Sumur Suci Mattirowalie, Tampat Pelantikan Pajung Luwu yang Nyaris Dilupakan
INDEKSMEDIA.ID – Pajung Luwu adalah julukan raja atau datu Luwu yang dianggap sebagai seorang pemimpin yang harus bisa mensejahterakan masyarakatnya.
Tidak hanya itu, Pajung Luwu juga harus mampu menjadi seorang Pajung atau raja yang tangguh untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Maka dari itu dalam proses pengangkatan Pajung Luwu, diwajibkan melewati proses pengujian sebelum dirinya dilantik.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa proses untuk menjadi seorang Pajung Luwu mesti melewati 3 tahapan;
1. Fitur SalekkoE
Sebagai calon Pajung (Opu ca’ nning) bersemedi. Fisik dan mentalnya ditempa untuk menjadi kandidat Pajung Luwu.
Saat bersemedi calon Pajung diberi pakaian yang menyerupai pakaian nenek moyangnya (To Manurung).
Sehelai kain di belikan keliling pinggang dan ditarik lurus di antara dua kaki. Dengan pakaian sederhana ini, calon Pajung menghadapi tantangan alam terbuka seperti panas, dingin dan tantangan alam lainnya di SalekkoE selama tujuh hari tujuh malam, berbaring dengan menggunakan buah kelapa sebagai bantal dan wajib berpuasa.
Semedi di SalekkoE dilaksanakan atas prinsip bahwa pemerintah adalah pengayom rakyat.
2. Fitur Pancai
Calon Pajung memasuki tahapan transisi setelah melalui ujian fisik, dan saat semedi di SalekkoE berakhir.
Maka calon Pajung dibimbing oleh saro Bissu menuju Pancai yang berbentuk gundukan tanah.
Mirip dengan SalekkoE, setelah tiba di Pancai calon Pajung di bawah keliling tiga kali sebelum diajak naik “Tanah Bangkala” fitur Pancai oleh pua’ surutanga.
Pancai adalah tempat Dewan Hadat Rapat. Pada fitur ini Dewan Hadat mengutarakan kehendak atau aspirasi rakyat kepada calon pajung yang dalam penyampaiannya adalah “Engkalingai Datu”.
Puang teng mabbawang, ata teng ribawang pawang
Puang teng mattenning sulo, ata teng ri attenni sulo
Paung mappattutu, ata ri pattutu
Puang teng maleo-leo, ata teng macaleo-leo
Paung teng goroliu, ata teng liusepe
Puang maddampeng, ata ri addampengeng.”
Artinya,
“Dengarlah Raja
Raja tidak boleh sewenang-wenang, dan rakyat tidak boleh di sewenang-wenangi
Raja tidak memegang rakyat seperti memegang obor, dan rakyat tidak di pegang seperti obor
Raja mendengar aspirasi rakyatnya dan rakyat harus menjelaskan aspirasinya
Raja tidak boleh menyalahgunakan wewenang dan rakyat tidak boleh melalaikan kewajiban
Raja tidak boleh bertindak di luar aturan, dan rakyat tidak menyahut aturan
Raja mengampuni, dan rakyat di ampuni.”
Apabila calon Pajung menyetujui persyaratan tersebut makan Dewan Hadat membuat keputusan dan menetapkannya menjadi Pajung Luwu yang baru selanjut.
Kemudian Opu pabbicara menyerahkan payung kebesaran yang diterima dengan syarat dari seorang aparat yang bergelar Pancai, didatangkan dari Manjapai.
Fitur Pancai ada dua yaitu tempat Dewan Hadat bersidang dan mengutarakan aspirasi rakyat serta mengambil keputusan mengangkat Pajung Luwu.
Kedua adalah pos pengawasan selama calon Pajung bersemedi di SalekkoE.
3. Fitur MattirowaliE
Calon Pajung memasuki tahapan upaya pengintegrasian kembali.
