INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Muang Jong, Tradisi Masyarakat Sawang di Bangka Belitung yang Dilaksanakan Tiap Tahun, Ini Maknanya …

Tradisi Muang Jong yang tiap tahun diperingati masyarakat Sawang di Bangka Belitung. (kementerian pendidikan dan kebudayaan)

INDEKSMEDIA.ID Orang Sawang (orang laut) di Bangka Belitung disebut juga suku bangsa Ameng Sewang.

Orang Sawang juga disebut orang luar (terutama pada masa penjajahan Belanda) atau orang Sekak.

Sebutan itu diartikan adalah kelompok orang yang sulit berinteraksi dengan kelompok suku bangsa lain.

Sehingga konotasinya merugikan bagi orang Sawang sendiri yakni diartikan sebagai orang kolot, tidak mau bergaul, menyendiri, atau disebut juga sebagai orang primitif.

Upacara buang Jung atau Upacara Muang Jong sangat identik dengan masyarakat Sawang.

Hal ini disebabkan setiap tahunnya mereka mengadakan upacara Jung ini dengan semarak sehingga menarik masyarakat lainnya untuk ramai-ramai menyaksikannya.

Buang Jung atau juga disebut dengan buang patong ini merupakan sebuah tradisi masyarakat Sawang yang sangat sakral dan merupakan tradisi untuk keselamatan manusia terutama masyarakat suku laut.

Mengapa dikatakan sangat sakral karena sangat berhubungan dengan sistem kepercayaan mereka yang bersumber dari kepercayaan animism dinamisme.

Begitu sakralnya upacara tersebut dan sangat menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga walaupun mereka sudah masuk agama Islam maupun Kristen, tetapi upacara buang jung tersebut tetap mereka lakukan.

Upacara buangjung dilaksananakan selama 3 hari 3 malam berturut-turut dipimpin oleh para dukun yang diikuti oleh seluruh orang Sawang dari berbagai wilayah di sekitar Pulau Belitung.

Upacara ini diawali dengan pengambilan kayu ke hutan. Untuk menentukan pengambilan kayu, sang dukun mengadakan semacam penyelidikan di hutan untuk menentukan kayu yang diambil di hutan.

Kalau dukun sudah memastikan suatu tempat yang boleh diambil kayunya, barulah keesokan harinya dukun dan pengiringnya memasuki hutan kayu dimaksud.

Sesampainya di tempat yang dituju, sang dukun mengadakan komunikasi secara gaib dengan makhluk haIus penghuni hutan itu.

Kalau sang dukun mengisyaratkan sudah boleh dilakukan penebangan, barulah orang mulai memotong kayu-kayu yang diperlukan.

Kayu yang dipakai untuk membuat jong namanya kayu kepang yaitu sejenis kayu timbul yang dapat mengapung di air laut.

Jong dibuat dalam bentuk kerangka perahu, dan menurut syarat harus selesai dalam 3 hari.

Bersamaan dengan pembuatan jong itu dibuat pula ncak yang berbentuk rumah-rumahan atau kerangka yang nantinya diantar bersama jong ke laut.

Setelah jong selesai dibuat maka para dukun mulai mengadakan upacara yang disebut bedekar pada ma lam harinya selama 3 malam.

Selama 3 malam upacara itu, disamping ancak dibawa menari-nari diadakan pula acara naik tiang jitun, yang dimaksudkan sebagai tiang perahu.

Semua acara baik saat membawa ancak, memanjat tiang jaiun, dilakukan dengan bernyanyi yang diiringi dengan alat musik gendang dan gong.

Seseorang dengan menjulangkan ancak menari mengikuti irama gendang, sedangkan para dukun dan pembantunya menyanyikan lagu bedekar.

Penari trance yakni sudah dibawah kesadaran berlenggak-lenggok terus menerus sampai pingsan dan jatuh.

Untuk menyadarkannya sang dukun menyanyikan lagu ari babangan alim mudo.

Pada akhir lagu, dada penari yang pingsan dipukul dengan gumpalan kain dan selendang, seketika biasanya sang penari tersadar dari pingsan.

Biasanya juga tidak cukup sekali dan diulangi lagi sampai tiga kali. Ada kalanya lagu yang dinyanyikan untuk menyadarkan penari yang pingsan tidak sesuai untuk menyadarkannya sehingga diganti dengan menyanyikan lagu yang lain hingga dapat menyadarkannya kembali.

Penari di atas tiang jitun, sebelumnya menari mengikuti irama dengan berputar-putar di halaman dengan mata terpejam.

Kemudian dengan perlahan-lahan dia mulai memanjat diiringi irama gendang dan nyanyian dari sang dukun.

Pada waktu penari sudah sampai di puncak tiang, muncullah penari-penari lain yang terdiri dari pria dan wanita mengelilingi pangkal tiang jitun.

Di atas puncak tiangjitun yang tingginya 5 meter, penari melambai-lambaikan tangannya seolah-olah memanggil sesuatu, padahal orang lain tidak melihatnya.

Berselang sekitar 15 sampai 30 menit, sang penari turun dari tiang jitun dengan cara kepalanya lebih dahulu turun sedangkan kakinya di atas.

Dengan tetap berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang, penari turun dan sesampainya di tanah iapun pingsan.

Sang dukun dengan lagu khusus menyanyikan kata-kata untuk menyadarkan penari tersebut, dengan lagu mari ngeder balik adik guru.

Pada akhir lagu, ibu jari kaki penari yang pingsan ditarik dan dengan demikian penari itu sadar kembali.

Ancak dianggap sebagai tuan rumah dari makhluk halus.

Setelah diantar ke laut maka makhluk-makhluk halus tersebut berdiam di tempat itu.

Jitun dimaksudkan sebagai tiang sebuah perahu yang sedang berlayar.

Perahu berlayar membawa salah seorang yang sudah dirasuk asmara dengan seorang putri di seberang laut.

Orang tersebut menjelang tiba di tempat yang akan dituju, karena rasa yang kuat sudah sangat ingin bertemu dengan yang dicarinya, dengan tidak sabar lagi memanjat tiang perahu untuk melihat apakah sudah dekat atau masih jauh.

Acara-acara selanjutnya pada malam terakhir dari upacara jong itu diisi dengan berbagai macam tari dan nyanyi.

Untuk tarian antara lain namanya sampan gelang, ulak busung, simang daleh,dan sebagainya.

Sedangkan nyanyiannya antara lain bedeak, belancong hingga pagi hari. Keesokan harinya merupakan hari terakhir dari upacara jong tersebut. (*)