INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Fase Kehidupan Mulla Sadra, Sosok Teosof yang Menggemparkan Jagat Pemikiran

Mulla Sadra, penggagas filsafat hikmah, sang teosof yang mengguncang dunia pemikiran (kolase/agungardaus)

Dari sini, tampak bahwa pendiri filsafat transenden ini lahir bukan dari keluarga yang biasa-biasa saja.

Dikisahkan lebih lanjut tentang beliau, dalam Muhammad Ridha Muzaffar bagian “Muqaddimah” dalam Mulla Sadra, Al-Asfar yang kemudian dikutip oleh Kholid Al-Walid, Mulla Sadra merupakan anak yang dinazarkan oleh Khwaja Ibrahim.

Sebab pada saat itu Khawaja Ibrahim tidak memiliki anak laki-laki sehingga ia memohon untuk diberikan anak laki-laki, dan ia pun bernazar: jika ia mendapatkan anak laki-laki maka ia berjanji kepada Allah bahwa dia akan memberikan sumbangan yang besar bagi orang-orang fakir dan para ilmuwan.

Berkat nazar tersebut, Khawaja Ibrahim akhirnya benar-benar mendapatkan seorang anak laki-laki yang dia beri nama Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi, atau singkat dipanggil Shadra, dan baru kemudian, setelah menjadi ulama besar, Sadra dipanggil dengan sebutan Mulla Sadra.

Belakangan, setelah ia menjadi tokoh besar, ada yang menyebutnya dengan sebutan Sadr al-Mutaallihin karena kedalaman pengetahuannya di bidang Ketuhanan.

Terlahir sebagai anak tunggal dalam lingkup keluarga yang berkecukupan dan terhormat, dia memperoleh kesempatan pendidikan yang baik lagi sempurna.

Sadra kecil pun akhirnya tumbuh sebagai anak yang cerdas dan saleh.

Beberapa sumber biografi tentang beliau mengatakan bahwa Sadra dengan cepat menguasai apa saja yang diajarkan padanya, seperti Bahasa Arab, al-Quran, logika, sampai dengan kaligrafi, gramatikal, dan juga syair-syair Persia.

Sumber lain juga menyebutkan dalam usianya yang sangat muda, sekitar dua puluh tahun, kecerdasan Sadra sudah melampaui guru-gurunya.

Bahkan menurut Sayyid Muhammad Khamenei tidak ada ilmuwan Shiraz di masa itu yang melebihi kemapuan Mulla Sadra.

Sebagaimana para penggila ilmu pada umumnya, Mulla Sadra tidak membatasi pencarian intelektualnya di kota kelahirannya, maka di usianya yang masih muda itu, ia ingin menambah pengetahuannya dengan belajar ke tempat lain, mencari guru-guru yang lebih berilmu.

Salah satu sumber menyebutkan bahwa, ketika Sadra berusia enam tahun, gubernur Persia, Muhammad Khuda Banda Syah diangkat menjadi raja dan pindah ke kota Qazwin yang menjadi ibu kota dinasti Safawi waktu itu.

Karena orang tua Mulla Sadra pada saat itu adalah seorang menteri, besar kemungkinan juga karena alasan itulah ia mengikuti perpindahan keluarganya dari Shiraz ke Qazwin.

Di kota itulah, Mulla Sadra muda, yang belum genap berusia dua puluh, tahun berjumpa dengan guru-guru besarnya pertama kali.

Di bawah bimbingan mereka, Mulla Sadra dengan cepat menguasai filsafat dan cabang-cabang ilmu lainnya.

Berkat kekayaan yang dimiliki ayahnya, Mulla Sadra memiliki perpustakaan besar yang menampung banyak buku dari berbagai cabang ilmu, baik dalam gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir al-Quran, kitab-kitab hadis, dan sebagainya.

Kekayaan referensi yang ia miliki sangat mendukung bagi pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuannya.

Namun, Qazwin tidak bisa menjadi tempat ia belajar selamanya, sebab pada tahun 1006 H, Persia berganti penguasa lagi.

Ketika itu daratan Persia dikuasai oleh Raja Abbas I, dan imbasnya adalah ibu kota juga mengalami pergantian, dari Kota Qazwin menjadi ke Isfahan.

Akibat dari pemindahan pusat pemerintahan ini, para ulama dan seniman juga banyak yang ikut pindah dan termasuk di antaranya guru-guru Mulla Sadra, seperti Syaikh Bahai yang mana pada saat itu memang menjabat sebagai Menteri Hak-Hak Asasi, sedangkan Mir Damad kala itu menjabat sebagai Imam resmi sholat Jumat ibu kota.

Tak hanya para ulama dan pejabat ibu kota, sekolah pendidikan formal yang ada di Qazwin pun akhirnya ikut dipindahkan ke Isfahan, dan Sadra termasuk salah satu ulama yang ikut dilibatkan dalam upaya pemindahan bangunan ini.

Sehingga secara otomatis, Sadra juga ikut serta dalam perpindahan ke Isfahan.

Selang beberapa waktu, Sadra muda kemudian berhasil menamatkan pendidikannya.

Tak tanggung-tanggung, dia berhasil tamat dalam bidang Filsafat Peripatetik, Filsafat Iluminasi, Gnostik, Logika, Ilmu Kalam, Fiqh, Tafsir, Hadis, Astronomi, Matema- tika dan Kedokteran.

Sebagaimana seorang yang memang gemar belajar, saat di Isfahan Mulla Sadra belajar dengan sangat antusias kepada guru-gurunya.

Tak hanya itu, ketika di Isfahan ia berteman akrab dengan beberapa pelajar yang juga menempuh ilmu di kota tersebut.

Beberap di antarnya ialah Sayyid Ahmad Alawi, Aqa Husayn Khawansari, dan Mulla Muhammad Baqir Sabzawari, yang di masa depan akhirnya juga menjadi guru-guru terkenal.

Namun, tentu saja sang Teosof itu tetap menjadi yang paling menonjol di antara mereka, dan menjadi tokoh yang paling dipuja-puja seandainya dia memilih menetap di Isfahan.

Ternyata Isfahan juga bukan tempat yang ia inginkan menetap selamanya. Sadra masih mencari dimensi lain dalam pengembangan dirinya. Ia akhirnya pergi meninggalkan Isfahan untuk menjalankan kehidupan asketisme (khalwah) dan penyucian batin.

Inilah akhir dari periode pertama dari fase-fase kehidupan seorang Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi.

Dalam bagian biografi buku tentang Mulla Sadra yang ditulis oleh Sayyed Hossein Nasr, diceritakan selepas dari Isfahan, ia berjalan menuju Kahak, sebuah desa terpencil dekat kota Qum.

Lalu, di desa kecil inilah ia menyendiri, mungkin ini adalah upaya untuk memenuhi keinginan batinnya yang ingin menjauh dari hiruk-pikuk keramaian.

Dalam kesendirianlah, kebutuhan jiwanya terpenuhi, lalu mema suki secara langsung alam spiritual yang di dalamnya terdapat “kesunyian batin”, syarat semua kehidupan spiritual.

Sadra juga ingin lepas dari segala bentuk tekanan yang ia dapatkan di masa itu. Dirinya ketika itu dicap kafir oleh ulama-ulama eksoteris lantaran ia menulis doktrin-doktrin gnostik dan metafisika dengan bentuk yang lebih sederhana dan lebih terbuka.