INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Ambiguitas Relawan dalam Praktik Politik Uang di Pemilu 2024

Deri, aktivis Jaringan Pemuda Peduli Pemilu melayangkan komentar soal Politik Uang (Pemuda Pemilu)

Belum lagi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen
mendorong koalisi partai yang tidak alami dalam meloloskan kandidatnya ikut perhelatan pemilu.

Hal ini menurut Dosen UI tersebut akan melahirkan politik transaksional.

Pemicu kedua adalah regulasi yang memang longgar terhadap tindak pidana tersebut.

Kelonggaran ini dapat dilihat dari subjek pemberi uang yang diatur dalam UU 7 tahun 2017.

Pada masa kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang adalah peserta, pelaksana atau tim kampanye.

Sedangkan pada tahapan pemungutan suara, subjek pemberi uang adalah setiap
orang.

Hal inilah yang akan memberi kelonggaran kepada pihak di luar peserta, pelaksana atau tim kampanye dalam melakukan praktik politik uang pada masa kampanye dan masa tenang. Misalnya relawan.

Status relawan menjadi ambigu sekaligus bola liar yang bebas hukum.

Setidaknya mereka lebih leluasa dalam melakukan berbagai upaya guna memenangkan calon yang didukungnya. Termasuk melakukan politik uang.

Faktor ketiga pemicu maraknya politik uang adalah masa kampanye yang terlalu pendek. 75 hari.

Sehingga para calon pemimpin tidak memiliki kesempatan banyak dalam mengutarakan ide dan gagasannya.

Saat ide dan gagasan tidak tersampaikan, maka uang lah yang berbicara.

Dampak dari Praktik Politik Uang Bagi Kesehatan Demokrasi Kita

Praktek Politik uang tentu tidak baik bagi kesehatan demokrasi kita.

Dampak yang lahir dari politik uang diantaranya;

Pertama, maraknya kasus korupsi, sebagaimana disampaikan oleh Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK.

Ia menyebut politik uang sebagai “Mother of Corruption“.

Sejak pencalonan para kontestan harus merogoh kocek lebih dalam. Akibatnya saat ia terpilih, yang secara logis akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya.

Kedua, rendahnya kualitas pemimpin yang dihasilkan.

Para pemimpin yang terpilih bukanlah
pemimpin yang memiliki gagasan untuk membawa rakyat kepada keadilan sosial.

Bukan pula yang memiliki strategi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Melainkan orang-orang yang menggunakan kekuasaan untuk berbisnis dan mencari keuntungan pribadi.

Ketiga, merusak moral bangsa. Melalui praktik politik uang, bangsa ini diajarkan untuk menjadikan uang sebagai faktor pertama dalam meraih kemenangan. Bukan gagasan dan kualitas diri.

Kedaulatan setiap orang dibajak oleh uang. Sehingga kedaulatan bukan di tangan rakyat tetapi ditentukan oleh uang.

Oleh karena itu, demi menjaga kedaulatan rakyat dan menciptakan kehidupan demokrasi yang sehat, partai yang melakukan politik uang sudah semestinya didiskualifikasi.

Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap lebih tegas atas praktik politik uang. Menurutnya, “bubarkan partai politik yang membiarkan politik uang” sebagaimana tercantum dalam putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022. (*)

Penulis : Deri (Jaringan Pemuda Peduli Pemilu)