INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Singkapan Makna dan Aktualisasi Konkret  Monumen Toddopuli Temmalara di Tana Luwu

Monumen Toddoppuli Temmallara di Tanah Luwu (kolase/gusji)

INDEKSMEDIA.ID – Tana Luwu atau Luwu Raya yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan gabungan antara Kab. Luwu, Kota Palopo, Kab. Luwu Utara dan Kab. Luwu Timur.

Dahulu, keempat daerah di Tana Luwu itu adalah satu kesatuan yang berada di bawah pemerintahan yang sama. Sekarang ini tentu berbeda.

Masyarakat Tana Luwu dalam sejarahnya turut andil dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Salah satu buktinya, peristiwa 23 Januari 1946 di mana Pemuda, Datu Luwu, dan rakyat luwu melakukan penyerangan terhadap tangsi KNIL (Koninklijt Nederlands-Indische Leger) atau angkatan perang colonial Hindia Belanda.

Penyerangan tersebut didasari oleh ketidakpatuhan KNIL terhadap ultimatum Datu Luwu dan pemuda yang mendesak agar pihak Belanda segera menarik mereka ke dalam tangsi senjatanya.

Peristiwa 23 Januari 1946 terabadikan oleh beberapa monumen yang terdapat di Luwu Raya.

Monumen tersebut dibangun dengan bentuk atau berwujud parang atau badik.

Hampir semua monumen bertuliskan “Toddopuli Temmalara” yang kemudian sering disebut masyarakat sebagai nama dari monumen tersebut.

Oleh sebab itu, menarik untuk mengkaji atau menelisik makna monumen tersebut baik dari aspek sejarah, filosofi serta implementasi maknanya dalam kehidupan sehari-hari.

Makna Simbol dan Semboyan Toddopuli Temmalara

Secara umum sebuah monumen memiliki dua unsur, yaitu simbol bentuk atau arsitek dan simbol semboyan. Hal ini juga termaktub dalam monumen perjuangan rakyat luwu.

Bentuk dari Monumen Toddopuli Temmalara adalah badik atau dalam bahasa daerah disebut kawali.

Hanya satu yang tidak memuat badik namun tetap disebut Monumen Toddopuli, Monumen tersebut terletak di Kec. Bua, Kab. Luwu.

Toddopuli temmalara secara bahasa memiliki makna tidak goyah sedikitpun. Secara istilah, semboyan tersebut diartikan sebagai ketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan atau dapat disebut sebagai berkeyakinan yang kuat.

Semboyan tersebut digunakan dalam pengambilan keputusan setelah memikirkan berbagai pertimbangan.

Menurut Ajigoena salah seorang sejarawan Luwu, bentuk kawali yang terpampang dalam monumen memiliki makna pakem (mengakar kuat).

Sebab kawali menunjukkan gestur atau simbol utama yang merupakan visualisasi dari toddopuli temmalara.

Lebih lanjut beliau menilai bahwa badik secara umum menunjukkan sifat keberanian.

Selain itu dari segi bentuk, kawali orang Luwu berbeda dengan senjata khas orang Makassar atau Suku Bugis lainnya.

Bentuk kawali yang lurus menunjukkan sikap lempu (jujur) artinya kesesuaian antara ucapan dan tindakan.

Selaras dengan Ajigoena, Andi Sulolipu Opu To Pananrang juga menyatakan bahwa badik yang terdapat pada monumen menunjukkan makna kontrol emosional.

Sebab, badik hanya dikeluarkan jika tidak ada jalan lain dari sebuah permasalahan. Hal ini dibuktikan dengan sejarah 23 Januari 1946 yang awalnya KNIL telah dihimbau dengan cara yang baik, akan tetapi akibat respon yang tidak diberikan, maka barulah penyerangan dilakukan oleh pemuda-pemuda Luwu.

Maka dari itu, dari kedua hal diatas (semboyan dan bentuk monumen) dapat disimpulkan bahwa masyarakat Luwu sangat menjunjung tinggi kejujuran, sifat amanah serta tanggung jawab tinggi.

