Mengenal Lebih Dekat Ronggeng Gunung, Kesenian Asal Cimahi
INDEKSMEDIA.ID – Pementasan Ronggeng Gunung saat pertama diperkenalkan lebih bertemakan upacara bidang pertanian, mulai dari ngaseuk, sapangjadian pare, mapag pare beukah, sawenan, mipit, dan berakhir dengan panen.
Pada awalnya, tuan rumah yang hendak mementaskan Ronggeng Gunung biasanya hanya mengundang peronggeng saja untuk sebagai tokoh utama seni Ronggeng Gunung.
Para pengibing tidak perlu didatangkan oleh peronggeng sendiri karena biasanya warga yang berada di dekatlokasi pertunjukan menyediakan dengan sukarela. Saat pementasan, peronggeng menyanyikan lagu wajib terlebih dahulu, yaitu kudu turip.
Waditra pengiring pun demikian halnya, Suara lengkingan tersebut sudah cukup untuk menggugah bagi yang empunya waditra untuk menuju lokasi untuk kemudian mengiringi alunan suara peronggeng.
Suara melengking sang peronggeng terdengar terdengar bahkan dari kejauhan, menjadi semacam pertanda bahwa ada pertunjukan Ronggeng Gunung.
Pada masa dahulu, warga yang mendengar kemudian berusaha mencari asal suara tersebut. Sesampainya di lokasi, merekapun melihat dan banyak pula yang ikut menari bersama peronggeng.
Keinginan untuk mementaskan Ronggeng Gunung kala itu didasarkan atas rasa syukur atas beberapa tahapan yang akan atau telah dilalui dalam proses pertanian.
Saat panen tiba biasanya adalah masa panen pula bagi seni Ronggeng Gunung. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pula yang hendak mementaskan Ronggeng Gunung pada saat hendak mulai tandur.
Setelah pementasan selesai, sang tuan rumah, pada masa dahulu, tidak memberikan jasa dalam bentuk uang. Sebagai gantinya, tuan rumah memberikan barang-barang hasil pertanian atau kebun kepada peronggeng, seperti padi dan buah-buahan.
Ada juga yang memberikan seperangkat kain atau benda lainnya yang bukan dari hasil panen atau kebun. Biasanya barang bukan hasil panen tersebut diberikan karena tema hajatan dilakukan bukan pada saat musim panen tetapi saat masa persiapan atau selama penanaman.
Beranjak pada masa perjuangan kemerdekaan, menurut salah seorang informan, bahwa kesenian Ronggeng Gunung juga menjadi salah satu alat untuk melakukan strategi intelejen.
Pengibing yang menutupi bagian badan hingga wajahnya dengan sarung, disamping meneriakkan “hong” sambil berbisik mereka bisa saling bertukar informasi mengenai pertahanan musuh atau posisi para pejuang kemerdekaan.
Dapat juga menjadi sarana pertukaran senjata yang mereka bawa tanpa diketahui penjajah karena tertutupi oleh sarung yang saling mereka kenakan.
Perjalanan pertunjukan Ronggeng Gunung yang bertemakan pertanian mulai surut pada tahun 1990-an. Usungan tema baru kemudian dilakukan untuk memperoleh mbali minat penonton terhadap kesenian Ronggeng Gunung, yaitu dengan cara mengisi acara hiburan di sela-sela upacara khitahan atau perkawinan.
Tema baru ini dirasa sudah memberikan angin segar bagi pelaku seni Rongeng Gunung. Walaupun demikian, selera penonton menuntut agar kesenian Ronggeng Gunung lebih atraktif untuk mengikutsertakan penonton sebagai bagian dari para pengibing inti yang seluruhnya berjenis kelamin laki-laki.
Perkembangan kekinian membuat seni Ronggeng Gunung merubah strateginya dengan cara memasukkan penonton dari jenis kelamin perempuan untuk ikut serta bergabung bersama menari bersama dengan pengibing pria.
Suasana riuh rendah, keceriaan, dan keakraban seakan menyelimuti suasana pertunjukan ronggeng gunung.
Tidak hanya modifikasi itu saja yang sebagai trampilan baru ronggeng gunung namun ada beberapa tampilan lainnya sebagai upaya untuk lebih memeriahkan dan menarik para penonton untuk datang dan menikmati kesenian ronggeng gunung.
Tampilan baru tersebut untuk kemudian merubah nama kesenian ronggeng gunung untuk seterusnya dinamakan menjadi seni ronggeng kaler atau ronggeng amen. Sebuah nama baru yang menginduk pada kesenian ronggeng gunung itu sendiri. (*)