Sejarah dan Makna Filosofi dari Burasa, Makanan Khas Masyarakat Sulawesi Selatan

INDEKSMEDIA.ID – Sulawesi Selatan punya beragam jenis budaya termasuk dalam hal kuliner seperti burasa.

Burasa merupakan salah satu makanan khas daerah Sulawesi Selatan yang dapat dijumpai dimanapun.

Misalnya pada penjual coto dimana makanan berisi daging dan kuah ini pasti selalu ditemani ketupat atau burasa ketika disajikan.

Termasuk pula saat hari raya besar misalnya Idul Fitri, yang tak lengkap rasanya jika tidak ada burasa pada makanan yang disajikan.

Dilansir dari akun Instagram @nigellaid, ada dua jenis burasa yakni burasa koa’ dan burasa pulu’.

Burasa koa’ terbuat dari beras biasa sedangkan burasa pulu’ terbuat dari beras ketan dan bentuknya lonjong.

Sejarah Burasa

Dahulu kala, lelaki Bugis dan Makassar sangat suka pergi merantau dengan cara berlayar ke pelosok nusantara.

Tujuannya tentu saja untuk mencari rezeki termasuk uang panai yang akan digunakan untuk melamar anak gadis orang lain.

Orang-orang menjuluki mereka sebagai pelaut ulung dan perantau handal.

Setiap kali lelaki BUgis dan Makassar pergi berlayar, mereka akan membawa bekal berupa nasi dan ikan.

Namun bekal ini tak bertahan lama dan cepat basi. Hal itu membuat mereka kehabisan tenaga sebelum sampai di tujuan.

Untuk mengatasi masalah itu, para wanita mencari solusi pengganti bekal pelaut dan perantau.

Mereka mulai memasak beras ketan yang terbungkus daun pisang, kemudian direbus lama agar tidak cepat basi.

Tidak diketahui kapan tepatnya hal ini terjadi, tetapi akhirnya pada hari itu, lahirlah masakan baru bernama burasa.

Ini adalah sebuah lontong santan berbentuk pipih khas Sulawesi Selatan.

Aroma daun pisang, garam dan santan menyatu dalam beras membuat burasa menjadi lebih gurih dibanding ketupat.

Dibalik terciptanya burasa ini, ada makna filosofi yang dibawa makanan khas tersebut.

Makna makna tersebut diantaranya penyatuan dan solidaritas supaya bisa membentuk nilai sipakatau (saling menghargai), sipakalebbi’ (saling memuliakan) dan sipakainge’ (saling mengingatkan) dalam keluarga dan kehidupan sosial.

Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, membuat Burasa sudah menjadi tradisi terutama saat keluarga ingin merantau atau bepergian jauh.

Makanan ini juga disebut sebagai “Bokong na Passompe” artinya bekal para perantau. Diperkirakan burasa sudah ada sejak abad ke-VIII.

Pembuatan burasa sendiri sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Sulawesi Selatan sehari sebelum hari raya Idul Fitri.

Keluarga dan tetangga akan berkumpul dan membuat burasa yang kemudian diberi nama “ma’burasa”.

Mengikat burasa juga punya seni tersendiri dan butuh keterampilan, istilahnya yaitu Massio’ Burasa.

Tali pada ikatan burasa mewakili tali silaturahmi yang diperkuat menjelang Idul Fitri.

Tali itu juga menjadi simbol ikatan batin antara perantau dan keluarganya, itulah sebabnya saat mengikat burasa ikatannya harus kuat.**