Fase Kehidupan Mulla Sadra, Sosok Teosof yang Menggemparkan Jagat Pemikiran

Melalui surat, Mulla Sadra berkeluh kesah kepada sang guru, Mir Damad, tentang bagaimana perlakuan orang-orang yang tidak memahaminya.

Nasr juga menuliskan, bahwa dalam pengantar al-Asfar, Mulla Sadra menyebutkan bagaimana dahulu ia bisa menguasai kearifan pemikir-pemikir terdahulu, serta ajaran-ajaran gnostis dan teosofis dari hukama sebelumnya.

Namun ia juga gagal dalam menyadarkan orang-orang sezamannya yang masih jumud terhadap pengetahuan hakiki.

Pada masa ini juga, Sadra berhasil menulis be- berapa buku, terutama magnum opus-nya, dan mendidik beberapa murid yang kemudian menjadi filsuf-filsuf penting, antara lain, Mulla Muhsin Faid Kasyani dan Mulla Abdul Razaq Lahiji.

Kehidupannya ketika di Kahak tidak diketahui secara detail. Jejak-jejaknya di desa tersebut sampai sekarang tidak bisa ditegaskan secara pasti.

Di Kahak terdapat sebuah mesjid pentagonal (bersegi lima) yang merupakan warisan budaya abad kesepuluh/tujuh belas.

Nasr menyatakan, keberadaan masjid tersebut di tengah-tengah desa terpencil terasa begitu ganjil.

Dalam bentuk kemungkinan, bisa saja pada saat itu Mua hidup di dekat mesjid tersebut, atau bisa jadi juga masjid itu dibangun untuk mengenangnya.

Di tempat itu, di atas salah satu bukit yang dari puncaknya, sebuah kota kecil bisa terlihat dengan indah, di sana juga terdapat imam zadah, makam seorang wali yang hidup semasa dengan Sadra, bisa jadi saja kalau wali tersebut adalah sosok guru yang mengajak Shadra untuk mendatangi desa itu dan menyepi di sana.

Kehidupan Mulla Sadra pastinya masih banyak yang belum sempat tergali, dan butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya secara pasti.

Diperkirakan sekitar tahun 1024 H, ia kembali ke kota Shiraz. Sekembalinya ke sana, Mulla diminta oleh Syah Abbas II untuk mengajar.

Di kota kelahirannya itu, Sadra berkarir sebagai pendidik, dan juga menikah. Sadra mengajar di sebuah madrasah yang dibangun oleh Allahwirdi Khan.

Namun, Allahwirdi Khan wafat sebelum ia sempat menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang dibangunnya tersebut, lalu sekolah tersebut diambil alih oleh putranya Qali Khan.

Qali Khan lah yang mengajak Sadra untuk kembali ke Shiraz dan meneruskan sekolah tersebut.

Di titik inilah, Mulla Sadramenghasilkan banyak karya dan membimbing banyak pelajar; saat itu Shiraz kembali bangkit menjadi kota pendidikan.

Sekolah Khan menjadi sangat terkenal, bahkan menarik pelancong dari negara asing.

Kembali ke Shiraz ternyata seperti bermakna untuk memulai kehidupan baru.

Di sekolah Khan, selain mengajar filsafat, Mulla Sadra juga mengajar tafsir dan hadis, dan menulis karya-karya besar lainnya, seperti tafsir al-Quran dilihat dari pemahaman filsafat, juga Syarh Usul al-Kafi.

Selain itu, banyak karya lain yang dia hasilkan pada fase ini sehingga pemikiranya mulai banyak dikenal luas serta banyak murid yang datang dari kota-kota yang jauh khusus untuk belajar pada Mulla Sadra.

Bahkan beberapa muridnya kemudian menjadi komentator-komentator ulung atas karya-karya Mulla Sadra dan memperkenalkan pemikiran filsafat Sadra kepada para pemikir Islam lainnya.

Sadra memang bukanlah manusia biasa, dalam kurun waktu yang berlangsung sekitar tiga puluh tahun itu, selain mengajar dan menulis, ia pergi menunaikan haji beberapa kali dengan berjalan kaki.

Seolah setiap jengkal perjalananannya ada penambahan pencerahan dan penyaksian spiritual, yang tumbuh dari latih an yang selama puluhan tahun ia jalani.

Suatu hari, sepulangnya Mulla Sadra dari Mekah, ia pun jatuh sakit dan akhirnya pada tahun 1050H/1640 M, tepatnya di kota Basrah dia benar-benar mengakhiri perjalanannya di dunia.

Namun, sampai saat ini makamnya belum diketahui. Sempat dulu, pernah ada seorang Sayyed mengatakan bahwa ia pernah bertemu dengan sebuah nisan bertuliskan Mulla Sadra di Basrah, namun setelah dicari-cari kembali, nisan tersebut telah menghilang.

Ketika wafat, Mulla Sadra meninggalkan dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.

Anaknya yang pertama bernama Ibrahim dan terkenal dengan sebutan Mulla Ibrahim, juga seorang filsuf, muhaddith, mutakallim, faqih, serta banyak menulis syair-syair.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah tafsir yang berjudul Al-Urwah Al-Wutso.

Mulla Ibrahim lahir pada tahun 1021 H dan meninggal dunia pada tahun 1070 H.

Anak laki-laki keduanya bernama Nizamuddin Ahmad, terkenal dengan sebutan Mirza Nizam.

Lahir di Kasyan pada tahun 1031 H dan meninggal dunia pada tahun 1074 H di Kota Shiraz.

Sama seperti saudara dan ayahnya, Mirza Nizam dikenal sebagai filsuf dan penyair, juga seorang ahli tata bahasa Arab.

Anak perempuan pertamanya bernama Ummu Kaltsum (1019 H-1097), kedua Zubaidah (1023 H-1097 H) dan terakhir Masumah (1033 H-1093 H).

Ummu Kaltsum merupakan istri dari Mawla Abdul Razaq Lahiji, Zubaidah merupakan istri dari Mulla Muhsin Faid Kasyani, sedangkan MaSumah istri dari Qawamuddin Syirazi.

Sepanjang hidupnya, Sadra banyak menghabiskan waktunya di Shiraz, Qazwin, dan Isfahan.

Namun, selain dari ketiga tempat tersebut, ada pula beberapa catatan yang menunjukkan bahwa Mulla Sadra pernah ke beberapa kota suci di Irak yang kemungkinan ia lakukan ketika ia masih dalam proses belajar.

Bahkan ada pula yang menyebutkan, selain ke Mekkah yang pernah ia tempuh dengan berjalan kaki, Mulla Sadra juga pernah mendatangi Mashhad.

Referensi:

Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, (Jakarta: Sadra Press, 2012)

Mustamin al Mandari, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemi kiran Mulla Sadra, (Sulawesi Barat:Rumah Ilmu, 2018)

Seyyed Hossein Nasr, Al-Hikmah Al-Mutaaliyyah Mulla Sadra: Sebuah Terobosan dalam Filsafat Islam

Sayyed Hossein Nasr, Mulla Sadra in History of Muslim Philosophy V 2

Demikianlah biografi singkat perjalanan hidup sang Teosof besar dunia, Mulla Sadra.

Semoga bermanfaat ya… (*)