INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Sinopsis Film Ngeri-ngeri Sedap, Kental dengan Budaya Batak

Film Ngeri-ngeri Sedap yang kental dengan Budaya Batak. (Ist)

INDEKSMEDIA.ID – Kali ini Indeksmedia bakal membagikan Sinopsis Film Ngeri-ngeri Sedap yang kental dengan Budaya Batak.

Wajar bila Film Ngeri-ngeri Sedap ini kental dengan Budaya Batak, sebab hampir semua pemainnya berasal dari Batak.

Film Ngeri-ngeri Sedap memang mengangkat Budaya Batak ke layar lebar dengan dibungkus dengan komedi.

Penasaran dengan Sinopsis Film Ngeri-ngeri Sedap yang mengangkat Budaya Batak ? Simak artikel ini.

SINOPSIS

Film Ngeri-ngeri Sedap menceritakan kisah keluarga dari suku Batak yang dibuat oleh Bene Dion melalui drama-komedi yang dikemas secara natural.

Keluarga suku Batak yang kita saksikan di Film Ngeri-ngeri Sedap merupakan keluarga yang harmonis dan sukses membesarkan anak-anaknya.

Keluarga itu juga sangat menjunjung tinggi adat istiadat Batak.

Pak Domu sebagai kepala keluarga (diperankan oleh Arswendy Nasution) digambarkan oleh Bene Dion sebagai orang yang ingin dituruti semua kehendaknya.

Terjadilah konflik akan ketidakbebasan dan kehilangan definisi “rumah”.

Film Ngeri-Ngeri Sedap ini diawali dengan di perlihatkannya indahnya Danau Toba selama 1 menit.

Tembang berbahasa Batak pun terdengar dan menampilkan Pak Domu yang tengah asyik menikmati alunan gitar di lapo (warung).

Lirik nyanyyang dalam bahasa Indonesia berartikan “Aku bekerja keras siang dan malam agar anak-anakku bisa bersekolah.”

“Kuusahakan sekeras mungkin. Aku bisa melakukan segalanya. Secara harfiah untuk selamat dari hidup ini.”

“Agar anak-anakku bisa meraih mimpi mereka. Anakku adalah hartaku.” menjadi pesan tersirat akan sudut pandang Pak Domu dan Mak Domu (diperankan oleh Tika Panggabean) yang nantinya berkembang menjadi konflik dalam keluarga.

Salah satu warga yang telat hadir di lapo beralasan jika Ia baru saja menyelesaikan kasus sengketa tanah dibantu pengacara yang merupakan anaknya sendiri.

Adegan selanjutnya menayangkan program televisi yang memperlihatkan Gabe (diperankan oleh Lolox), anak ketiga Pak Domu, yang menjadi pelawak di sebuah acara televisi.

Pak Domu merasa malu karena sebenarnya menginginkan Gabe menjadi hakim atau jaksa sesuai dengan jurusan yang diambil sewaktu kuliah.

Pembuka adegan yang apik karena memperlihatkan dua nasib yang berbeda, antara keinginan dan kenyataan.

Suku Batak identik dengan orang-orangnya yang ahli dalam profesi yang berurusan dengan hukum.

Bahkan, lumrah rasanya jika mendengar Fakultas Hukum diisi oleh orang-orang Batak.

Juga tidak asing rasanya mendengar nama-nama pengacara hebat yang bermarga suku Batak.

Tidak kaget pula ketika Pak Domu menginginkan Gabe untuk menjadi hakim atau jaksa dibandingkan pelawak mengingat Gabe bergelar sarjana hukum.

Suku Batak diinterpretasikan Bene Dion sesuai dengan bagaimana masyarakat Indonesia memandang suku Batak.

Tidak hanya profesi yang dipermasalahkan oleh Pak Domu. Anak pertamanya, Domu (diperankan oleh Boris Bokir), ikut ditentang.

Disebabkan karena Domu ingin menikah dengan orang Sunda. Pak Domu terlalu memikirkan omongan warga yang khawatir orang Sunda tidak mengerti adat Batak.

Representasi adat Batak semakin terlihat mengenai anak pertama laki-laki, yang melanjutkan marga dan adat, seharusnya menikah dengan orang Batak.

Pak Domu bahkan mengancam tidak mau berjumpa dengan Domu jika masih melawan saja.

Anak terakhir Pak Domu yang bernama Sahat (diperankan oleh Indra Jegel) juga menjadi korban kekhawatiran Pak Domu.

Menurut adat Batak, anak terakhir tidak merantau, mengurusi orangtuanya.

Akan tetapi, Sahat beralasan tidak bisa pulang karena punya usaha di desa tempat Ia melakukan KKN dan mengurus Pak Pomo yang tinggal sendirian.

Sarma (diperankan oleh Gita Bhebhita) menjadi harapan satu-satunya Pak Domu.

Menurutnya, Sarma-lah yang mengurusinya dan Mak Domu karena Sarma bekerja sebagai PNS di kecamatan sehingga tidak perlu merantau.

Namun, warga yang bertanya-tanya kenapa Sarma belum menikah juga.

Tokoh Sarma ini menjadi simbol akan adanya stigma bahwa perempuan seharusnya cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. ***