Cerita Rakyat Ihwal Sawerigading, antara Sejarah dan Mitos?
INDEKSMEDIA.ID – Cerita rakyat merupakan salah satu ciri khas yang bisa menjadi identitas suatu daerah.
Tentu saja identitas suatu daerah bukan hanya cerita rakyat, tetapi juga ditemukan adanya bahasa yang berbada-beda.
Dalam kepercayaan yang dimiliki masyarakat Luwu, juga didapati beberapa cerita rakyat yang cukup melegenda.
Cerita rakyat tersebut tidak terlepas dari peranan dewa dan dewi, terutama dalam masyarakat Luwu dan Bugis yang tentu saja tidak asing lagi dengan nama Sawerigading.
Sawerigading sendiri sudah diamini sebagai salah satu tokoh pahlawan agung dalam cerita rakyat Tana Luwu.
Kisahnya yang disebut-sebut oleh sebagian orang sebagai “mitos” ini nyatanya terus berkembang.
Sehingga menjadi bagian dari warisan yang terus-menerus dikisahkan dalam setiap perkembangan peradaban di Sulawesi Selatan.
Dari kisah inilah lahir I La Galigo yang merupakan karya sastra terpanjang, dan telah menjadi warisan dunia yang diakui UNESCO, di mana rentetan kisahnya disebut-sebut mengalahkan kisah Mahabarata India.
Sawerigading merupakan putra dari pasangan Batara Lattu yang merupakan anak dari Batara guru (Putra Patotoe di Langit) dengan We Datu Senggeng, putri dari kerajaan Tompo Tikka.
Sawerigading memiliki seorang saudara kembar perempuan bernama We Tenriabeng.
Dalam takdir yang tertulis, sebelum kelahiran keduanya, menyatakan bahwa Sawerigading kelak akan jatuh cinta kepada saudari kembar emasnya itu.
Bahkan, sampai berniat untuk menikahi Tenriabeng, yang mana tindakan ini amat ditentang oleh penduduk bumi dan para dewa yang berada di langit dan di Pertiwi.
Melihat takdir tersebut, Batara Guru pun memerintahkan anaknya untuk memisahkan Sawerigading dengan We Tenriabeng. Bahkan keduanya tidak diberitahukan mengenai kebenaran ihwal memiliki saudara kembar.
Berdasarkan perintah itu lah, kedua saudara kembar emas tersebut dibesarkan di tempat yang berbeda, dan sekian lama tak pernah berjumpa.
Namun takdir yang telah dituliskan nyatanya tak terelakkan. Sawerigading dewasa yang gemar melanglang-buana mengarungi lautan, akhirnya mendengar kabar bahwa dirinya mempunyai saudari kembar yang teramat cantik, namun dipisahkan darinya sejak kecil.
Meskipun belum memercayai kabar itu, Sawerigading akhirnya memilih kembali ke Tana Luwu untuk membuktikan kebenarannya.
Sementara di tempat lain, We Tenriabeng diperintahkan ayahnya untuk datang ke Luwu mengikuti sebuah ritual penyucian jiwa.
Pada kesempatan itulah Batara Lattu menyampaikan kebenaran ihwal kedua anaknya itu kepada Tenriabeng.
Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya, sebab dalam waktu dekat Sawerigading akan tiba di Luwu, dan dikhawatirkan bahwa takdir yang disebutkan Batara guru akan benar-benar terjadi.
Namun, kekhawatiran ayahnya itu berhasil diredam We Tenriabeng dengan menyakinkannya bahwasanya ia dan kakaknya tak akan menikah.
Setibanya Sawerigading di Luwu dan menyaksikan Tenriabeng, ia benar-benar jatuh cinta kepada adiknya itu, bahkan berniat untuk menikahinya.
Namun, niat tersebut tentu saja ditentang keras oleh ayahnya, dan semua penduduk di Bumi, Langit serta Pertiwi.
Penolakan itu nyatanya tidak menyurutkan niat pria yang juga dijuluki sebagai La mampu’ Ara elo (orang yang tak terbantahkan) itu.
Dirinya bahkan dengan terus terang mengungkapkan keinginannya untuk mempersunting Tenriabeng berkali-kali, meskipun segala usahanya selalu ditolak dengan baik oleh adiknya.
