Sepasang Revolusioner, Kisah Mustafa Chamran dan Ghadeh (Part 4)

INDEKSMEDIA.ID – Ghadeh khawatir ayahnya berubah pikiran. Dia tak ingin esok lusa ayahnya menyesali keputusannya. Di mana Mustafa? Ghadeh mencari Mustafa kesana-kemari, di kota dan di desa, hingga akhirnya dia bertemu Mustafa.

Ghadeh berkata padanya, “Besok kita bisa melangsungkan akad nikah. Ayah menyetujui pernikahan kita.”

Mustafa seakan tak percaya pada berita yang didengarnya. Bagaimana mungkin ayahnya menyetujui pernikahan itu? Mustafa pun sadar, itu terjadi bukan lantaran usaha manusia, tetapi kehendak Allah yang bicara. Ya, semua yang terjadi berada di tangan Allah.

Ghadeh tersenyum bahagia. Akhirnya, dia berhasil mencapai impiannya. Namun, masih ada sedikit ganjalan di hati. Dia bahkan tak tahu dan tak pernah melihat bahwa ternyata Mustafa berkepala botak.

Dua bulan berlalu setelah pernikahan mereka, seorang teman Ghadeh berkata padanya, “Ghadeh! Kau sebelumnya mengharapkan lekai-laki yang benar-benar sempurna dan tak memiliki kekurangan. Tapi aku heran, mengapa kau menikah dengan seorang doktor yang berkepala botak?”

Ghadeh ingat bagaimana dia memandang temannya itu dengan penuh heran. Dia menyangkal, “Mustafa tidak botak, kau keliru!” Temannya pun menganggap Ghadeh sudah hila karena dia belum juga mengerti kekurangan bentuk fisik Mustafa.

Hari itu, setelah Ghadeh tiba di ruma, dia membuka pintu dan matanya tertuju pada Mustafa. Ghadeh tertawa, Mustafa bertanya, “Mengapa engkau tertawa?”

Di sela tawanya, Ghadeh balik bertanya, “Mustafa,  benarkah kau botak? Aku belum tahu sebelumnya?” Saat itu, Mustafa ikut tertawa.

Mustafa pun menceritakan kejadian itu pada Agha Musa Shadr. Setelah kejadian itu, Agha Musa Shadr selalu mengatakan kepada Mustafa, “Ap yang telah Anda lakukan sehingga Ghadeh tak melihat kekurangan Anda itu?”

Barangkali itu tampak lucu, tapi benar-benar terjadi. saat-saat di mana aku bersama Mustafa, bahkan setelah kami menikah, kami tak punya apa-apa. Aku pun tak mengerti.

Kukatakan pada ayah, “Aku tak mengharapkan pesta. Cukup dengan mengundang keluarga dekat, paman, sepupu, dan kerabat lainnya.”

Ayah berkata, “Acara pernikahanmu tak ada hubungannya dengan ayah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan.”

Pagi hari di mana siangnya akan diadakan acara akad nikah, aku tetap pergi ke sekolah dan mengajar. Sementara, ibu tak sudi bicara denganku. Beliau marah.

Saudara perempuanku bertanya, “Mau ke mana?” Aku menjawab, “Ke sekolah.” Saudaraku menyergah, “Kau sekarang harus berdandan; pergi dan riaslah dirimu.”

Bukankah aku harus pergi ke sekolah? Di sanam semua orang juga bertanya, “Mengapa kau datang?” Aku pun heran dan balik bertanya, “Mengapa aku tak bolehdatang? Mustafa menghendakiku seperti ini.”

Aku pulang dari sekolah. Tamu-tamu sudah datang. Di sana, Mustafa datang tanpa diantar sanak famili. Agha Musa Shadr bersama keluarga dan saudara perempuannya serta Sayyid Gharawi menjadi perwakilan keluarga Mustafa.

Keluargaku tak ada yang datang. Mereka semua menentang pernikahanku ini dan merasa tak senang.

