Sepasang Revolusioner, Kisah Mustafa Chamran dan Ghadeh (Part 3)

INDEKSMEDIA.ID – “Kau sudah gila! Lelaki itu 20 tahun lebih tua darimu. Dia orang Iran. Seluruh hidupnya dihabiskan dalam perang. Dia tak punya harta, bukan satu bangsa dengan kita, bahkan tak punya kartu tanda pengenal!”

Ghadeh meletakkan kepala di antara kedua tangannya dan memejamkan matanya…

Yang paling menarik dari kepribadian Mustafa bagiku adalah kecintaannya pada wilayah. Aku selalu menulis bahwa sampai detik ini, laut di Shur (Tyre) masih menendangkan kepadaku teriakan Abu Dzar al-Ghifari (sang sahabat Nabi saw), begitu juga setiap tanah Jabal Amil (pegunungan Libanon). Teriakan ini bersemayam dalam wujudku.

Aku merasa, aku harus pergi. aku harus sampai di sana (Tyre). Namun tak seorang pun meraih tanganku. Dan Mustafa adalah tangan itu.

Saat Mustafa datang, seakan-akan Salman al-Farisi (Sahabat Nabi) datang kembali.

Rasulullah saw bersabda, “Salman termasuk dari kami, keluarga.” Dia mampu meraih tanganku dan menariknya dari kegelapan, di atas kematian.

Aku tak merasa puas. Seperti jutaan orang, aku harus menikah dan menjalani hidup. Aku mencari seorang pria seperti Mustafa; sebuah jiwa besar dan terbebas dari dunia dengan segenap gemerlapnya.

Tetapi, hal demikian itu tidak tampak di mata keluarga, ayah, dan ibuku. Mereka berdya di dunia lain dan memang berhak untuk mengatakan, “Tidak!”

Mereka hanya melihat luar Mustafa. Dan Mustafa memang tak memiliki apapun dari dunia ini.

Dia seorang yang tak memiliki harta, rumah, penghidupan… Tak punya apa-apa! Ya, mereka hanya melihat sisi ini. seperti inilah masyarakat Libanon, dan sampai sekarang mereka masih bertahan dengan cara berpikir seperti itu.

Menurut mereka, nilai manusia ada pada penampilan dan harta. Mereka menghormati orang yang mengenakan pakaian mewah. Apabila dia seorang dokter, bisa dipastikan dia memiliki mobil mewah dan harta melimpah. Kepribadian dan nilai spritualitas manusia tak menarik bagi mereka.

Meski demikian, dengan perantara Sayyid Gharawi, Mustafa berupaya melamarku kepada keluargaku. Mereka memberikan jawaban negatif. Agha Musa Shadr berusaha turut campur dan berkata, “Saya berani menjamin mustafa. Seandainya outri saya telah dewasa, saya tentu menyerahkan putri saya kepadanya.”

Kata-kata ini mampu mempengaruhi mereka, namun tak bertahan lama. Mereka berbicara dan aku pun bicara. Aku bertekad tetap menikah dengan Mustafa, apapun yang terjadi.

Aku pikir, pada akhirnya aku akan melangsungkan akad nikah dengan izin Agha Musa Shadr, yang merupakan hakim syar’i.

Tetapi, Mustafa tak setuju dengan rencanaku. Dia tetap memaksa agar akad nikah dilangsungkan atas persetujuan ayah dan ibuku, meski ada tekanan dari pihak keluarga.

Mustafa sering menegaskan, “Berusahalah dengan cinta dan kasih sayang membuat mereka ridha! Aku tak suka, sementara aku menikah denganmu, hati ayah dan ibuku terluka.”

Dengan semua perasaan dan kepribadian yang dimilikinya, Mustafa jarang menemui ayah dan ibuku. Dia merasa bimbang dan tak ingin kejadian ini menyakiti kedua orang tuaku. Inilah untuk pertama kali dan barangkali terakhir kalinya Mustafa berbicara dengan nada kera di depanku lantaran mereka.

Aku ingat hari-hari di mana Israel menghujani daerah selatan dengan serangan bom. Semua orang meninggalkan daerah itu.

Aku berada di Beirut, sementara Mustafa tinggal di Selatan bersama anak-anak. Aku sangat dekat dengan mereka sehingga aku tak mampu sabar jauh dari mereka.

Kemudian, aku pergi ke tempat Agha Musa dan menjemput anak-anak. Agha Musa Shadr menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan berkata, “Berikan surat ini pada Mustafa secepat mungkin.”

Aku pergi bersama Ustadz Yusuf Husaini menuju yayasan. Di sana, mereka mengatakan bawa Doktor Mustafa tak ada. Mereka tak tahu di mana beliau. Kami pun mencari Mustafa ke mana-mana dan mendapatinya di kota al-Kharayib.

Mustafa terkjut melihatku, sebenarnya, dia belum ingin bertemu denganku, mengingat situasi yang rawan. Anak-anak berada dalam kesulitan dan kondisi amat berbahaya.

Mustafa mengambil surat itu dariku dan segera menulis jawabannya. Dia memintaku menyampaikan surat tersebut kepada Agha Musa Shadr. Aku katakan, “Aku tak mau pergi. Aku ingin tetap di sini; tak mau kembali ke Beirut.”

Mustafa terus memaksaku pergi, “Kau harus cepat kembali ke Beirut.” Tapi aku tak ingin pulang.

Waktu itu, Mustafa yang berkepribadian lembut dan penuh kasih sayang, untuk pertama kalinya bersikap kasar padaku dan berteriak, “Cepat masuk ke mobil! Di sini terjadi perang! Jangan bermain-main dalam situasi seperti ini.”

