Jiwa Patriotisme dan Nasionalisme Opu Daeng Risadju
INDEKSMEDIA.ID – Opu Daeng Risadju adalah sosok wanita yang sangat memiliki jiwa Patriotisme dan semangat nasionalisme yang sangat tinggi.
Tak disangkali, sekalipun Opu Daeng Risadju diberi sanksi adat, namun kobaran api perjuangannya tak pernah surut.
Atas sikap Opu Daeng Risadju tersebut, maka Datu Luwu melalui Dewan Adat Luwu mengambil tindakan dengan menanggalkan gelar Kebangsawanan Opu Daeng Risadju sebagai ganti darah daging yang beliau tawarkan.
Sehingga mulai saat itu Dewan Adat Luwu tidak lagi memanggil dengan sebutan Opu Daeng Risadju.
Namun rakyat yang telah mengaguminya tetep memanggil seperti semula yakni Opu Daeng Risadju.
Dengan demikian jelas terbukti bahwa di dalam tubuh Opu Daeng Risadju telah tumbuh dan tertanam jiwa Patriotisme dan semangat Nasionalisme dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsanya yang tertindas.
Sekalipun beliau harus meninggalkan kenikmatan kaum bangsawan demi perjuangan.
Atas gelar kebangsawanan itu, Opu Daeng Risadju tetap terus berjuang dan tak sedikit pun rasa gunda dalam batinnya.
Bahkan beliau merasa lega dan puas atas hukuman tersebut, karena beliau berprinsip “Gelar di sisi Allah SWT jauh lebih mulia dari pada di sisi manusia.”
Atas dasar itulah semakin memperkuat keyakinan beliau akan kebenaran perjuangan yang dilakukannya untuk membela kepentingan rakyat dan bangsa yang tertindas.
Kemudian langsung berbaur dengan kehidupan masyarakat yang dicintainya dan yang hendak diperjuangkannya.
Bercerai Suami Demi Kemerdekaan
Di daerah Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Tana Luwu pada khususnya seseoang yang mempunyai gelar kebangsawanan amat bermanfaat dan sangat berpengaruh, sekalipun tidak mampu membaca dan menulis ia dapat di angkat menduduki suatu jabatan penting.
Pemerintah Kolonial Belanda tidak berhenti mengguncang kehidupan Opu Daeng Risadju termasuk urusan keluarga dan mengacaukan rumah tangganya.
Tindakan biadab tersebut memaksa Haji Muhammad Daud yang telah bersamanya kurang lebih 25 tahun membina rumah tangga harus bercerai.
Suaminya yang saat itu sebagai Imam Mesjid Jami Palopo selalu di tekan dan diintimidasi oleh anggota adat dan penguasa Kolonial Belanda agar menceriakan Opu Daeng Risadju apabila beliau tetap berjuang dan masih tetap berpartai.
Dengan demikian Opu Daeng Risadju adalah sosok yang rela mengorbankan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.
Opu Daeng Risadju sebagai Seorang Pahlawan, perceraian itu bukanlah suatu rintangan dalam meneruskan perjuangannya bahkan beliau merasa lebih bebas mengemban amanah partainya.
Irama perjuangan sama di mana-mana dengan semakin tumbuhnya kesadaran rakyat ingin membebaskan diri dari cengkraman kaum imprealisme dan kolonialisme serta untuk bersatu untuk merintis kemerdekaan bangsanya.
Dalam kondisi demikian bagi orang Sulawesi Selatan yang akan berangkat Kongres PSII ke Jawa merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa dan teristimewa.
Selain karena jarak antar Pulau yang cukup jauh, biaya transportasi cukup tinggi tetapi bukan menjadi penghalang bagi Opu Daeng Risadju untuk mengikutinya, terbukti beliau rela menjual harta bendanya yang masih tersisa untuk membiayai perjalanannya itu dan juga mendapat banyak simpatik berupa bantuan dari para sahabatnya.
Sehingga waktu itu praktis Opu Daeng Risadju tidak memiliki harta lagi untuk sumber kehidupan bersama anak-anaknya kelak.
Mengikuti Kongres PSII
Sebagi utusan Cabang PSII Palopo – Sulawesi Selatan pada kongres PSII di Batavia (Jakarta) merupakan kehormatan tersendiri bagi Opu Daeng Risadju.
Di sanalah beliau bertemu dengan beberapa orang dari pergerakan kebangsaan, orang-orang terkenal serta para Cendikiawan.
Setelah mengikuti Kongres PSII tersebut, beliau bersama dengan beberapa utusan lainnya meninjau beberapa Kota penting di jawa dengan tujuan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.
Kegiatan Opu Daeng Risadju dalam meneruskan perjuangan kembali lagi mendapat reaksi keras dari beberapa Anggota Dewan Adat terutama mereka yang telah mendapat hasutan dan pro Pemerintah Kolonial Belanda.
Kondisi tersebut membawa lagi Opu Daeng Risadju ke meja pengadilan, tapi kali ini adalah pengadilan adat karena tuduhan melakukan pelanggaraan larangan adat.
Namun usulan tersebut dibantah keras oleh Opu Balirante, salah seorang anggota adat.beliau sangat keberatan bila Opu Daeng Risadju mendapat hukuman seperti itu Karen perbuatan seperti itu belum pantas memperoleh hukuman di Selong.
Akhirnya dengan kata sepakat hukuman Opu Daeng Risadju dirubah menjadi di hukum penjara selama 14 bulan yang terjadi pada tahun 1934.
Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”
Disclaimer: indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)