Sebab semboyan toddopuli temmalara yang mendorong akan terciptanya hal tersebut juga dipertegas oleh bentuk monumen (kawali) yang juga mendorong sikap keberanian dan jujur.

Implementasi Makna Monumen Toddopuli Temmalara

Monumen Toddopuli Temmalara bukan hanya berfungsi sebagai hiasan daerah saja. Jika disikapi dengan bijak, tentu makna serta penginplementasiannya secara aktual merupakan hal yang jauh lebih penting.

Implementasi dari makna Monumen Toddopuli temmalara merunut Ajigoena antara lain sebagai berikut.

Kalangan Pemerintah

Simbol badik yang terdapat dalam monumen Toddopuli sejatinya mendorong pemerintah untuk bertugas dengan penuh tanggung jawab, lempu, dan getteng.

Selain itu, pemerintah juga dituntut agar senantiasa mengemban tugas dengan amanah. Keputusan atau otoritas yang dibuat harus mempertimbangkan aspek sebab dan akibat.

Keseluruhan argumen tersebut selaras dengan semboyan toddopuli temmalara.

Dengan aktualisasi tersebut tentunya diharapkan berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi menurun, serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah membumbung tinggi.

Maka dengan begitu terjadi harmonisasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.

Pelajar/Penuntut Ilmu

Monumen Perjuangan Rakyat Luwu menunjukkan keberanian dan totalitas dalam berbuat.

Bagi kalangan pelajar kedua hal ini merupakan hal yang sangat penting. Sebab ilmu hanya dapat diraih dengan kesungguhan dan kerja keras.

Oleh sebab itu, implementasi makna badik serta semboyan toddopuli temmalara sangat penting bagi pelajar guna mendorong kualitas generasi penerus bangsa.

Dengan demikian peradaban akan maju dengan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat.

Masyarakat Umum

Kemajuan suatu masyarakat atau bangsa tidak hanya berpatok pada pemerintah yang amanah dan bersih, peran masyarakat sebagai pihak yang terpimpin juga tidak kalah pentingnya.

Monumen Toddopuli Temmalara memuat sikap patuh dengan simbol kawali yang lurus.

Masyarakat juga harus patuh pada aturan yang telah dibuat oleh aparat pemerintahan guna menciptakan lingkungan yang harmonis.

Selain itu, simbol badik juga diartikan sebagai sikap saling melindungi, jika terdapat masalah dalam masyarakat, maka yang lain akan menolongnya.

Toddopuli temmalara juga dimaknai sebagai bentuk kesungguhan atau kerja keras. Masyarakat hendaknya melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh guna mendapatkan hasil atau output yang maksimal pula..

Referensi:

Hadi, Otho, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi,” Makara Human Behavior Studies in Asia 14, no. 2 (2010).

Ridha, M. Rasyid. Membela Indonesia: Perjuangan Rakyat Luwu Mempertahankan Kemerdekaan, (Makassar: Rayhan Intermedia, 2022).

Riswan, “Pengaruh Nilai-Nilai Kearifan Lokal terhadap Usaha Mikro dan Menengah (UMKM) Kota Palopo,” Skripsi, (IAIN Palopo: Palopo, 2020).

Rustan, Edhy & Ahmad Munawir, “Eksistensi Permainan Tradisional Edukatif Pada Generasi Digital Natives,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 5, no. 2 (2020).

Setiaji, Nanda Cahyo & Muhammad Hanif, “Kajian Makna Simbolis Patung dan Monumen di Kabupaten Ponorogo sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Lokal,” Agastya: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran 8, no. 1 (2018): h. 59.

Wawancara dengan Ajigoena (Sejarawan Luwu), tanggal 13 April 2023 via Telepon.

Wawancara dengan Andi Sulolipu Opu To Pananrang (Sejarawan Luwu & Kordinator Ritual Adat Istana Kedatuan Luwu), tanggal 18 April 2023.

Penulis: Andi Rahmat Hidayat

Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”

Disclaimer: indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)