Sepasang Revolusioner, Mustafa Chamran dan Ghadeh (Part 5)

INDEKSMEDIA.ID — Sungguh berat kata-kata itu bagi Ghadeh, yaitu kata-kata ayahnya yang tak lagi memerhatikan Ghadeh.

Ghadeh pun memandang Mustafa yang berdiri di sebelahnya, dan berpikir, bagaimanapun Mustafa tetap memiliki harga diri.

Namun, sungguh mulia hari Mustafa, meski kata-kata kotor dan penghinaan ditujukan padanya, dia tetap mengantar Ghadeh berjumpa dengan ibunya. Ayah Ghadeh sendiri jarang di rumah, karena sibuk bepergian.

Suara Mustafa masih mengiang di telinga Ghadeh, “Hari ini aku tak bisa datang ke rumah orang tuamu. Berusaha untuk menarik simpati Ibumu. Apabila beliau mengucapkan Kata-kata yang tak berkenan di hatimu, jangan tersinggung. Nanti malam aku akan datang menjemputmu.”

Malam itu, kondisi kesehatan ibu memburuk. Ia mengidap penyakit ginjal. Aku katakan pada Mustafa, “Kondisi kesehatan Ibu memburuk; tak mungkin aku meninggalkannya.”

Mustafa datang menjenguk ibu dan mengusap kepala beliau. Dia melihat ibu tengah kesakitan dan air matanya membasahi pipi. Mustafa mencium tangan ibu dan berkata, “Sampaikan pada saya rasa sakit Anda.”

Kami memanggil dokter. Dia lalu mengatakan bahwa ibu harus dibawa ke rumah sakit Beirut untuk rawat-inap.

Saat itu, Israel menghujani bom di wilayah antara kota Beirut dan kota Tyre. Mustafa berkata, “Biarlah aku yang mengantar ibu ke Beirut.” Kemudian, Mustafa menggendong ibu ke mobil.

Aku pun turut pergi ke Beirut. Selama seminggu ibu dirawat di rumah sakit, Mustafa sering berpesan padaku, “Kau harus terus menjaga ibu dan jangan membiarkannya sendirian; terutama di waktu malam.”

Setiap kali ibu sadar dari pingsannya dan melihat Mustafa di sana, beliau selalu mengatakan, “Apa kau tinggal sendirian di rumah? Mengapa kau biarkan Ghadeh menemani ibu di sini. Bawalah istrimu pulang! Ibu bisa menjaga diri.”

Mustafa berkata, “Tidak, Ghadeh harus tinggal di sini untuk menemani ibu. Saya pun akan tetap di sini menemani ibu semampu saya.”

Mustafa mencium tangan ibu dan meneteskan air mata. Mustafa memang sering menangis. Ibu merasa heran melihat sikap Mustafa. Beliau menyesal setelah menyaksikan kebaikan dan ketulusan hati Mustafa.

Kondisi kesehatan ibu lantas pulih dan kami pun pulang. Aku pun tetap tinggal bersama ibu hingga dua hari berikutnya.

Aku ingat, suatu hatu Mustafa datang mencari ku. Sebelum ia menghidupkan mesin mobil, tiba-tiba dia memegang tanganku dan menciumnya.

Dia mencium tanganku, dan dengan disertai tangisan, dia mengucapkan terimakasih kepadaku.

Dengan penuh heran aku bertanya, “Terimakasih untuk apa, Mustafa?” Ia pun menjawab, “Inilah tangan yang mengabdi kepada ibunya di hari-hari yang sulit. Tangan ini suci bagiku dan aku harus menciumnya.”

Aku berkata, “Mengapa engkau berterimakasih kepadaku? Aku berbuat begitu lantaran beliau adalah ibuku, bukan ibumu. Justru engkaulah yang berbuat baik kepada beliau.”

Mustafa mengatakan, “Tangan yang mengabdi kepada ibunya itu suci. Orang yang tak berbuat baik kepada ibunya, takkan baik kepada siapa pun. Aku sangat berterimakasih karena engkau telah mengabdi pada ibumu dengan penuh cinta dan kasih sayang.”

Aku berkata, “Mustafa, setelah semua perlakuan kasar yang mereka lakukan padamu, engkau masih mengucapkan kata-kata seperti ini?”

Mustafa berkata, “Mereka berhak berbuat demikian lataran mereka menyayangimu. Mereka tak begitu mengenalku. Dan ini sangat wajar; setiap ayah dan ibu ingin menjaga anak gadisnya.”

Aku takkan pernah lupa, pengabdian ku kepada ibuku sendiri sangat bernilai di mata Mustafa. Setelah kejadian itu, ibuku berubah menjadi selalu bersikap baik kepada Mustafa. (*)

Nantikan kelanjutan kisah ini di part 6…!!