Saudara perempuanku bertanya, “Gaun apa yang hendak kau pakai?” Aku katakan, “Aku pynta banyak pakaian.” Dia menambahkan, “Kau harus mengenakan baju pengantin!”

Dia lantas pergi ke toko; membeli gaun pengantin untukku. Semua anggita keluarga mengatakan aku sudah gila. Mereka tak ingin kehormatan dan harag diri mereka jatuh akibat perbuatanku.

Barangkali, aku pengantin pertama yang tak pergi ke salon untuk merisa diri. Akad nikah dilangsungkan dengan jumlah hadirin yang amat sedikit.

Pengantin pria harus menyerahkan hadiah kepada pengantin wanita. Ini adat istiadat kami. pengantin pria biasanya memberikan hadia berupa cincin kawin.

Aku sama sekali tak berpikir tentang itu. Mustafa masuk sambil membawa bingkisan. Kemudian. Kubuka kado itu dan ternyata isinya sebatang lilin.

Dia membawa lilin sebagai kado ulang pernikahan. Di permukaan lilin itu terukir tulisan yang amat indah. Cepat-cepat kusimpan dan kusembunyikan kado itu.

Semua keluarga bertanya, “Apa isinya?” Kujawab singkat, “Aku tak bisa menunjukkannya.”

Apabila mereka tahu isi kado itu, tentu mereka akan mengatakan pengantin pria orang yang gila. Sebab, dia membawa lilin sebagai kado pernikahan untuk mempelai wanita. Memang, itu tak wajar dalam tradisi kami.

Saudara perempuanku bertanya, “Di mana mempelai pria? Dia harus maju ke depan untuk memasukkan cincin kawin ke dalam jari manis pengantin wanita.” Dengan suara perlahan aku berbisik padanya, “Kado itu bukan cincin.”

Saudara perempuanku marah dan berucap, “Apa kau ingin ibu masuk rumah saki malam ini? Pengantin pria datang dan tak menyerahkan cincin kawin pada pengantin wanita? Perkawinan macam apa ini? Wibawa dan kehormatan keluarga kita telah hancur…”

Aku hanya berkata, “Cincin tak ada. Lantas apa yang harus kulakukan? Apa yang kan terjadi, biarlah terjadi.” Akhirnya, kami pergi ke kamar; membuka lemari ibu dan mengambil cincin dari dalam kota perhiasan.

Mas kawin pernikahanku berupa Al-Quran al-Karim dan sumpah janji pengantin pria untuk membimbingku di jalan kesempurnaan dan ajaran keluarga nabi.

Adalah pertama kali di daerah kami pengantin wanita memperoleh mas kawin seperti ini. Maksudnya, mas kawin tersebut tak memiliki nilai materi. Bagi keluargaku dan masyarakat umum, ini sangat aneh.

Ibu mulai sadar bahwa cincin yang kukenakan adalah miliknya. Dia pun menjadi sangat marah. Kukatakan, “Ibu, aku melupakan tradisi ini. Andai aku ingat, pasti kukatakan pada Mustafa untuk membelikan sebentuk cincin untukku.”

Ibu bertanya, “Sekarang, ke mana Mustafa hendak membawamu? Di mana dia menyewa rumah?” Kujawab, “Aku ingin pergi ke yayasan bersama anak-anak yatim.”

Ibu lalu ikut bersama kami ke yayasan. Sesampainya di sana, beliau melihat satu kamar yang kecil dengan peti buah di dlamnya sebagai pengganti tempat tidur.

Ibu berkata, “Sungguh kasihan nasib putriku. Mengapa dia harus menderita seperti ini? Anakku, apa kau tidak waras? Tak punya tangan? Tak punya mata? Mengapa kau bua dirimu sengsara seperti ini?”

Akan tetapi, aku tak mau hidup di lembah yang mereka tinggali. Aku ingin hidup berpijak di atas tanah. Ibu berkata, “Ibu akan membelikan perabot rumah tangga untukmu diam-diam tanpa sepengetahuan anggota keluarga lain.”