Melihat kegigihan saudaranya itu, Tenriabeng menyadari bahwa Sawerigading tidak akan berhenti sebelum benar-benar memilikinya, hingga pada akhirnya ia menawarkan kesepakatan kepada saudara kembarnya itu.
We Tenriabeng mengatakan, jauh di negeri Cina sana, ada seorang wanita cantik yang sangat mirip dengannya, wanita itu memiliki paras dan perawakan yang benar-benar sama dengan dirinya.
Oleh karena itu ia meminta saudaranya berlayar dan mempersunting wanita tersebut.
Tawaran itu tidak disambut baik oleh Sawerigading, ia berpendapat bahwa saudarinya hanya memperdaya dirinya.
Maka untuk meyakinkannya, We Tenriabeng memberikan Sawerigading sehelai rambutnya sebagai pembuktian kemiripan dirinya dengan wanita yang ia maksud.
Bahkan untuk meyakinkan saudara kembarnya itu, We Tenriabeng berjanji akan menentang perintah ayahnya dan menyetujui untuk menikah dengan Sawerigading apabila nantinya wanita di negeri Cina itu tidak mirip dengannya.
Mendengar janji saudarinya, bulatlah sudah tekad Sawerigading untuk berlayar ke negeri Cina guna membuktikan kebenarannya.
Dirinya pun menebang pohon Welerengge (kayu Belanda) untuk dijadikannya perahu yang membawanya mengarungi lautan.
Sebelum kepergiannya, Sawerigading bersumpah untuk tidak akan menginjakkan kakinya kembali di Tana Luwu.
Dalam perjalanannya, lelaki dengan karakter lembut itu menemui banyak hambatan, namun tak menghentikan niatnya.
Setelah mengarungi lautan cukup lama, ia akhirnya tiba di negeri Cina dan berjumla dengan wanita yang dimaksud oleh We Tenriabeng.
Sawerigading merasa syok lantaran apa yang dikatakan Tenriabeng benar adanya, bahkan panjang rambut keduanya benar-benar sama. Wanita itu bernama We Cudai.
Ia pun meminang We Cudai, dan niat baiknya itu disambut hangat oleh keluarga We Cudai, sehingga terjadilah pernikahan oleh keduanya.
Dari pernikahan tersebut lahirlah tiga orang anak. Salah satunya adalah I La Galigo.
Selama pernikahannya dengan Sawerigading, We Cudai belum pernah bertemu dengan orang tua suaminya, hingga suatu hari timbullah keinginannya menemui mertuanya yang berada di Tana Luwu.
Mendengar niat istrinya itu, Sawerigading sempat tertegun sebab sumpah yang ia ucapkan di masa lalu untuk tidak menginjakkan kaki lagi di tanah kelahirannya itu.
Ia pun mengatakan kepada istri dan anaknya untuk berangkat lebih dulu dan akan menyusul kemudian.
Namun, naas menimpa perahu yang digunakan Sawerigading ketika menyusul istri dan anaknya justru diterpa ombak besar, dan menenggelamkan dirinya sebelum tiba di Tana Luwu.
Kisah Sawerigading ini akan terus menjadi karya sastra yang akan diceritakan, entah dianggap sebagai fakta atau pun mitos.
Namun tak sedikit masyarakat yang menyakini kisahnya, sebab beberapa peninggalan sejarah yang dianggap memang berkaitan dengan Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili.
Bulupoloe dikatakan sebagai bekas dari timpaan pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading.
Contoh lain, Batu cadas di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu.
Di gunung Kandora, daerah mangkedek, Tana Toraja, terdapat batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakati, isteri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.
Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu.
Gunung batu di daerah Bambapuang Enrekang, yang dari jauh tampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu.
Gong Nekara yang terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan.
Demikian pula kepingan perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu Sawerigading.
Terlepas dari itu semua, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dalam menggapai keinginan.
Meskipun tindakan yang dilakukan Sawerigading kurang bisa dibenarkan, namun usaha yang ia lakukan dapat dijadikan sebagai suatu pelajaran penting.
Penulis: Frety
Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”
Disclaimer: Indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)