Setelah menerima payung kebesaran, Pajung yang baru diantar dewan Hadat dan pengawal kerajaan ke fitur MattirowaliE.
Sepanjang perjalanan, Pajung yang baru dihadang oleh pasukan lain.
Serangan yang dialami dalam perjalanan menuju MattirowaliE menggambarkan tantangan fisik, psikis dan perjuangan sebelum disucikan, dilantik dan dilakukan dengan sumpah jabatan.
Sumur Suci MattirowaliE adalah tempat penyucian, pelantikan, pengukuhan Pajung Luwu yang baru dengan Sumpah jabatan.
Pajung disucikan dengan air yang diambil dari sumur Suci MattirowaliE. Lalu, ia bersumpah untuk mengukuhkan persatuan kerajaan.
Untuk pengambilan sumpah, Opu patunru duduk berhadap-hadapan dengan Pajung di depan batu tuppu (Batu Pijak Sumpah), kemudian keduanya menekan kakinya di atas batu tuppu, sambil Opu patunru dengan tangan kirinya memegang jari kiri raja.
Batu Tuppu adalah simbol Undang-undang dan adat negeri yang oleh raja dan Opu patunru dianggap sebagai wakil pertama dari rakyat.
Justru itu, Pajung harus berpijak pada batu tuppu sebagai simbol tekad akan tetap berpijak pada yang dikehendaki rakyat berdasarkan Undang-undang dan adat negeri, bahkan dengan pedang sekalipun.
Prosesi menjadi Pajung memperlihatkan bahwa upacara bukan sekadar formalitas, melainkan mengandung pengayaan politik sesuai azas dan tujuan kerajaan.
Maka dari itu, tidak semua Datu Luwu diberi Gelar Pajung dengan alasan tidak melewati 3 prosesi untuk menjadi Pajung.
MattirowaliE secara bebas diartikan melihat sebelah-menyebelah, adil, seimbang.
Sebelum masuk pada fitur MattirowaliE yaitu penyucian,pelantikan, pengukuhan, Pajung Luwu harus melewati 2 fitur lainnya terlebih dahulu yaitu fitur SalekkoE dan fitur Pancai.
Fitur MattirowaliE pada situs Tana Bangkala merefleksikan pandangan bahwa kedudukan Pajung harus bersifat MattirowaliE (adil dan bijaksana).
Itu berarti pada posisi sebagai pemerintahan yang bertendensi pengayom, Pajung harus dapat mempertimbangkan dua sisi pandangan.
Pertama, sisi utara (SalekkoE) yang berkenaan dengan sejarah leluhur dan sifat kedewasaan.
Kedua, sisi selatan (Pancai) yang berkenaan dengan panngadareng (Hukum;tradisi) dan kepentingan ril rakyat.
Seorang Pajung harus dapat mengayomi dan melaksanakan pemerintahan dengan tetap menjaga keseimbangan sejarah dengan wewenang kharismatik-tradisional dan legitimasi rasional-legal (konstitusi).
Monumen Sumpah Jabatan Pajung “MATTIROWALIE” terletak di barat fitur SalekkoE dan fitur Fancai atau lebih tepatnya sekarang di kompleks Perumahan Anggrek, yang berada di jantung kota Palopo.
Hanya berjarak ratusan meter dari kantor walikota Palopo. Perumahan ini banyak dihuni pejabat tinggi.
Semur Suci MattirowaliE nampak sudah sangat rusak, rata dengan permukaan tanah lainnya.
Bahkan Sebelum dibersihkan oleh masyarakat yang peduli situs sejarah, Sumur Suci MattirowaliE nampak terselimuti rerumputan liar nan hijau dan juga sampah yang ditimbun penduduk di sekitar situs.
Meski berada di jantung perkotaan Sumur Suci (Sakral) MattirowaliE Nyaris Dilupakan.
Penulis: Ichal Risaldi
Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”
Disclaimer: indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)