INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Sepasang Revolusioner, Kisah Mustafa Chamran dan Ghadeh (Part 1)

Mustafa Chamran dan dan Ghadeh, Pasangan Revolusioner (instagram.com/ibrahimhadiru)

INDEKSMEDIA.ID – Ghadeh memainkan pena di sela jemarinya. Lama terpaku semalaman, dia pun menulis sebuah kalimat di kertas, “Saya membenci perang.”

Dengan seluruh lara yang meluapi hatinya, dia tertawa. Adakah orang yang menyukai perang? Siapa? Tentu tak ada.

Gadis ini wartawan, penyair, dan penulis. Beberapa negara memang belum dikunjunginya, tetapi kota Lagos di Afrika dikenalnya karena dia lahir di sana.

Dia juga pernah mengunjungi beberapa kota di Eropa. Ayahnya pedagang permata di Afrika dan Jepang, yang membelanjakan kekayaan sekehendak hatinya. Meski demikian, Ghadeh tetap gadis Libanon.

Aku tak tahu, kenapa manusia harus saling membunuh? Bahkan aku tak mengerti, apa yang mesti dilakukan agar keadaan tak begini. Aku hanya bisa sedih melihat perang saudara dan musibah yang datang.

Rumah kami indah: dua tingkat, halaman luas, dan sebentang teras menghadap laut. Tapi, Israel merusaknya.

Tiap malam ku habiskan waktuku duduk-duduk di teras ini. Aku sering menangis, sembari menulis. Aku bicara tentang perang ini; yang hanya mengatasnamakan Islam.

Aku mengadu pada ikan-ikan di laut dan mengeluh kepada langit. Semua itu ku tuangkan dalam puisi dan artikel di surat kabar.

Nama Mustafa selalu muncul di bagian akhir tiap artikel. Aku belum pernah melihatnya. Kubayangkan dia seorang yang gemar perang, berperangai keras, dan memiliki andil dalam perang ini.

Suatu hari, Sayyid Muhammad Gharawi, tokoh spritual kota kami, datang kepadaku dan berkata, “Agha Musa Shadr ingin berjumpa dengan Anda.”

Waktu itu, mentalku belum siap bertemu dengan siapapun. Apalagi Agha Musa Shadr. Tetapi, Sayyid Gharawi sangat memaksakan mengharapkan ku bertemu beliau. Melihat desakan sayyid Gharawi, aku pun menerima tawarannya.

Suatu ketika, aku pergi majlis taklim untuk bertemu Agha Musa Shadr. Beliau menyambut ku dengan amat ramah. Beliau memuji tulisan-tulisanku, terutama tulisan mengenai wilayah (otoritas kepemimpinan spritual) dan Imam Husain.

Beliau bertanya, “Sekarang, Anda bekerja di mana? Bukankah universitas sedang libur?”

“Saya mengajar di SD khusus anak-anak putri,” jawabku. Beliau berkata, “tinggalkan semua itu dan bekerjalah dengan kami.”

Aku bertanya, “pekerjaan apa?” Beliau menjawab, “Anda mampu menulis indah tentang (konsep) wilayah, Imam Husain, Libanon, dan banyak hal lain yang mampu Anda tulis dengan baik. Bekerjalah dengan kami sebagai penulis!” Aku katakan, “Say tak bisa meninggalkan pekerjaan mengajar di SD. Maksud saya, tak ingin.” Beliau menimpali, “Kami akan memberikan gaji yang lebih besar. Bekerjalah dengan kami!”

Aku tersinggung dengan kata-kata itu. Karenanya kukatakan, “Saya tak bekerja demi uang. Saya mencintai masyarakat. Jika saya tak gerakkan perasaan saya untuk bersama anak-anak itu, saya sama sekali tak ingin bekerja. Tetapi, jika saya tahu ada orang yang hendak memberi bayaran lebih besar pada saya, agar saya menulis untuknya, perasaan saya akan tertutup. Saya bukan tipe oran yang mau bekerja untuk orang lain demi uang…”

Dengan perasaan marah, aku keluar. Sungguh, beliau tokoh besar. beliau menghampiriku dan meminta maaf. Kemudian, tiba-tiba beliau bertanya kepadaku apakah aku mengenal Chamran. Kukatakan, “Saya sering mendengar namanya.” Beliau menimpali, “Anda harus bertemu dengannya.”

Aku terkejut dan berkata, “Saya tak senang perang dan darah yang tertumpah dalam perang. Dan saya tak bisa bertemu orang yang memiliki andil dalam perang ini.”

Agha Musa Shadr berusaha membuatku percaya dengan mengatakan, “Chamran bukanlah orang seperti itu. Dia juga mencari Anda. Kami memiliki sebuah yayasan untuk memelihara anak-anak yatim. Saya pikir, pekerjaan di sana sangat cocok dengan kepribadian Anda. Saya ingin Anda datang berkenalan dengan Chamran.”

