INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Ini Teks Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI Bab 1, Dasar-Dasar Kepercayaan

Nilai Dasar Perjuangan (NDP) digagas oleh salah satu pemikir profilik, Nurcholish Madjid (kolase/gusji)

INDEKSMEDIA.ID — NDP adalah landasan perjuangan bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan ilmu yang secara struktur memiliki tujuh Bab.

Dalam bab pertama NDP berisi tentang tentang Dasar-Dasar Kepercayaan.

Berikut ini teks NDP bab pertama yang disediakan oleh indeksmedia.id.

Patut bagi kamu, khususnya kader-kader HMI, untuk menelaah dan mendiskusikannya:

Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai, guna menopang hidup dan budayanya.

Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna, tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama, juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula, cara berkepercayaan pun harus benar.

Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.

Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat.

Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah, atau salah satu saja di antaranya yang benar.

Di samping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur-baur.

Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.

Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan, ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.

Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai, guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi dan membeku dang mengikat, maka justru merugikan peradaban.

Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh, yang merupakan kebenaran.

Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tiada Tuhan selain Allah, mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian.

Perkataan “Tidak ada Tuhan” meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “Selain Allah” memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran.

Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilik nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan YME, pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.

Tuhan itu ada, dan yang ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain.

Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya.

Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.

Sesuatu yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran dan pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia.

Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang.

Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan.

Dengan kewajiban bagi para Rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah, semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah rasul Allah yang penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya.

Jadi, para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.

Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad rasulullah terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Qur’an.

Selain berarti bacaan, kata Al-Qur’an juga berarti “kumpulan” atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Qur’an merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain.

Jadi, untuk memahami Ketuhanan YME dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad.

Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa ‘Muhammad adalah Rasul Allah’.

Kemudian di dalam Al-Qur’an didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan YME dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat;

Katakanlah: “Dia itu adalah Tuhan YME. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Serta tiada sesuatupun yang bagi-Nya sepadan. 

Selanjutnya Dia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.

Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang Lahir dan Yang Batin, dan “kemanapun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”. Dan “Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.

Sebagai “yang pertama dan yang penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai.

Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” dan “ridhanya”.

Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).

Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap.

Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diri-Nya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya.

Maka, alam dapat dan dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.

Jadi, kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan objektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana.

Juga tidak seperti dikatakan filsafat agnostisisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti oleh manusia.

Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan objektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.

Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi. Sebagai makhluk tertinggi manusia dijadikan “khalifah” atau wakil Tuhan di bumi.

Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia.

Manusia sepenuhnya bertanggungjawab ats segala perbuatannya di dunia. perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut “sejarah”.

Dunia adalah wadah bagi sejarah, di mana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”.

Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnatullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunnatullah itu.

Manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.

Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah “perubahan da perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.

Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu.

Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju pada kebenaran.

Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahinya dengan pasti akan kebenarannya.

Oleh karena itu, kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diteranig oleh ilmu.

Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).

Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualita-kualitas yang bersifat ketuhanan.

Sebab sebagaimana diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian dan seluruhnya tidak sama dengan alam.

Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah YME.

Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “syirik” artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.

Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini adalah “hari akhirat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama”, atau yamuddin, di mana Tuhan satu-satunya menjadi Pemilik dan Raja.

Di situ tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggungan jawab individu manusia yang bersifat mutlak di hadapan ilahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah.

Selanjutnya kiamat merupakan “hari agama”, maka tidak yang mungkin kita ketahui salin daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.

Itulah teks NDP HMI yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Ditelaah yaaa sobat-sobat semuanya. (*)