Mary Daly dan Sekelumit Pandangan Ihwal Teologi Feminis
INDEKSMEDIA.ID — Teologi feminis mulai memantapkan dirinya pada tahun 1970- an.
Selama dekade itu jurnal Concilium diluncurkan untuk mempromosikan teologi feminis.
Konferensi pertama pun digelar untuk membahas teologi feminis di AS.
Dewan Gereja sedunia mengadakan konferensi di Berlin tentang seksisme, dan Mary Daly menerbitkan Beyond God the Father.
Seperti halnya teologi pembebasan, yang terkait erat baik secara historis maupun teoretis, teologi feminis mengacu pada dan mengkritik pemikiran Marxis.
Agama ditafsirkan sedemikian rupa sehingga fungsi utamanya dipandang sebagai pembebasan.
Yakni pembebasan kaum miskin dalam teologi pembebasan serta pembebasan perempuan di dalam teologi feminis.
Teologi feminis dapat dibagi menjadi kecenderungan moderat dan radikal.
Kecenderungan moderat menganjurkan penafsiran kembali agama-agama yang mapan untuk menghapuskan apa yang dianggap sebagai seksis atau elemen androsentris.
Kecenderungan radikal menyokong penolakan terhadap pemikiran religius patriarki dalam mendukung pemujaan atas satu atau lebih dewi-dewi atau bahkan sihir.
Salah satu bidang keilmuan yang menjadi perhatian kaum feminis moderat adalah sejarah gereja.
Kaum feminis seperti Elisabeth Schussler Fiorenza berpendapat bahwa orang-orang
Kristen mula-mula adalah kaum yang meyakini kesederajatan (egalitarian).
Tetapi ketika hirarki Gereja berkembang, bias terhadap perempuan menjadi terlembagakan, dan menginfeksi
banyak diskusi teologis selanjutnya.
Metode yang digunakan oleh Schussler Fiorenza secara luas bersifat sosiologis, dan mengacu pada teologi pembebasan.
Kesimpulan yang dicapai relatif moderat: yaitu kritik feminis yang mengarah pada reformasi Gereja.
Feminis yang bertitik berat kepada metode psikoanalitik menarik kesimpulan yang lebih radikal.
Mengikuti C.G Jung, seorang feminis seperti Christa Mulack berpegang teguh pada pandangan bahwa ketidaksadaran, yang dikesankan dengan feminin, adalah yang utama, dan agama yang didominasi oleh laki-laki telah menindas feminin demi laki-laki.
Dalam pandangan tersebut, para nabi Ibrani dipahami sebagai pemberontak melawan “Dewi Agung”.
Teolog feminis yang berkonsentrasi terhadap psikologi cenderung menolak feminisme kesetaraan (equality feminism).
Tak hanya itu, mereka mendukung feminisme di mana feminin adalah yang terpenting, atau yang lebih utama, atau dalam (istilah teknis adalah) feminisme ginosentris.
Mereka juga cenderung menolak agama Kristen daripada menyerukan reformasinya.
Sementara, kebanyakan teolog feminis tampaknya relatif moderat.
Namun, meskipun kaum feminis radikal merupakan minoritas, gerakan mereka justru sangat berpengaruh.
Teolog feminis yang paling terkenal, penganjur radikal dari feminisme gynocentic kadang-kadang disebut sebagai “ibu angkat teologi feminis‟, adalah mantan biarawati Katolik, Mary Daly.
Dia adalah perempuan Amerika pertama yang mendapatkan gelar doktor dalam teologi Katolik di Universitas Fribourg (1963).
Karya utamanya yang pertama, The Chruch and the Second Sex, menggemakan banyak gagasan Simon de Beauvoir, akan tetapi menerapkannya pada sejarah dan teologi Gereja.
Dia menyerukan reformasi Gereja dan penafsiran ulang atas agama Kristen di sepanjang garis feminisme kesetaraan.
Namun, karyanya yang paling terkenal adalah Beyond God the Father.
Dalam karya ini Daly berpendapat bahwa konsep Kristen tentang Tuhan adalah androsentris yang tidak dapat ditebus, dan dia menciptakan slogan teologi feminis yang seringkali dikutip;
“Jika Tuhan adalah laki-laki, maka laki-laki
adalah Tuhan.”
Dominasi laki-laki dalam pemikiran Kristen
lebih lanjut dituntut oleh doktrin Tritunggal, yang menurutnya Kristus laki-laki adalah “Tuhan Anak‟, pribadi kedua Trinitas, dan pribadi pertama Trinitas adalah “Tuhan Bapa‟.
Sebaliknya, Daly mengusulkan agar Tuhan dianggap secara non-pribadi sebagai dasar dari semua makhluk, seperti yang diajarkan oleh Paul Tillich.
Karya besar Daly berikutnya, Gyn/Ecology, benar-benar memisahkan diri dari Kekristenan dengan penolakan atas Tuhan demi Dewi dan pemujaan ilmu sihir sebagai pengetahuan esoteris dari budaya matriarkal sebelumnya.
Dia juga menegaskan kembali dukungannya atas gerakan lesbianisme dan penolakan terhadap ke-saling-melengkapi-an antara maskulin dan feminin.
Ini diikuti oleh penerbitan karya yang bahkan lebih radikal, Pure Lust, di mana nafsu diubah menjadi kebajikan yang melaluinya “pemberdayaan penuh” harus dicapai. (*)