Beliau terus memaksa hingga akhirnya aku pun bersedia pergi ke yayasan itu.

Enam-tujuh bulan berlalu setelah kesepakatan itu. Tetapi, aku belum juga pergi ke yayasan itu. Dalam masa itu, setiap Sayyid Gharawi melihat saya, beliau selalu bertanya, “Mengapa Anda belum juga pergi? Agha Musa Shadr sangat mengharapkan kedatangan Anda.”

Aku belum siap. Hingga detik itu, nama Chamran bagiku identik dengan perang. Aku pikir, tak mungkin aku pergi bertemu dengannya. Dis amping itu, ayahku menderita penyakit jantung dan aku amat bersedih.

Suatu malam, Sayyid Gharawi datang ke rumah; menjenguk ayahku. Saat hendak pulang, beliau memberiku kalender yayasan sebagai hadiah. Waktu itu, aku masih tak perhatian. Namun, malam harinya, kala aku sendiri dan sedang menulis, mataku menatap kalender itu.

Kulihat di kalender itu terpampang 12 lukisan untuk 12 bulan. Seluruhnya indah, tapi nama dan tanda tangan pelukisnya tak tertera di bawahnya.

Salah satu lukisan itu memiliki latar hitam dengan lilin kecil yang menyala amat redup di tengahnya. Di bawah lukisan itu tertera syair Arab:

Mungkin ku tak mampu usir kegelapan ini
Tapi dengan nyala redup ini
Kuingin tunjukkan beda gelap dan terang,
Kebenaran dan keadilan,
Orang yang ikuti cahaya,
Meski redup nyalanya,
Akan besar di hatinya.

Orang yang mengikuti cahaya, itu sepertiku. Malam itu, aku sungguh terpengaruh syair dan gambar itu. Aku menangis. Seakan cahaya itu meliputi seluruh keberadaan ku. Tapi…aku tak tahu siapa yang melukis itu.

Suatu hari, aku pergi ke yayasan bersama teman yang memang hendak ke sana. Orang-orang di yayasan itu memperkenalkanku dengan Doktor Mustafa Chamran di lantai satu. Mustafa tersenyum, aku senang melihatnya.

Sebelumnya aku pikir orang yang terlibat perang pasti semua orang takut padanya. Tentu dia orang yang keras. Bahkan aku pun takut padanya. Tapi senyum dan ketenangan Mustafa membuatku lupa. Temanku pun memperkenalkanku kepadanya.

Dengan rendah hati, Mustafa bertanya, “Siapa Anda? Sudah lama saya mencari Anda dan ingin bertemu Anda.” Dia bicara denganku seakan sudah lama mengenalku. Sungguh aneh! Kukatakan pada temanku, “Apa kau yakin ini Mustafa Chamran?”

Temanku mengangguk tanda yakin. Mustafa membawa kalender seperti yang pernah diberikan Sayyid Gharawi padaku beberapa minggu lalu. Aku memandangnya dan berkata, “Saya sudah melihat kalender itu.”

Mustafa bertanya, “Apakah Anda sudah melihat semua poster di dalamnya? Poster mana yang paling Anda suka?”

Aku berkata, “Gambar lilin! Lilin sangat berpengaruh bagi saya.” Mustafa terkejut dan bertanya, “Lilin? Mengapa lilin?”

Aku mulai terisak menahan tangis dan berkata, “Saya tak tahu. Lilin itu, cahaya itu, seakan meliputi seluruh keberadaan saya. Saya tak menyangka seorang mampu menjelaskan dan menunjukkan makna lilin dengan begitu indah.”

Mustafa berkata, “Saya juga tak menyangka seorang gadis Libanon mampu memahami lilin dan maknanya yang tepat.”

Aku bertanya, :Siapa pelukisnya? Saya sangat ingin berjumpa dan mengenalnya.” Mustafa menjawab, “Saya!”

Cukup lama mataku menatap senyum dan wajah Mustafa. Masih terkejut, aku bertanya, “Benarkah Anda yang melukisnya?” Mustafa mengatakan, “Ya, sayalah pelukisnya.”

Aku berkata, “Anda hidup dalam perang dan darah. Mungkinkah? Saya tak menduga Anda mampu memiliki kepekaan seperti itu.”

Lebih mengherankan lagi, Mustafa mulai membacakan petikan tulisanku. Dia lalu berkata, “Semua yang Anda tulis, saya sering membacanya. Dan saya pun terbang melayang bersama semangat Anda.”

Air matanya tampak menetes. Inilah awal perjumpaan kai; sulit tapi indah!

Kali kedua, aku melihatnya siap melakukan aktivitas yayasan. Sedikit demi sedikit kami semakin dekat. Aku lalu sering bersama Mustafa di berbagai tempat; di yayasan bersama anak-anak yatim, di berbagai kota, dan sekali dua kali di garis depan medan pertempuran. Bagiku semua pekerjaannya mulia dan mendidik. (*)

Nantikan kelanjutan kisah ini di Part 2…!!!!!