Dalam pandangan umum masyarakat Libanon, bila pengantin wanita membawa perabot rumah tangga ke rumah suaminya itu dianggap buruk. Mereka akan mengatakan bahwa pihak keluarga wanita telah mengeluarkan uang agar anaknya dibawa.

Aku dan Mustafa tak membolehkan ibu membelikan perabotan rumah tangga untuk kami. sebab, kami ingin hidup sederhana seperti ini.

Suatu hari, di waktu Asar, Mustafa datang dan berkata, “Apa lagi yang kan kau kerjakan di tempat ini? Bawa perlengkapanmu dan mari pergi ke rumah kita.” Aku berkata, “Baiklah.”

Sikat gigi, handuk, dan perlengkapan lainnya, kumasukkan dalam tas kecil. Kukatakan pada ibu, “Aku akan pergi.” Ibu bertanya, “Ke mana?” Kujawab, “Ke rumah suamiku.”

Aku ingin pergi ke rumah suamiku dengan membawa perlengkapan sederhana. Aku tak memedulikan persoalan materi dan pernik duniawi.

Ibu mengira aku bercanda. Namun, kutambahkan, “Besok aku datang untuk mengambil barang-barangku yang lain.” Ibu pun marah. Beliau membentak mustafa dan menyergah, “Kau telah membuat putriku gila! Kau telah menyihirnya!”

Tiba-tiba, tubuh ibu bergetar dan akhirnya jatuh ke tanah karena pingsan. Mustafa langsung memeluk ibu dan menciumnya.

Tangan dan kaki ibu gemetar. Ia amat tertekan dengan apa yang terjadi.

Setelah sadar, kembali ibu memaki Mustafa seraya membentak, “Kau telah membuat putriku gila. Ceraikan dia sekarang juga! Bebaskan dia dari pengaruh sihirmu!”

Ibu melontarkan kata-kata cacian itu seakan-akan bukan ibu yang mengucapkannya.

Jiwa kami pun terpukul. Kami tak mengira ibu akan bertindak kasar seperti itu kepada kami.

Setiap kali Mustafa berusaha menenangkan ibu, kondisi beliau malah bertambah parah dan mulai lagi dengan caci-maki dan umpatan.

Akhirnya, Mustafa berkata, “Baiklah! Saya akan menceraikannya.” Ibuku memotong, “Sekarang juga!” Mustafa mengiyakan, “Sekarang juga saya menceraikannya.”

Ibu seakan-akan tak percaya dengan aoa yang didengarnya dan bertanya, “Kamu berani bersumpah?” Mustafa mengatakn, “Saya berani bersumpah akan menceraikannya, dengan satu syarat.”

Saat itu, aku sangat khawatir perceraian benar-benar akan terjadi. kondisi ibuku amat buruk. Mustafa melanjutkan, “…dengan syarat Ghadeh yang mengajukan perceraian ini. Maka, saya akan menceraikannya. Saya tak ingin Anda marah seperti ini.”
ibu langsung memandang ke arahku dan berkata, “Anakku, mintalah cerai darinya!” Kukatakan, “Baillah bu, esok saya akan pergi untuk minta cerai.”

Mala itu, aku tak pergi bersama Mustafa. Sementara, ibu kembali tenang.

Dua hari kemudian, ayah pulang dari bepergian. Keluarga menceritakan pada ayah apa yang terjadi. Ayahku orang yang amat bijak. Adapun ibu tersu memaksaku minta cerai.

Ayah berkata padaku, “Keluarga kita tak mengenal perceraian. Apabila engkau ingin memisahkan diri dari keluarga, sekaranglah saatnya. Dan jika kau ingintetap melanjutkan pernikahanmu, maka kau harus siap menanggung segala resikonya.”

Kukatakan pada ayah, “Baiklah! Aku siap menghadapi risiko apapun.” Ayah lalu menimpali, “Kalu begitu, pergilah sekehendak hatimu. Ayah tak ingin melihatmu lagi dan jangan membuat masalah bagi kami.” (*)

Nantikan kelanjutan kisah ini di Part 5…!!!!!