OPINI : Falsafah Kesederhanaan dan Kebersamaan Masyarakat Tana Luwu

Penulis: Agung Ardaus
(Aktivis JAKFI Nusantara)

Pernahkah Anda membaca bentangan sejarah peradaban umat manusia? Jawabannya bisa iya dan bisa tidak.

Namun, berdasarkan timbunan informasi di era modern yang dapat menjangkau pelosok negeri, maka Jawabannya iya.

Di dalam sejarah itu ditemukan kemelut bercampur kebahagiaan. Beraroma emas dan amis. Berbau harmonis dan pembantaian.

Dari babakan sejarah tersebut, kerajaan menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Ia sudah dan sedang berdiri di atas tembikar sejarah yang jelas penuh dengan drama.

Dimulai dari peradaban Mesir dengan bangunan Piramida megah yang dirancang oleh rezim raja Fir’aun.

Tentu saja, bagi mereka yang membidik simbol kemegahan tersebut, di sana ada endapan derita, yaitu puluhan ribu nyawa telah melayang hanya untuk membangun Piramida.

Bayangkan, ribuan kilometer manusia membawa balok batu dengan jumlah jutaan.
Mereka bekerja melebihi derita romusa ala Jepang di negeri Wakanda Indonesia. Sungguh bangunan megah yang menyimpan huru-hara.

Piramida hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak bangunan megah yang mengorbankan ribuan fisik manusia.

Dan itu menunjukkan kepada kita bahwa betapa despotiknya rezim di kala itu. Nyawa menjadi murah ketimbang bangunan hanya untuk pusara para raja.

Namun, ada yang berbeda tatkala mata kita meneropong peradaban Tana Luwu. Di sana ada simbol kemanusiaan yang terpampang nyata.

Kerajaan tua nan megah tanpa bangunan yang persis setara dengan keajaiban-keajaiban dunia.

Barangkali ada banyak orang yang akan bertanya-tanya, “Luwu merupakan kerjaaan besar, namun mengapa tidak meninggalkan bangunan megah yang setara dengan beberapa keajaiban dunia?”.

Barangkali pertanyaan itu adalah suatu betikan hati yang tidak percaya bahwa Luwu merupakan kerjaan megah.

Saya hanya hendak menyanggah anggapan yang hampir “primitif” Itu, bahwa peradaban besar sama sekali tidak dapat diukur hanya dengan memperlihatkan dan atau mendeskripsikan beberapa bangunan yang megah laksana Piramida, Spings dan Candi Borobudur.

Coba Anda perhatikan, peradaban Islam yang dikonstruksi oleh Nabi Muhammad Saw, tidak pernah menggambarkan kemegahan yang bisa saja menyimbolkan kepongahan itu.

Nabi Saw. membangun Masjid dengan sederhana, ada Ka’bah yang tak pernah ditambah ukuran bangunannya.

Namun bukan berarti Islam sebagai suatu peradaban adalah kecil dan terbelakang. Sekali lagi, bangunan besar bukan bukti satu-satunya bahwa peradaban itu megah.

Di sini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa peradaban kerjaan yang megah dan manusiawi adalah suatu bentuk kesederhanaan. Itulah yang ditampilkan Ka’bah dan Masjid Nabi di Timur Tengah.

Itu jugalah yang ditunjukkan oleh bangunan tua kerajan Luwu, dalam hal ini Masjid Tua dan Istana Langkanae, yang posisinya berada di tengah-tengah kota Idaman, atau sebut saja kota Kebersamaan.

Istana Langkanae, sebagai salah satu simbol kesederhanaan kerajaan Tana Luwu, menjadi bukti bahwa prinsip dan nilai kebudayaan Luwu dibentuk guna menumbuhkan kecintaan kepada rakyat. Di mana mereka hidup sederhana dan mencintai keadilan.

Tana Luwu memang memiliki soft kearifan (wisdom) yang mencengangkan. Seperti tutur tentang ‘sipakatau‘ yang berarti ‘saling memanusiakan’. Inilah salah satu prinsip hidup orang-orang Luwu.

Apalagi ‘sipakainge‘ yang bermakna ‘saling mengingatkan’ satu sama lain yang bersandar pada pemikiran bahwa kemungkinan besar manusia, tanpa mereka sadari, melakukan ketidakbenaran.

Begitu juga ‘sipakalebbi‘ yang memiliki arti ‘saling memuliakan’, yang dengan ini memberi dampak pada kesetaraan antar manusia seluruhnya.

Prinsip hidup demikian itu menciptakan satu kata kunci, yaitu ‘kebersamaan’. Bersama susah bersama senang, bersama duka bersama suka, bersama derita bersama bahagia.

Karena itulah, apabila dijumpai orang-orang yang butuh pada bantuan, sesuai dengan prinsip orang Luwu, maka seharusnya memang dibantu. Karena saling memanusiakan adalah prinsip fitrah manusia yang tidak lekang oleh waktu.

Masyarakat Tana Luwu, sesuai dengan prinsip nenek moyangnya, yang barangkali diserap dari budaya kosmopolit, tidak akan mungkin membiarkan penindasan itu terjadi di mana pun kaki mereka berpijak.

Salama’ki topada salama’. (*)