Sepasang Revolusioner, Kisah Mustafa Chamran dan Ghadeh (Part 1)

INDEKSMEDIA.ID – Ghadeh memainkan pena di sela jemarinya. Lama terpaku semalaman, dia pun menulis sebuah kalimat di kertas, “Saya membenci perang.”

Dengan seluruh lara yang meluapi hatinya, dia tertawa. Adakah orang yang menyukai perang? Siapa? Tentu tak ada.

Gadis ini wartawan, penyair, dan penulis. Beberapa negara memang belum dikunjunginya, tetapi kota Lagos di Afrika dikenalnya karena dia lahir di sana.

Dia juga pernah mengunjungi beberapa kota di Eropa. Ayahnya pedagang permata di Afrika dan Jepang, yang membelanjakan kekayaan sekehendak hatinya. Meski demikian, Ghadeh tetap gadis Libanon.

Aku tak tahu, kenapa manusia harus saling membunuh? Bahkan aku tak mengerti, apa yang mesti dilakukan agar keadaan tak begini. Aku hanya bisa sedih melihat perang saudara dan musibah yang datang.

Rumah kami indah: dua tingkat, halaman luas, dan sebentang teras menghadap laut. Tapi, Israel merusaknya.

Tiap malam ku habiskan waktuku duduk-duduk di teras ini. Aku sering menangis, sembari menulis. Aku bicara tentang perang ini; yang hanya mengatasnamakan Islam.

Aku mengadu pada ikan-ikan di laut dan mengeluh kepada langit. Semua itu ku tuangkan dalam puisi dan artikel di surat kabar.

Nama Mustafa selalu muncul di bagian akhir tiap artikel. Aku belum pernah melihatnya. Kubayangkan dia seorang yang gemar perang, berperangai keras, dan memiliki andil dalam perang ini.

Suatu hari, Sayyid Muhammad Gharawi, tokoh spritual kota kami, datang kepadaku dan berkata, “Agha Musa Shadr ingin berjumpa dengan Anda.”

Waktu itu, mentalku belum siap bertemu dengan siapapun. Apalagi Agha Musa Shadr. Tetapi, Sayyid Gharawi sangat memaksakan mengharapkan ku bertemu beliau. Melihat desakan sayyid Gharawi, aku pun menerima tawarannya.