Phellen Philip Baldini dan Iman Soleh dari naskah berjudul water courier di pulau reunion island (*)