Aku sangat takut dan sedih. Kondisinya memang tak baik saat itu. Mustafa tak hanya marah, namun juga berbicara padaku dengan nada keras, di depan anak-anak pula seraya berkata, “Cepat pergi dari sini!”

Saat aku hendak pergi, Mustafa maju ke depan dan berkata pada Yusuf Husaini, “Pergilah, biar saya yang mengantarkan perempuan ini dengan mobil saya.” Aku menangis sepanjang jalan, dari al-Kharayib hingga Shaida.

Aku katakan kepada Mustafa, “Kukira engkau orang yang lembut; tak pernah kubayangkan engkau berlaku kasar seperti ini padaku.”

Mustafa tak pernah berkata apa-apa hingga kami sampai di Shaida. Di tempat itu, aku berpindah ke mobil Yusuf Husaini untuk pulang ke Beirut.

Di situ, Mustafa meminta maaf kepadaku; sama seperti Mustafa yang kukenal sebelumnya. Dia berkata, “Aku tak berniat menyakitimu. Tapi, aku tak ingin kau datang dan tinggal di selatan tanpa izin keluargamu. Kau harus pulang dan tinggal bersama mereka.”

Aku mengalami hari-hari yang sulit. Keluargaku tak mengizinkanku keluar rumah.

Setelah 17 tahun aku bebas pergi kesana-kemari dengan mobil pribadi, mereka akhirnya mengambil kunci dariku.

Keman pun aku pergi, saudaraku yang engantarkanku pulang-pergi. bahkan saat pergi ke sekolah atau ke rumah Sayyid Gharawi, aku tertap diantar. Berbagai kesulitan dan tekanan telah kuhadapi.

Suatu ketika aku bertemu Mustafa. Saat itu dia tampak sedih. Dia berkata, “Kita sudah menjadi bahan pembicaraan orang-orang . sungguh besar tekanan yang kualami. Kau harus memilih salah satu; arah ini atau arah itu. Kau harus memutuskan.

Setelah dia mengucapkan itu, jiwaku menjadi lebih tertekan. Aku menghadapi dua pilihan sulit. Aku harus memilih; ayah dan ibuku atau dia. Salah satunya harus kupilih. Sungguh sulut dan sangat sulit.

Aku berkata, “Mustafa, apabila engkau membebaskanku perg ke sautu arah, maka engkau harus meraih tanganku!” Mustafa menimpali, “Keadaan tak mungkin berlangsung tersu seperti ini.”

Malm itu, ketika aku sampai di rumah, ayah dan ibuku sedang menonton televisi. Aku matikan televisi.

Tanpa berpikir dulu, kukatakan, “Ayah, sejak kecil hingga saat ini selama 25 tahun, aku tak pernah menyakiti hati ayah dan selalu patuh. Tetapi, untuk pertamakalinya aku tak menuruti perintah ayah dan aku minta maaf atas itu.”

Ayah menyangka persoalan dengan Mustafa telah tuntas dan aku memang beberapa waktu ini tak membicarakannya lagi. Ayah bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa?”

Tanpa persiapan dan sepengetahuan Mustafa, tiba-tiba kukatakan, “Besok lusa aku akan melangsungkan akad nikah dengan Mustafa.”

Kedua orang tuaku sungguh terkejut. Dan, itu kutambah dengan kata-kata, “Aku bertekad untuk tetap menikah dengan Mustafa. Besok lusa, akad nikah akan dilansgungkan di hadapan Agha Musa Shadr.”

Aku heran, dari mana aku beroleh keberanian seperti itu? Mustafa sama sekali tak tahu tindakanku itu.

Ibu sangat marah. Dia berdiri dan membentakku. Untuk pertama kalinya, ibu hendak menamparku. Namun ayah mencegahnya.

Dengan nada terang, ayah bertanya, “Kau akan melangsungkan akad nikah dengan siapa?”

Kujawab, “Doktor Chamran. Aku telah berupaya keras meyakinkan ayah, tetapi tak berhasil. Mustafa mengatakan padaku bahwa usaha kami takkan berhasil dan dia pun segera pergi.”

Ayah mendengarkan kata-kataku. Dengan tenang dia berkata, “Selama ini, apa yang kau butuhkan, ayah selalu memenuhinya. Tapi ayah melihat pria ini tak pantas untukmu. Dia tak sama dengan kita. bahkan kita pun tak mengenal keluarganya. Demi rasa sayang ayah padamu, ayah tak ingin pernikahan ini terjadi.”

Aku katakan dengan mantap, “Apapun yang terjadi, aku tetapa akn pergi. Agha Musa Shadr telah memberikan izin padaku. Beliau adalah hakim syariat dan bisa menjadi wali nikahku. Aku bilang pada Agha Musa Shadr bahwa akad nikah akan dilakukan di rumah ayah, bukan di tempat lain. Apabila ayah merestuao, aku akan lebi bahagia.”

Ayah berkata, “Kau harus melakukan persiapan untuk melangsungkan pernikahan.” Kujawab, “Aku sudah benar-benar siap.”

Aku tak tahu darimana aku mendapatkan kemantapan dan keberanian seperti itu. Aku berhasil melewati masa-masa tersut dalam hidup ini.

Aku pun tak mengerti apa yang telah kulakukan. Aku hanya melihat bahwa Mustafa adalah pribadi besar, lembut, dan pecinta sejati keluarga nabi. Dan aku pun amat menyukai semua ini.

Ayah berkata, “Baiklah, jika ini sudah menjadi keputusanmu. Ayah tak bisa berkomentar lagi. Ayah takkan menghalangi.”

Aku benar-benar tap percaya ayah menerima keputusanku dengan mudah. Sekarang, bagaimana caranya mengabarkan ini pada Mustafa? (*)

Nantikan kelanjutan kisah ini di Part 4…!!!!!