Biografi Singkat dan Derita Sang Sufi Perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah

INDEKSMEDIA.ID — Rabi’ah al-Adawiyah al-Bashriyyah adalah sosok perempuan ulama yang amat fenomenal.

Banyak orang menyebut Rabi’ah al-Adawiyah merupakan waliyullah, perempuan kekasih Allah.

Rabi’ah al-Adawiyah lahir pada 180 Hijriah. Sering dipanggil Rabi’ah al-Qaisiyyah, berasal dari Basrah, Irak.

Ia diingat orang, terutama dalam dunia sufisme falsafi, sebagai perempuan ikon cinta Tuhan (al-hubb al-ilahi).

Rabi’ah banyak melahirkan puisi indah, yang hingga kini didendangkan di berbagai tempat.

Para sastrawan masyhur dan sufi besar menjadikannya sebagai idola.

Beberapa tokoh menulis tentang Rabi’ah al-Adawiyah, antara lain adalah Abu Amr al-Jahizh, sosok sastrawan besar, dalam Al-Bayan wa at-Tabyin.

Abu Thalib al-Makki, seorang sufi besar, dalam Qut al-Qulub, sebuah karya yang memberi inspirasi kepada Abu Hamid al-Ghazali.

Sosok sufi besar lain seperti Abu al-Qasim al-Qusyairi juga menuliskan mengenai Rabi’ah dalam kitab terkenalnya Ar-Risalah al-Qusyairiyah.

Abdurrahman as-Sullami, sosok sufi terkenal juga menulis dalam karyanya Dzkir an-Niswah al-Mut’abbidat ash-Shufiyyat.

Masih ada banyak penulis besar yang mendeskripsikan Rabi’ah sebagai sosok perempuan yang mabuk rindu akan Tuhan.

Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin, namun taat mengabdi kepada Tuhan.

Kemiskinan keluarga Rabi’ah itu sedemikian rupa sehingga manakala Rabi’ah lahir di malam hari, rumahnya gelap gulita, tanpa lampu.

Untuk membeli minyak tanah saja, keluarganya tak memiliki uang.

Konon keluarganya juga tak mempunyai kain untuk membungkus jabang bayi yang masih merah itu.

Ismait, ayah Rabi’ah, kemudian terpaksa mengetuk pintu demi pintu rumah tetangganya seraya berharap memperoleh bantuan sedikit minyak tanah.

Namun, ayahnya pulang dengan tangan kosong. Meski demikian, ia tak mengeluh. Dirinya hanya biasa pasrah atas keberadaannya, sambil terus berdoa kepada Tuhan, siang dan malam.

Manakala Rabi’ah beranjak balita, dan sudah bisa makan dengan tangannya sendiri, ia kerapkali merenung seorang diri.

Pikiran dan hatinya seperti menyimpan kegelisahan.

Rabi’ah merupakan anak yang cerdas, ingatannya kuat. Ayahnya mengajarkan kepada anak-anaknya al-Quran dan di antara anaknya itu, Rabi’ah lah yang lebih dahulu memahami, padahal dia lah yang paling muda.

Rabi’ah dan saudara-saudaranya tak cukup lama bersama ayahnya.

Aya Rabi’ah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan empat orang anak perempuannya yang masih muda, juga sangat miskin.

Tidak lama berselang, ibunya juga wafat. Betapa berat hidup Rabi’ah da saudari-saudarinya itu.

Tak lagi ada penopang hidupnya, tak juga ada tempatnya mengadu dan bermanja.

Dengan alasan itu, Rabi’ah bersaudara melancong ke sudut-sudut negeri Irak untuk mencari pekerjaan.

Rabi’ah amat cantik, karena itu, saat di tengah jalan ia ditangkap, lalu dijual kepada seseorang yang memiliki tempat hiburan malam.

Di tempat itu dirinya bekerja sebagai peniup “ney”, suling, dalam beberapa waktu. Hingga akhirnya menjadi penyanyi.

Selain wajahnya yang amat cantik, Rabi’ah juga adalah perempuan yang berduara merdu.

Rumah hiburan itu tiba-tiba menjadi ramai pengunjung, dan pemiliknya mendadak kaya.

Tentu saja para pengunjung sangat senang mendengar nyanyian merdu Rabi’ah al-Adawiyah.

Bila malam telah larut, dan suasana di sekitar tempatnya menginap telah sunyi sepi, Rabi’ah tak segera beristirahat.

Ia justru segera mengambil air wudhu dan shalat tahajjud berlama-lama.

Ia mengadukan hidupnya kepada Tuhan. Rabi’ah, dalam kesehariannya sering bermunajat.

Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada 801 M. Tak diketahui dengan pasti tempat ia dikuburkan.

Beberapa riwayat menyebutkan ia dimakamkan di Palestina.

Sementara itu, riwayat lain menyebut bahwa pusaranya ada di Kairo, Mesir. Juga ada yang berpendapat di Irak. (*)

Referensi: Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah (K.H. Husein Muhammad)