Ritual Aqjaga, Upacara Tradisional Masyarakat Gowa yang Dilakukan Sekali Seumur Hidup

INDEKSMEDIA.ID – Masyarakat Makassar sebelum masuknya agama Islam di kerajaan Gowa masih memeluk agama Animisme dan Dinamisme.

Mereka percaya pada kekuatan Dewa-dewa dan arwah leluhur mereka yang bisa memberikan kesejahteraan, dan kesehatan.

Di samping itu kekuatan-kekuatan supra natural itu juga dapat memberi bencana, malapetaka, penyakit, berbagai bentuk penderitaan kepada manusia.

Sehingga untuk meraih kebahagiaan dan menghindari penderitaan maka masyarakat melakukan pemujaan dengan memberikan persembahan-persembahan berupa sejumlah sesajian kepada para Dewa dan arwah leluhur.

Dengan demikian terciptalah bentuk-bentuk upacara pemujaan dalam masyarakat yang dipimpin oleh para imam-imam yang ada dalam masyarakat Makassar.

Salah satu upacara yang dilakukan dalam rangka sebuah hajatan adalah Aqjaga. Upacara Aqjaga, adalah upacara yang dilaksanakan sekali dalam seumur hidup seseorang.

Biasanya orang tuanya menggelar acara ini pada saat menghitan anaknya (perempuan atau laki-laki). Upacara ini berlangsung 3 hari dengan menyembelih kewan kurban berupa kambing atau kerbau.

Adapun jalannya upacara adalah sebagai berikut: Malam tanggal 30 Mei sekitar pukul 20.00 (malam) dilakukan acara pembukaan acara (ulu jaga).

Sissi Daeng Cini tampak duduk bersama istri dan 5 orang anaknya di ruang depan rumahnya yang sengaja dikosongkan.

Dia mengenakan jas dan kopiah serta bersarung sutra bercorak lebar (labbaq) berwarna ungu.

Sementara istrinya mengenakan baju bodo berwarna merah. Anak-anaknya pun mengenakan pakaian adat berwarna merah pula sambil memegang simpaq oja.

Dibelakang mereka duduk para pemain musik yang terdiri atas dua orang pemain gendang, seorang peniup puiq-puiq, dan penabuh gong.

Sementara di depannya duduk seorang dukun pemimpin upacara (sanro/panrita) Daeng Ngalle yang membacakan mantra-mantra dengan dupa yang terus mengepulkan asap dan sesekali menghamburkan bertih (bette) ke depan dan ke belakangnya.

Di samping Sissi juga duduk seorang perempuan tua Daeng Tanang (60an) yang terus bersenandung (royong) dengan doa-doa dan kata-kata yang tidak jelas.

Setelah acara ulu jaga dilanjutkan dengan acara pakarena (tari) Maqbiring kassiq yang dibawakan oleh enam orang anak-anak gadis belia dengan iringan bendang, gong dan puiq-puiq.

Tarian ini dilaksanakan masih di dalam rumah karena tarian ini masih dalam rangkaian ulu jaga.

Beberapa saat kemudian acara dilanjutkan ke baruga yang dibangun dengan bahan bambu dan papan di halaman rumah.

Di atas Baruga terdapat sebuah bilik yang diselubungi dengan kelambu dengan aksesoris berwarna dasar merah dengan hiasan warna kuning.

Di dalam bilik itu terdapat jajjakang , yakni sebuah bakul yang berisi beberapa liter beras, sebutir kelapa dan sebutir gula merah.

Juga di atasnya terdapat beberapa lipatan daun siri dan beberapa batang lilin merah.

Juga terdapat sebuah dulang yang berisi beberapa piring kecil yang berisi, songkoloq (ketan), telur ayam kampung, onde-onde (kelepon), dan di tengah talang juga terdapat sebuah lilin yang dinyalakan.

Terdapat juga sebuah stanggih (pedupaan) yang terus mengepulkan asab dan menyebarkan bau dupa. Acara di Baruga ini dinamakan akkorontigi kembali dipimpin oleh seorang sanro.

Keluarga Sissi kembali berkumpul dalam bilik tersebut, lalu sanro membacakan mantra dan paroyong juga menggumamkan doa-doa dengan irama tertentu.

Dalam acara ini sanro mengoleskan daun pacar (lekoq korontigi) kepada Sissi dan seluruh anggota keluarganya.

Setelah sanro melakukan ritualnya maka disusul oleh beberapa orang yang dituakan dan dihormati dalam keluarga.

Aqkorontigi ini dimaksudkan untuk memberkati keluarga yang Aqjaga, dan mendoakannya agar bisa selamat dan mendapat berkah dalam acara ini.

Acara Akkorontigi ini kemudian ditutup dengan tari akkarena hingga dini hari. Masih pagi-pagi sekali pada keesokan harinya, sekitar pukul 07.00 keluarga Sissi bersama keluarga dan masyarakat Parangbanua berbondong-bondong menuju ke Kampung/ Desa Songkolo yang terletak kurang lebih 2 km dari rumah acara.

Mereka menuntun seokor kerbau menuju sebuah rumah panggung yang tampak sederhana.

Di rumah itu tersimpan sebuah benda yang dikeramatkan (regalia) oleh masyarakat kampung di sekitarnya.

Benda pusaka itu dijaga dan dirawat oleh seorang pinati. Di rumah kalompoang ini keluarga Sissi dan keluarganya duduk di depan regalia sambil dimantrai dan diberi pemberkatan oleh pinati.

Juga ikut berperan kembali penari Salonreng di depan bilik penyimpanan benda pusaka.

Ketika mentari semakin meninggi, jam menunjukkan pukul 10.00, kegiatan berpindah ke bagian bawah rumah.

Pinati dan rombongan keluarga Sissi menuju ke sebelah barat rumah. Di sana sudah berdiri seekor kerbau yang cukup besar, bertanduk tidak kurang sejengkal orang dewasa.

Upacara menberkati kerbau (apparuru tedong) dilangsungkan dengan memerciki air yang sudah dimantrai (dipassili) dengan dupa-dupa dan diberi siri pinang.

Berbagai peralatan dibunyikan di dekat kerbau seperti kancing, parappasaq, lea-lea, anaq baccing dan coriq.

Setelah acara aparuru tedong tersebut dilanjutkan dengan appalili. Dalam acara ini kerbau dan rombongan keluarga Sissi diarak mengelilingi rumah kalompoang.

Paling depan berjalan penati kalompoan lalu disusul dengan rombongan yang membawa tombak, bendera dan simpaq oja.

Di belakangnya beriring-iringngan keluarga Sissi, masyarakat dan pemain musik yang mengenakan baju bodo dan jas tutup.

Setelah usai sebanyak 7 kali putaran semua rombongan keluarga Sissi berhenti di depan rumah kalompoang dan duduk di tangga depn bersama sanro pinati.

Lalu penari salonreng menggerakkan tariannya diiringi oleh tetabuhan gendang dan lantunan serunai (puiq-puiq). (*)